Sosok legendaris seperti Gennaro Gattuso tak bisa dielakkan lagi sebagai pemain. Namun sebenarnya keputusan manajemen Milan untuk memperpanjang kontrak “Rhino” pada April tahun lalu perlu dipertanyakan.
Rentetan kritik dan juga puasa gelar yang mereka alami sebagai imbas krisis keuangan membuat mereka “terpaksa” melakukan eksperimen-eksperimen yang berakhir dengan kegagalan. Rasanya sulit mempercayai bahwa tim sekelas AC Milan harus tertath-tatih dan puas dengan mencapai peringkat keempat di kompetisi Eropa. Belum lagi, absennya mereka dari turnamen Champions League kini merupakan sebuah keniscayaan.
Kami mencoba memberi penjelasan mengapa era Gattuso harus segera diakhiri di AC Milan.
Kiprah Kepelatihan Tak Meyakinkan Gattuso
Curriculum vitae “Rhino” Gattuso belum pernah melatih tim sekaliber Milan. Sedikit kilas balik, ada baiknya kita mengingat track record Gattuso sebagai pelatih kepala. Kariernya dimulai di FC Sion, Swiss kala masih aktif bermain. Di sana ia menduduki kursi pelatih hanya 3 bulan saja. Sejak Februari hingga Mei 2013, Gattuso hanya memenangkan 3 dari 12 laga yang dijalani Sion. Sebuah hasil yang tentu saja layak diganjar surat pemecatan.
Lalu karier kepelatihannya berlanjut di Palermo. Il Rosanero kala itu baru saja bermain di Serie B karena terdegradasi musim sebelumnya. Di klub Sisilia ini kariernya lebih mengenaskan. Ia hanya memenangkan 3 laga dari total 8 laga yang dijalani Palermo. Ia dipecat tanpa rasa penyesalan oleh Maurizio Zamparini, pemilik Palermo saat itu.
Rentetan pemecatan Gattuso dalam waktu 7 bulan saja rupanya masih menarik perhatian klub Greek Super League, OFI Crete. Turun di level yang berbeda dengan kompetisi Italia, idealnya berbuah hasil yang lebih baik bagi Gattuso, tapi lagi-lagi dirinya belum cukup mumpuni untuk level Yunani sekalipun. Karier kepelatihan pemilik 73 caps Italia ini di OFI Crete hanya berusia setengah musim.
Menganggur setengah musim, Gattuso kembali ke Italia untuk menukangi Pisa, klub yang saat itu berlaga di Lega Pro (divisi ketiga Italia). Bersama Pisa, Gattuso menunjukkan potensinya. Ia berhasil membawa Pisa berlaga ke Serie B musim 2015/2016. Satu bulan setelah membawa promosi, ia memutuskan untuk meninggalkan klub dengan alasan ketidakpuasan dengan klub. Namun, sebulan kemudian ia memutuskan kembali melatih Pisa.
Keberhasilannya bersama Pisa membuat Milan merekrutnya menjadi pelatih kepala untuk Milan Primavera. Posisi tersebut sebelumnya diisi oleh mantan kompatriotnya, Pippo Inzaghi dan Cristian Brocchi. Kekosongan posisi pelatih kepala AC Milan sepeninggal Vincenzo Montella membuat Gattuso ditunjuk sebagai pelatih kepala sejak November 2017.
Sebenarnya, penunjukkan Gattuso banyak diragukan berbagai kalangan, terutama pengamat sepakbola. Bagaimana bisa, pelatih dengan rasio kemenangan rata-rata kurang dari 30 persen bisa melatih tim sekaliber AC Milan?
AC Milan diketahui sebagai klub yang ramah terhadap eks pemainnya. Bisa dibilang, kesuksesan pelatih-pelatih mereka seperti Fabio Capello, Carlo Ancelotti, ataupun Cesare Maldini tak bisa dilepaskan dari kontribusi mereka saat memperkuat Milan sebagai pemain. Faktor tersebut adalah salah satu alasan mengapa Milan melakukan penunjukkan. Sebelum Gattuso, Milan sempat mengagetkan banyak pihak dengan menunjuk Clarence Seedorf dan juga Filippo Inzaghi di kursi kepelatihan. Hasilnya: gatot alias gagal total.
Gattuso Hanyalah Eksperimen Manajemen
Gattuso bisa jadi adalah “percobaan” yang dilakukan Milan. Mungkin Milan berharap Gattuso bisa menjadi Pep Guardiola-nya Barcelona atau Diego Simeone-nya Atletico Madrid yang bisa muncul menjadi pelatih hebat dunia yang merupakan ikon klub. Tapi Milan lupa kalau Simeone pernah membawa juara Estudiantes La Plata dan River Plate menjadi juara di Argentina, dan begitupun Pep dengan catatan impresifnya bersama Barcelona B. Tapi Gattuso dengan catatan melatihnya yang ancur? Ayolah, Milan.
Sebenarnya, catatan Gattuso bersama Milan tidaklah buruk, apalagi kalau kita melihat skuat dan badai cedera yang kerap menerpa pemain-pemain Milan. Musim perdananya melatih Milan, Gattuso berhasil “menyelamatkan” Milan dengan finis ke-6 setelah rentetan hasil buruk bersama Montella. Di musim ini, Milan sementara lolos ke zona Champions League musim depan. Rentetan hasil mengecewakan di 4 laga terakhir ini, termasuk kalah oleh Inter dan Juventus pada beberapa pekan lalu.
Gaya bermain Gattuso pun mengundang beberapa pihak untuk berkomentar, termasuk Silvio Berlusconi, eks pemilik AC Milan, dan juga wakil Perdana Menteri Italia, Matteo Salvini, yang juga penggemar berat Milan. Berlusconi mengkritik gaya bermain Milan yang menurutnya keluar dari pakem trequartista, peran yang banyak mendatangkan banyak trofi bagi AC Milan. Sementara, bagi Salvini, Gattuso bukanlah peramu taktik yang andal.
Milan dan Tradisi Menunjuk Pelatih Berkualitas
Sejak pengambilalihan saham Milan oleh Berlusconi pada 1986 silam, Milan seolah menemukan kejayaan yang bahkan belum pernah dicapai era sebelumnya. Salah satu faktor jitu Berlusconi adalah merekrut allenatore andal.
Pelatih legendaris Arrigo Sacchi adalah penunjukan pertama Berlusconi menggantikan Fabio Capello yang saat itu bertindak sebagai caretaker. Sacchi dikenal sebagai tactician andal, juga revolusioner taktik di Italia dengan 4-4-2 yang terkenal. Peran vitalnya bersama Parma saat itu, termasuk 2 kali menumbangkan AC Milan di Copa Italia membuat Berlusconi membawanya ke San Siro.
Hasilnya, Sacchi meraih 9 major title bersama Milan, termasuk memenangi European Cup (sekarang Champions League), European Supercup, dan Intercontinental Cup dua musim berturut (1989 dan 1990)
Begitupun saat Fabio Capello menggantikan Sacchi. Berlusconi seakan memiliki insting jitu untuk memilih pelatih kepala. 5 musim melatih Milan, Capello meraih 6 trofi. Pun saat Berlusconi menunjuk Alberto Zaccheroni yang mampu membawa Udinese menjadi kuda hitam Serie-A. Bahkan kita bisa ingat kegagalan Carlo Ancelotti bersama Juventus bisa “disulap” Milan menjadi pelath terbaik dunia dengan 2 titel Champions League di 2003 dan 2007. Ancelotti juga punya track record bagus kala membawa Reggiana promsi ke Serie-A dan membawa Parma menjadi runner-up Serie A. Semua membuktikan kalau penunjukan pelatih berprestasi yang dilakukan oleh Milan, pantas diganjar kejayaan.
Namun yang terjadi sepeninggal era Massimiliano Allegri yang berbarengan dengan krisis keuangan, membuat Milan oleng dan kehilangan tajinya sebagai klub besar. Penunjukan pelatih kepala kelas medioker seperti Clarence Seedorf, Sinisa Mihajlovic, Cristian Brocchi, Filippo Inzaghi, hingga kini, Gennaro Gattuso terjadi karena krisis. Sebuah keadaan yang membuat Milan harus rela menjadikan sebuah prestasi medioker sebagai ganjarannya.
Perbaikan keuangan yang dialami setelah pengambilalihan oleh Elliot Corporation sudah selayaknya bagi mereka untuk memutus tradisi ini. Gennaro Gattuso haruslah menjadi akhir dari era penunjukan pelatih dengan latar belakang prestasi medioker.
Milan sudah absen 5 musim mengikuti Champions League. Terakhir, Rossoneri tersingkir di babak 16 besar oleh Atletico Madrid musim 2013/14 saat masih dilatih Massimiliano Allegri. Kondisi keuangan klub yang tidak stabil membuat banyak turbulensi didalam klub. Namun dengan kondisi keuangan klub yang stabil, Milan siap kembali untuk menantang Serie-A dan Liga Champions.
Karenanya, manajemen Milan haruslah bertindak cepat menanggapi apa yang kini mereka hadapi. Penampilan apik para pemainnya musim ini tentu mengundang klub lain untuk membeli mereka. Mengganti pelatih yang lebih “meyakinkan” mereka untuk meraih trofi di musim depan sangatlah penting atau bisa-bisa mereka minggat dari klub, belum lagi persoalan belanja gila mereka ang membentur Financial Fair Play. Ini membuat semuanya menjadi jelas: belanja pemain gila-gilaan bukanlah solusi, Milan!
Persoalannya, apakah Milan bersama Gattuso-nya bisa membawa Milan kepada fitrahnya sebagai klub besar? Ingat, Milan adalah pemegang 13 kali juara Italia dan 7 kali Liga Champions. Finis sebagai peringkat keempat di Serie-A terlalu medioker buat Milan!
Rasanya, musim inilah saat yang tepat untuk memulai pola baru untuk menunjuk pelatih yang terbukti berkualitas, jika tidak Milan akan terus memelihara Gennaro Gattuso sebagai simbol mediokritas mereka saat ini.