Kemenangan dramatis lewat adu penalti atas Coventry City di final play-off Championship di Wembley pada akhir pekan lalu (28/5) memastikan Luton berlaga kembali di kompetisi teratas sepakbola Inggris.
Kisah layaknya dongeng dari Luton Town yang pada 2007 hingga 2009 mengalami kesulitan keuangan dan mismanajemen. Ini membuat mereka mendapatkan pengurangan 30 poin dari pengelola liga, The Football League. Luton akhirnya didepak dari kompetisi EFL dan masuk ke National League, yang berada di tingkat kelima piramida kompetisi sepakbola Inggris.
Perubahan signifikan baru terjadi di bawah kepelatihan John Still. Luton berhasil keluar dari klub “Non-League” (istilah yang digunakan untuk klub yang berlaga di luar kompetisi Football League) pada 2014. Kemudian di bawah asuhan Nathan Jones, Luton sukses menjadi salah satu kuda hitam dan berhasil menggapai divisi Championship dengan menjuarai League One di akhir musim 2018/2019.
Untuk kalian yang belum mengetahui bagaimana sepak terjang tim dari kota kecil Luton yang terletak sekitar 46km ke arah utara (tepatnya barat laut) kota London, kami sajikan beberapa fakta-faktanya.
Bagaimana kiprah Luton Town di kompetisi teratas Inggris?
Fakta menunjukan bahwa Luton belum pernah berkiprah di kompetisi teratas Inggris saat ini, Premier League. Luton sialnya terdegradasi dari First Division (saat itu kompetisi teratas) beberapa bulan sebelum pembentukan Premiership —nama EPL kala itu— di 1991/92.
Luton juga pernah menjadi buah bibir di kalangan penggemar sepakbola Inggris pada satu dekade lalu. Luton menjadi tim non-League pertama yang menyingkirkan wakil Premier League di Piala FA yakni Norwich City di markasnya, Carrow Road pada Januari 2013. FYI, Norwich saat itu diperkuat oleh Harry Kane yang dipinjam dari Tottenham Hotspur.
Luton bermain di stadion yang tidak layak untuk Premier League
Luton bermarkas di Kenilworth Road sejak tahun 1905. Sebelumnya, Luton pernah bermain di lapangan Dallow Lane yang terletak di dekat stasiun kereta Luton dan pindah karena para pemainnya komplain sering tertutup asap kereta api saat bermain sepakbola.
Kemudian Luton pindah ke Dunstable Road, namun hanya bertahan 8 tahun karena mengalami kesulitan keuangan dan akhirnya dijual menjadi perumahan warga. Barulah Luton pindah ke Kenilworth Road yang berjarak hanya 200 meter.
Saat ini, Kenilworth Road adalah salah satu stadion tradisional khas sepakbola Inggris yang masih bisa kita saksikan. Kapasitas penontonnya hanya sekitar 10.000 kursi dan terletak di kawasan pemukiman penduduk. Bahkan, rumah-rumah bertetanggan dengan stadion harus memindahkan terlebih dahulu mobil-mobilnya yang terparkir di depan rumah setiap laga kandang Luton Town.
(Catatan: Di sebagian besar Inggris, diperbolehkan untuk parkir di depan rumah pribadi selama itu merupakan daerah pemukiman)
Persoalannya, stadion Kenilworth Road saat dinilai tidak memenuhi standar kompetisi Premier League. Sehingga membuat mereka yang baru saja dipastikan promosi harus cepat melakukan pembenahan sana-sini dalam waktu kurang dari 3 bulan saja.
Markas Luton Town belum memenuhi persyaratan penyelenggaraan laga Premier League, misalnya ruang media, executive boxes, ruang broadcasting bagi stasiun TV, ruangan fasilitas VAR, bahkan penerangan stadion. Renovasi besar-besaran ini ditaksir memakan biaya 8 hingga 10 juta paun!
Namun dengan “keistimewaan” Kenilworth Road, Luton sadar bahwa langkah besar harus diambil. Pada 2019 lalu, Luton mendapat persetujuan dari dewan kota untuk membangun stadion baru yang lebih representatif. Mereka tetap berharap bisa pindah ke stadion baru berkapasitas 23 ribu penonton yang rencananya bisa efektif digunakan pada musim 2026/2027 nanti.
Mungkin, mereka juga tak pernah menduga akan secepat ini ke Premier League.
Rob Edwards, juru taktik di balik kesuksesan Luton
Rob Edwards, mantan bek berusia 40 tahun yang memenangkan 15 caps untuk timnas Wales, telah mengalami musim yang luar biasa. Musim debutnya sebagai pelatih kepala membuat kesebelasan Forest Green Rovers promosi sebagai juara League Two (kompetisi divisi keempat Inggris) Mei 2021 dan langsung pindah untuk menukangi Watford yang baru saja terdegradasi dari EPL.
Hanya dalam hitungan empat bulan, Edwards dipecat Watford karena performa tim yang inkonsisten. Luton yang baru saja ditinggalkan pelatihnya, Nathan Jones ke Southampton langsung merekrut Rob Edwards. Penunjukan ini sempat menjadi sorotan karena Luton dan Watford adalah tim yang bertetanggaan dan merupakan rival terdekat secara jarak kota —kedua klub hanya berjarak sekitar 26 km—.
Mengisi kursi yang ditinggalkan Nathan Jones sebenarnya adalah tekanan yang cukup besar, mengingat di bawah arahan Jones, Luton berhasil secara tahap demi tahap menjadi tim yang finis lebih baik di tiap musimnya. Apalagi, dalam musim sebelumnya, Luton berhasil mencapai babak play-off, sebelum dikalahkan Huddersfield Town.
Ternyata Rob Edwards mampu menjawab tantangan yang diberikan manajemen dan suporter Luton. Edwards banyak mengandalkan para pemain muda yang berasal dari klub-klub Premier League. Dalam waktu 6 bulan saja, Luton berhasil menjuarai babak play-off dan kembali tampil di divisi teratas setelah lebih dari 3 dekade absen.
Siapa pemain bintang Luton Town?
Ini mungkin terasa klise, tetapi Luton dibangun diatas kolektif yang lebih menonjol daripada pemain bintang. Bisa dikatakan, tak ada pemain yang memiliki kategori apa yang kita sebut “bintang” kalau dilihat dari pengalaman mereka di kompetisi teratas bahkan gaji yang mereka terima. Saat ini, bahan pemain dengan gaji termahal adalah Marvelous Nakamba, pemain yang dipinjam dari Aston Villa pada awal Februari dengan gaji 29 ribu Paun per pekan.
Gelandang Luton, Pelly Ruddock Mpanzu telah menjadi bagian dari klub sejak mereka berlaga di Vanarama National League pada musim 2013/2014. Kala itu Pelly Ruddock bergabung dengan status pinjaman dari West Ham.
Pemain kelahiran London yang memilih memperkuat timnas Republik Demokratik Kongo ini menjadi salah satu pemain penting di lapangan dan ruangan ganti Luton. Pelly Ruddock kini mencatatkan sejarah baru sebagai pemain yang berlaga dari divisi kelima hingga divisi teratas Inggris dengan klub yang sama.
Di posisi penjaga gawang, nama Ethan Horvath juga memainkan peran penting. Kiper yang dipinjam dari Nottingham Forest dan juga pemain timnas Amerika Serikat ini tampil konsisten dan beberapa kali melakukan penyelamatan penting sepanjang musim.
Horvath mencatatkan 20 nirbobol sepanjang musim 2022/2023. Luton menggaji Horvath 12 ribu Paun per pekan, gaji kedua tertinggi di Luton.
Striker Carlton Morris juga memegang peranan vital dalam lini serang Luton. Sebanyak 20 gol dari total 61 gol yang berhasil disarangkan Luton musim ini merupakan bukti nyata ketajamannya. Morris juga mencatatkan rekor tertinggi 10 Man Of The Match di divisi Championship musim ini, berbagi tempat dengan Joao Pedro (Watford) dan Victor Gyökeres (Coventry).
Kredit tinggi juga harus diberikan pada kapten mereka, Tom Lockyer. Bek timnas Wales ini memegang peranan sentral di lini pertahanan Luton sepanjang musim. Dalam malam penganugerahan yang diadakan Luton Town pada 4 Mei lalu, Lockyer meraih lima penghargaan sekaligus: Away Player of the Season, Junior Hatters Player of the Season, Internet Player of the Season dan Players’ Player of the Season.
Lockyer sayangnya mengalami insiden yang mengakibatkan dirinya harus dilarikan ke rumah sakit terdekat akibat terjatuh kolaps pada menit ke-11 babak pertama. Lockyer akhirnya dikonfirmasi selamat dan merayakan promosi Luton ke Premier League dari atas kasur rumah sakit bersama keluarganya.
Bagaimana gaya bermain Luton?
Luton adalah salah satu tim Championship yang bermain dengan tiga bek sejajar musim ini, mengandalkan soliditas di lini tengah dan melancarkan serangan balik cepat, terutama dari sisi kiri.
Luton dibawah arahan Edwards tidak mengandalkan penguasaan bola dan cenderung bersabar menunggu dalam hal membangun serangan. Sebaliknya, mereka secara kolektif bekerja sangat keras untuk melakukan pressing dan memenangkan bola dari lawan.
Catatan kandang Luton juga bisa dibilang impresif, karena lebih banyak mencetak gol saat berada di kandang dan memenangkan laga-laga penting, salah satunya menumbangkan Middlesbrough asuhan Michael Carrick pada babak semifinal play-off dengan skor 2-1 di Kenilworth Road.
The Hatters yang (mungkin) tak punya haters
The Hatters adalah julukan dari klub yang didirikan pada 1885 ini. Kota Luton sejak dulu dikenal sebagai kota penghasil “hat” (topi bundar) sejak abad ke-17, itulah asal muasal mengapa Luton mendapat julukannya.
Luton mungkin akan dipandang sebelah mata karena segala keterbatasannya. Namun rasa-rasanya, semua cerita menarik dari klub “kecil” ini membuat penikmat Liga Inggris musim depan menaruh simpatinya terhadap Luton Town!
Sumber: The Athletic, Yahoo, The Sun, salarysport.com