Erick Thohir Bisa Mulai dari Sini untuk Bersihkan PSSI

Erick Thohir langsung menutup pemberitaan soal La Nyalla Mattalitti yang “sungguh diharapkan” untuk kembali memimpin PSSI. Pertempuran keduanya memperebutkan kursi ketua umum akan menjadi yang terdahsyat setelah era George Toisutta-Arifin Panigoro dan Nurdin Halid-Nirwan Bakrie.

Erick jelas tak mewarisi kultur bicara ibunya yang berdarah Sunda; yang suka bicara memutar, tak langsung ke tujuan. Dalam cuitannya, ia menumpahkan kejujurannya:

“Butuh nyali bersihkan PSSI dari tangan-tangan kotor. InsyaAllah sepak bola Indonesia bersih dan berprestasi.”

Ada empat hal utama dalam cuitan tersebut. (1) Nyali, (2) kotor, (3) bersih, dan (4) berprestasi.

Yang jadi pertanyaan, tentu kenapa seseorang harus punya nyali untuk membersihkan PSSI? Apakah PSSI diisi oleh orang-orang menakutkan macam Lord Voldemort dalam film Harry Potter? Ataukah ada jaringan Vincenzo yang bisa mengatur hasil pertandingan semudah mengedipkan mata?

Bukankah orang-orang yang mengisi PSSI adalah para anak bangsa yang berbakti, sukarela, mau berjuang hidup-mati untuk kemajuan sepakbola Indonesia?

Lalu, siapa yang dimaksud Erick mengotori PSSI? Tentu perlu bukti sebelum membuat tuduhan serius ini. Atau memang Erick dengan segala jaringannya memang sudah punya datanya? Wkwkwkwkwk.

Tentu, kalau organisasinya tidak lagi kotor, sepakbola Indonesia bisa saja bersih. Namun, soal prestasi, jelas belum tentu.

Untuk memudahkan Erick sebelum menjabat sebagai Ketua Umum PSSI 2023-2027, saya  menyarankan untuk membenahi hal ini sejak awal. Satu aspek penting itu adalah soal kualitas wasit.

Wasit = Integritas Kompetisi

Pada akhirnya, sepakbola akan mengalir dalam bentuk kompetisi dan bermuara sebagai tim nasional. Kompetisi yang bagus, bisa menghasilkan timnas yang berkualitas. Meureun. 

Alasan pesepakbola dilarang terlibat dalam judi bola adalah integritas kompetisi tak ternoda. Pun dengan pelatih dan pemain di Premier League yang dilarang mengomentari wasit pertandingan. Boleh sih, kalau punya duit lebih.

Karena ingat kata Cristiano Ronaldo: Di shopee, pi pi pi pi, Di Shopee pi pi pi pi…

Sorry salah, maksudnya, ingat kata Jose Mourinho: If i speak, i am in big trouble.

Pemain dan pelatih di Premier League boleh tak puas dengan keputusan wasit. Namun, itu hanya boleh disimpan antar-mereka. Kalau sudah dibagikan ke media, FA sudah jelas akan menghukum siapapun yang mengkritik wasit, sekalipun wasitnya salah.

Kalau diperhatikan, wasit pun tak pernah muncul untuk mempertanggungjawabkan keputusannya. Mereka tak seperti pelatih dan pemain yang biasanya menghadiri sesi konferensi pers setelah pertandingan dan menjawab pertanyaan soal yang terjadi di lapangan.

Tentu ini disengaja. Alasan utamanya adalah karena FA sebagai federasi dan yang bertanggung jawab atas sepakbola di Inggris, ingin melindungi wasit. Mengapa perlu dilindungi? Karena wasit adalah instrumen paling penting dalam pertandingan dan menjadi simbol dari integritas sebuah kompetisi.

Wasit = Wajah Kompetisi

Saat kompetisi digulirkan, peserta punya harapannya masing-masing. Yang paling utama, jelas ingin menjadi pemenang.

Setiap peserta kompetisi ingin agar segalanya berjalan adil, tidak memihak, sesuai aturan. Sehingga, saat mereka tidak menang, kesalahan ada pada mereka.

Untuk itu dibutuhkanlah seorang hakim yang mengawal aturan-aturan tersebut, dalam hal ini wasit. Ia tak boleh berpihak, kecuali pada kebenaran.

Situasinya langsung berubah ketika wasit tak punya kecakapan yang membuat mereka membuat kesalahan; yang membuat tim yang kalah menganggap mereka adalah korban kecurangan.

Anggapan soal kecurangan ini bikin integritas kompetisi menjadi rusak. Hasilnya? kompetisi tak akan lagi dianggap sebagai sebuah persaingan, melainkan juaranya adalah hasil titipan; bukan titipan Tuhan tapi titipan orang dalam.

Saat kompetisi sudah rusak, apa yang mau dijual? Saat tak ada lagi yang mau menonton, orang-orang akan lebih memilih menonton pembahasan bumi datar, karena terasa lebih nyata dan bisa dipercaya ketimbang sebuah kompetisi sepakbola, dengan wasit yang dikendalikan mafia.

Wasit = Investasi Jangka Panjang

Untuk membenahi kualitas wasit, diperlukan waktu yang tak sebentar. Bisa belasan sampai puluhan tahun.

Inggris punya Professional Game Match Official Limited (PGMOL) yang mengurusi wasit. PGMOL adalah organisasi khusus yang dibiayai Premier League sebagai operator Premier League; English Football League (EFL) sebagai operator Divisi Championship, League One, dan League Two; serta FA sebagai federasi.

Fungsi PGMOL adalah melatih, mengembangkan, memberikan pendampingan pada wasit. Keuntungan dari sepakbola Inggris adalah piramida sepakbola mereka yang mencapai 11 hingga 18 Divisi atau semacam liga antar-kecamatan. Hingga divisi terbawah yang diakui oleh FA, semuanya menggunakan wasit berlisensi.

Meski main di divisi terbawah, tapi wasit tetap profesional. Soalnya, mereka diawasi dan dinilai untuk bisa naik kelas. Strata tertinggi wasit di Inggris adalah Select Group. Cuma mereka yang bisa memimpin pertandingan Premier League.

Selain sulit untuk terpilih ke dalam Select Group, mereka yang ada di dalamnya juga tak bisa bersantai. Sepanjang musim, mereka akan dilatih dan dites fisiknya. Ke-22 wasit di Select Group tidak bisa santai-santai saja setelah membuat kesalahan. Soalnya, kinerja mereka selalu dievaluasi. Setiap keputusan dibahas dan setiap kesalahan akan menjadi catatan yang membuat mereka mungkin saja terdegradasi ke tingkatan wasit yang lebih rendah.

Hal serupa juga terjadi di Spanyol. Wasit selalu dievaluasi setiap sekian bulan. Ada tim yang mencatat setiap keputusan yang mereka buat dan menjadikan itu sebagai catatan untuk karier mereka ke depannya. Pun dengan kemampuan fisik mereka yang tak boleh lebih rendah dari standar yang diterapkan.

Jangan sampai ada wasit yang sudah bikin kesalahan fatal, menghadirkan kontroversi, tapi terus diberi kesempatan memimpin pertandingan sampai akhir kompetisi. Iwan Sukoco I Love You.

***

Wasit menjadi faktor penting dalam sebuah kompetisi. Kalau faktor ini dibenahi betul secara serius, bukan tidak mungkin perlahan kualitas kompetisi juga bisa semakin baik lagi.

Tujuan akhirnya kemudian akan tercapai: sepakbola Indonesia bisa berprestasi. Meureun.