Fans Newcastle, Mari Konversi Kesedihan Menjadi Tawa

Foto: Freak Lore

11 Agustus 2014. Dunia diguncang kematian komedian sekaligus aktor ternama, Robin Williams. Kariernya sebagai seorang stand-up comedian sebenarnya baru penulis ketahui saat menjamurnya genre komedi tunggal di tanah air pada sekitar 2010-an. Era internet dan akses menonton video yang mudah dari kanal YouTube membuat decak kagum. Bagi orang awam, Robin dikenal lewat perannya di film trilogi Night At The Museum atau juga film Jumanji.

Wajar bila Williams kerap disanjung sebagai salah satu komedian terbaik di dunia. Peraih Oscar melalui film Good Will Hunting ini mengawali karier di dunia hiburan lewat pertunjukan stand-up comedy dari panggung ke panggung di era 70-an. Sebuah era yang disebut “Reinessance of Comedy”.

Pembawaannya santai, kadang berapi-api ketika di atas panggung. Namun satu hal yang patut orang sadari, bahwa kejujuran seorang Robin Williams-lah yang menjadi kelebihannya dalam membawakan materi stand-up. Kejujuran tentang pahitnya hidup, yang kadang penonton rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Yang ajaibnya, rentetan kesedihan atau tragedi dalam hidup dikonversi menjadi tawa.

Inilah yang membuat penulis menyukai stand-up comedy, sebuah pertunjukan yang kerapkali diisi lelucon karangan, namun lelucon tentang kejujuran selalu menjadi juaranya. Singkatnya pula, Robin Williams adalah salah satu comic kesukaan penulis.

Ketika berbicara sepakbola, kekecewaan serta kesedihan adalah hal yang tak bisa terpisahkan dari olahraga ini. Mulai dari persoalan menang-kalah, datang dan perginya pemain kesayangan, dan banyak hal lainnya.

Dengan ini, ijinkan penulis untuk menyoroti klub yang memiliki potensi ini. Sebuah klub dengan tradisi besar di tanah Britania, dengan perjalanan roller coaster nya di tiap musim, dengan rentetan keputusan pemiliknya yang seringkali membuat pendukungnya mengelus dada dan seringkali menyapu air mata di pipi: Newcastle United.

Dari gegap akuisisi menuju bencana perginya Benitez dan Ayoze Perez

Saat kabar pengakuisisian sebuah klub, lazimnya posisi yang menjadi sorotan adalah manajer/pelatih kepala. Rafa Benitez yang notabene merupakan pelatih kelas wahid tentu sedikit aman dari gusuran pemilik baru (seandainya akusisi terjadi).

Pendukung Newcastle tentu dengan sukacita menyambut berita akuisisi klub oleh milyarder asal Timur Tengah, Sheikh Khaled. Sudah terbayang dalam benak, apa jadinya sebuah tim yang ditukangi seorang Rafael Benitez dengan didukung pemain-pemain kelas top.

Namun secara mengejutkan, manajemen Newcastle tidak menyodorkan kontrak baru kepada Benitez dan ia memilih hengkang ke klub CSL, Dalian Yifang.Selama berada di Tyneside, Benitez bisa memaksimalkan potensi yang kalau enggan menyebutnya kurang, mari kita sebut: seadanya. Ia berhasil mendongkrak tim ke Premier League, dan bertahan dari gempuran tim-tim papan atas. Kemampuan adaptasi Benitez dibuktikan dengan memperkenalkan formasi dasar 5-4-1 di Newcastle.


Terkait keputusannya hengkang, manajer berusia 59 tahun tersebut menjelaskan dalam sebuah surat terbuka untuk penggemar Newcastle.

“Saya ingin tinggal (di Newcastle), tetapi saya tidak hanya ingin menandatangani kontrak yang diperpanjang, saya ingin menjadi bagian dari proyek,” tulisnya dalam surat terbuka kepada penggemar. “Sayangnya, semakin jelas bagi saya bahwa mereka yang berada di jajaran atas klub tidak memiliki visi yang sama.

“Saya sangat sedih tentang hal itu, tetapi untuk sesaat saya tidak menyesali keputusan saya untuk datang ke Tyneside dan saya sangat bangga dengan apa yang kami capai bersama. Aku akan selalu memilikimu di hatiku. ” tutup Benitez dalam suratnya.

Melihat penolakan Benitez untuk memperpanjang kontrak, tentu ada alasan kuat yang melatarbelakanginya. Penjualan pemain penting seperti Ayoze Perez, diyakini jadi salah satu alasan kuat. Pasalnya, Ayoze adalah tulang punggung tim yang musim lalu menyumbangkan 12 gol serta 2 asis dari total 3 penampilan.  Penyerang Spanyol ini dilego manajemen Newcastle ke Leicester City dengan bandrol 34,5 juta paun.

The Magpies otomatis hanya menyisakan nama-nama seperti Joselu, Yoshinori Muto, serta Dwight Gayle yang kembali dari masa peminjamannya di West Brom. Daripada sia-sia meminta pengganti  striker sekaliber Ayoze kepada Ashley yang pelit, Benitez mending memilih hengkang.

Briliannya penampilan Salomon Rondon yang didatangkan dengan status pinjaman dari West Brom tak bisa ditebus oleh jajaran Newcastle. Rondon juga memiliki sumbangsih yang signifikan. Striker timnas Venezuela mencetak 11 gol di musim lalu untuk Newcastle. Mengutip laman Talksport,  Newcastle memilih menahan opsi penebusan permanen Rondon, padahal mahar yang tertera hanya sebesar 16,5 juta paun.

Eratnya hubungan Benitez dan Rondon pun kabarnya akan berlanjut di CSL. Dilansir beberapa laman olahraga terkemuka, Rondon siap ditebus oleh Dalian Yifang di kompetisi mendatang dan bereuni di sana.

Sementara itu, penggemar Newcastle tak yakin pemasukan dari uang transfer Ayoze akan dibelanjakan dengan optimal. Sejauh ini, hanya Newcastle tim di Premier League yang belum berbelanja pemain. Mike Ashley lagi-lagi mencari gara-gara.

Steve Bruce? Yang benar saja

Kepergian Benitez tentu disesali penggemar Newcastle. Bagimana tidak, selama tiga tahun bekerja, Rafael Benitez bisa dibilang menjadi pencapaian istimewa di St. James’ Park. Benitez yang sebelumnya melatih kesebelasan papan atas seperti Valencia, Liverpool, Chelsea, Inter, Napoli, Real Madrid, dengan segudang sumber daya yang melimpah tentu tak akan kesulitan bersaing di papan atas. Publik sepakbola pun sempat memandang sebelah mata keputusan Benitez untuk menukangi Newcastle di awal kepindahannya.

Rupanya, jajaran manajeman Newcastle tidak memiliki visi yang sama dengan Benitez untuk membuat Newcastle menjadi klub yang terus bertumbuh dan menjadi tim papan atas. Terbukti dari pilihan Direktur Sepakbola mereka, Lee Charnley, yang dikabarkan melakukan pendekatan terhadap manajer kawakan, Steve Bruce, yang musim lalu menangani Sheffield Wednesday. Bruce? Yang benar saja.

Belum diketahui apa penyebab Newcastle membidik Bruce untuk menukangi mereka musim depan. Bila dilihat, prestasi Bruce di Sheff Wed juga bisa dibilang medioker. Bruce gagal membawa The Owls ke zona play-off musim lalu. Begitupun dengan prestasi Bruce di klub sebelumnya, Aston Villa yang kala itu disokong uang belanja dari milyuner Tiongkok, Tony Xia. Bruce terbukti gagal mendongkrak prestasi Villa dan dipecat setelah mengalami serentetan hasil buruk. Prestasi yang paling diingat dari Bruce adalah membawa Birmingham City promosi ke Premier League 2 kali selama ia melatih The Blues dalam 6 musim.

Sedikit mengingatkan: Pada laga terakhirnya bersama Villa, Steve Bruce dihadiahi sebuah sayur kol oleh fans Aston Villa yang dilemparkan dari tribun penonton sebagai kado perpisahan untuk keesokan paginya.

Bruce tentu akan mendapatkan sorotan lain karena pengalamannya menangan sangi rival abadi, Sunderland. Selain itu, Newcastle juga akan dipertanyakan ambisinya dengan menganti manajer kelas dunia seperti Rafa Benitez ke tangan pelatih sekaliber Steve Bruce. Apalagi, Bruce pernah mengundurkan diri dari posisi manajer Hull akibat dirinya tak mendapat dukungan finansial di bursa transfer. Belajarlah dari masa lalu, Steve.

Para komedian tunggal ternama seperti Robin Williams, Sarah Silverman, atau Jim Carrey, mengajarkan kita arti sebuah kejujuran di balik pertunjukan komedi mereka. Kejujuran tentang segala hal dalam hidup termasuk kesedihan, kegelisahan, atau kecemasan tersebut dengan lihainya mereka ubah menjadi sebuah tawa.

Maka bagi semua pengemar sepakbola, terutama Newcastle, sebuah kejujuran tentang runtutan kekecewaan dan kesedihan ini ada baiknya dikonversi menjadi sebuah tawa. Kepergian Robin Williams pun memberi pelajaran pada kita bahwa kesedihan mendalam sangat berbahaya bagi mental kita.

Karena sepakbola-lah yang menjadi terapi kita dalam menjalani hidup dan sebaik-baiknya terapi (selain tidur) adalah: Tertawa.