Gamblers Falacy dalam Kutukan di Piala Dunia

Piala Dunia 2018 sudah mencapai babak perempat-final, dengan peserta tersisa yaitu Uruguay, Perancis, Brasil, Belgia, Swedia, Inggris, Rusia, dan Kroasia. Para kontestan baru akan melanjutkan duel dimulai dari Jumat (6/7) malam WIB hingga Minggu (8/7) dini hari WIB nanti.

Seperti turnamen-turnamen lainnya, Piala Dunia pun menghadirkan kejutan. Dimulai dengan terjungkalnya para unggulan juara seperti Spanyol, Argentina dan Jerman. Meksiko yang sempat memberikan kejutan dengan mengalahkan Der Mannschaft di laga pertama fase grup pun harus terhenti di babak 16 besar.

Namun ada yang membuat publik bertanya-tanya di Piala Dunia kali ini. Apakah Jerman terkena kutukan juara bertahan yang tidak mampu lolos ke babak 16 besar? Apakah Spanyol harus selalu takluk dari tuan rumah? Apakah Meksiko memang tidak akan pernah bisa melakoni laga kelima di putaran final? Lalu kenapa Inggris bisa mematahkan kutukan adu penalti kala melawan Kolombia?

Kutukan Itu Nyata?

Dalam olahraga secara keseluruhan, ada keyakinan bahwa sebuah kekuatan supranatural memiliki peran signifikan dalam sebuah laga. Kekuatan tak tampak mata ini kerap dijadikan sebagai kambing hitam atas kegagalan atau ketidakberuntungan seorang pemain, tim, klub, atau bahkan kota.

Di sepakbola, Birmingham City menjadi klub terlama yang harus menanggung kutukan. Tidak tanggung-tanggung, The Blues harus bermain dengan kutukan selama 100 tahun, sejak 1906 hingga 2006.

Menurut legenda, kepindahan dari kandang pertama, Muntz Street ke St Andrew’s menjadi perkaranya. Pasalnya lokasi stadion yang dibangun pada 1906 itu merupakan bekas tempat tinggal orang-orang Rom, atau yang biasa disebut gipsi, yang dipaksa pindah sehingga menimbulkan amarah dan melancarkan kutukan.

Selama bertahun-tahun Birmingham mencoba menghapuskan kutukan tersebut, seperti yang dilakukan manajer Ron Saunders dengan memasang salib-salib di tiang lampu dan mencat sol sepatu para pemainnya dengan warna merah. Lalu ada Barry Fry yang mengencingi keempat penjuru lapangan. Tidak ada usaha itu yang membuahkan hasil, sampai pada Boxing Day 2006 kala tuan rumah mengalahkan Queens Park Rangers dengan skor akhir 2-1. Empat tahun kemudian mereka memenangi trofi pertama sepanjang sejarah dengan mengangkat Piala Liga usai tundukkan Arsenal di babak final.

Lantas ada pula kutukan gol Aaron Ramsey, yang disebut-sebut tiap kali pesepak bola asal Wales itu mencetak gol, selalu ada orang terkenal yang meninggal dunia. Tidak tanggung-tanggung, nama yang dikaitkan dengan kutukan tersebut adalah Osama bin Laden, Muammar Gadaffi, Steve Jobs, Whitney Houston, Robbin Williams, David Bowie, Chester Bennington, Paul Walker, Alan Rickman dan Roger Moore.

Lalu apakah betul Jerman terkena kutukan juara bertahan yang tidak pernah bisa lolos dari fase grup, seperti yang pernah menimpa Italia dan Spanyol serta Perancis? Seperti diketahui, Gli Azzurri sukses jadi juara di Piala Dunia 2006 Jerman tapi gagal di edisi 2010. Di putaran final 2010 Spanyol keluar sebagai juara tapi harus pulang lebih awal di edisi 2014 Brazil. Perancis pun pernah merasakannya di Piala Dunia 2002 Korea-Jepang, setelah jadi juara empat tahun sebelumnya.

Argentina hampir pernah bernasib sama di Piala Dunia 1990, tapi bisa lolos ke babak 16 besar melalui playoff usai miliki poin dan selisih gol yang sama dengan Romania dan duel keduanya pun berjalan imbang 1-1. Situasi ini serupa seperti Senegal dan Jepang kemarin, tapi aturan fair play baru diterapkan di edisi kali ini.

Bagaimana dengan Spanyol yang tidak pernah bisa menang melawan tuan rumah empat kali beruntun? Atau kutukan El Quinto Partido, yang berarti kutukan laga kelima sebab El Tri kerap gagal melakoni pertandingan kelima sejak Piala Dunia 1994 Amerika Serikat.

Probabilitas Matematika

Bagi pribadi-pribadi yang relijius, kata kutukan akan sulit diterima sebab mereka meyakini Yang Maha Kuasa lah yang berhak untuk berbuat demikian. Begitu pun bagi orang-orang yang menggeluti matematika yang akan sulit mempercayai rangkaian peristiwa acak dan fair sebagai sesuatu yang sudah ditentukan.

Dalam ilmu hitung-hitungan tersebut, ada ungkapan yang disebut gambler’s fallacy atau yang artinya falasi pejudi. Singkatnya, falasi pejudi berarti kesesatan cara berfikir yang biasa terjadi pada seorang yang melakukan judi. Teori ini kadang disebut pula dengan Monte Carlo fallacy, yang merujuk pada kota Monte Carlo di Monako yang mempunyai segudang kasino.

Menurut falasi pejudi, ketika serangkaian insiden membuahkan hasil yang sama, maka hasil berikutnya pasti akan sama, terlepas dari tidak adanya pengaruh pada proses tersebut. Sebagai contoh: ketika sebuah koin dilempar tiga kali dan menghasilkan sisi gambar, maka lemparan keempat dan berikutnya diyakini akan menghasilkan sisi gambar lagi.

Falasi pejudi lainnya adalah ketika serangkaian insiden membuahkan hasil yang sama, maka hasil-hasil berikutnya dipastikan berbeda, walau tidak ada pengaruh apapun selama proses terjadi. Contohnya: tiga lemparan koin menghasilkan sisi gambar, maka tiga lemparan berikutnya akan menghasilkan sisi nominal.

Artinya probabilitas sebuah peristiwa dengan dua hasil pasti adalah 0,5 atau 50 persen, selama prosesnya terjadi tanpa bias dan independen. Dengan dua syarat tersebut, maka akan tercipta proses yang fair dan menghasilkan ketidakaturan pada hasil.

Dengan teori ini, maka apa yang terjadi kepada Spanyol, Jerman, dan Meksiko, serta Birmingham City dan Aaron Ramsey hanya sebuah peristiwa acak dengan probabilitas tersendiri. Kecuali adanya pengaturan skor di Piala Dunia 2018 Rusia, maka apa yang terjadi pada La Roja, Der Mannschaft, dan El Tri, bukan lah sebuah peristiwa acak.

Apakah di Piala Dunia 2022 Qatar nanti tim nasional Spanyol dipastikan takluk dari tuan rumah, walau kualitas keduanya terbilang jomplang? Apakah Meksiko dipastikan tidak akan bisa masuk ke babak perempat-final lagi? Atau juara di Rusia nanti tidak akan berkutik di fase grup?

Sulit untuk diprediksi sebab setiap tim mempunyai kans yang sama untuk meraih kemenangan sejak laga pertama fase grup. Yang menjadi pembeda adalah kualitas dari tiap-tiap kesebelasan dan pemanfaatan taktik serta kondisi tim atau pemain yang terjadi pada saat itu. Jika berasumsi apa yang bakal terjadi pada 2022 nanti sejak saat ini, maka kita hanya meramal semata dengan hasil yang belum tentu terjadi, alias cocoklogi.