Seperti halnya budaya yang lain, kemenangan juga merupakan sebuah budaya yang harus dibentuk melalui proses yang panjang agar menjadi kuat dan tak tergoyahkan. Setidaknya hal itulah yang berusaha disampaikan oleh seorang Sebastian Giovinco yang sekarang sedang meniti karier di Major League Soccer bersama Toronto FC.
Kemenangan, layaknya budaya-budaya yang tumbuh dan bertebaran di masyarakat sekarang ini, bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja. Untuk menjadi sebuah budaya dan mitos yang kuat, kemenangan mesti melalui beragam tahap agar menjadi sesuatu yang kukuh di masyarakat. Jika boleh meminjam istilah dari Roland Barthes, kemenangan harus melalui proses konotasi dan denotasi yang berulang-ulang sebelum akhirnya tumbuh menjadi sebuah mitos yang kuat.
Kalau boleh mengambil contoh, salah satu proses membentuk budaya menang yang cukup sahih adalah contoh dari seorang Sebastian Giovinco. Pernah menjadi andalan Juventus, sekarang pemain asal Italia ini memilih untul melanjutkan karier sepak bolanya jauh dari keramaian sepak bola Eropa, yaitu di Amerika Serikat.
Tapi, meski sudah menyeberang jauh dari Italia, Giovinco tetap tidak lupa tentang apa yang sudah tertanam dalam dirinya sejak dia masih remaja dahulu. Sebuah budaya yang bernama budaya kemenangan.
Proses Giovinco Membentuk Budaya Menang
Dalam sebuah tulisan di laman The Players’ Tribune, Sebastian Giovinco membicarakan banyak hal. Dia membicarakan tentang bagaimana tentang masa kecilnya di Turin, serta berbagai hal yang terjadi dalam karier sepak bolanya sehingga pada akhirnya dia menjadi pemain FC Toronto, salah satu klub yang berlaga di Major League Soccer, Amerika Serikat.
Namun bagian menarik dari tulisan Giovinco di laman tersebut adalah ketika dia berkisah saat dia masih berusia 15 sampai 16 tahun. Ketika itu, Giovinco sudah menjadi bagian dari akademi Juventus. Dia bercerita saat dia menangis karena tidak kunjung mendapatkan jam main yang banyak di akademi.
Melihat Giovinco remaja yang menangis seperti itu, ayahnya pun mengatakan bahwa dia tidak akan lagi membawa Giovinco ke tempat latihan, karena dia tidak ingin melihat anaknya menangis seperti itu seusai latihan. Dia hanya ingin melihat anaknya bahagia dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya.
“Saya pun berpikir ketika itu. ‘Ok, saya tidak akan menangis. Saya akan bekerja keras. Dan menang. Ini memang mentalitas yang berusaha diterapkan di klub. Tak ada air mata. Tak banyak bergembira. Menang. Mereka mengajarimu tentang rasa hormat, juga bagaimana menang dengan rasa hormat. Tapi pada dasarnya, semua berakhir dengan satu kata. Kemenangan,” ujar Giovinco.
Penanaman mentalitas inilah yang membuat Giovinco tumbuh menjadi pribadi yang tidak cepat berpuas diri dan selalu berusaha untuk menekan dirinya menjadi lebih baik lagi. Tidak bergembira secara berlebihan ketika menang, dan tidak terlalu bersedih ketika mengalami kekalahan. Yang ada hanya keinginan untuk terus maju ke depan dan menjadikan masa lalu sebagai pelajaran.
Mentalitas menang inilah yang Giovinco bawa ketika dia memutuskan untuk hijrah ke FC Toronto demi jam bermain yang lebih banyak. Meski pada awalnya sulit untuk beradaptasi, perlahan dia menemukan kesamaan antara Toronto dan masa-masa bermainnya ketika dia di Juventus. Mentalitas kemenangan itu haruslah ada, dan meski Toronto beberapa kali mengalami kegagalan, tidak ada hal lain yang harus dilakukan selain bergeming dengan kekalahan tersebut dan tetap melaju ke depan.
Dengan budaya dan mentalitas menang yang sudah tertanam kuat di dalam dirinya sejak lama inilah, yang membuat Giovinco dengan segera menjadi sosok yang dicintai oleh publik Toronto. Hal sebaliknya pun dirasakan oleh pemain asal Italia tersebut, membuatnya selalu ingin membalas dukungan suporter Toronto dengan permainan mengesankan dan puncak dari segala kemenangan demi kemenangan yang diraih: gelar.
“Ketika saya tidak bicara. Saya mendengarkan. Saya mendengarkan suporter yang bernyanyi di stadion. Meski saya tidak mengerti lagu-lagu yang mereka nyanyikan (saya masih belajar), saya tahu ketika mereka menyanyikan nama saya di stadion. Saya mendengarnya, dan saya merasakannya,” ujar Giovinco.
Budaya Menang di Indonesia yang (Masih) Belum Terbentuk
Dari Giovinco, juga dari pemain-pemain lain yang memiliki mental kuat di luar negeri sana, sebenarnya banyak hal yang bisa dipelajari, terutama oleh orang-orang Indonesia, khususnya para pesepak bola dan stakeholder yang melingkupi mereka. Budaya menang, bukanlah budaya yang terbentuk hanya sehari dan dua hari. Perlu proses panjang untuk melakukannya.
Namun di Indonesia, yang segalanya masih menginginkan proses yang instan, membentuk sebuah budaya yang baik adalah perkara yang sulit, salah satunya di bidang sepak bola. Jika ingin mengambil contoh kasus, sebenarnya bisa dilihat dari keikutsertaan Indonesia di ajang Piala AFF.
Sebagai salah satu kontestan Piala AFF (dahulu bernama Piala Tiger), Indonesia sebenarnya memiliki banyak kesempatan untuk menggondol trofi ini, yakni pada 2000, 2004, 2010, dan yang teranyar adalah pada 2016 silam. Dalam empat perhelatan Piala AFF tersebut, Indonesia sukses menembus babak final. Namun apa yang terjadi? Indonesia selalu kalah dan kalah lagi. Dalam ajang SEA Games, sejak terakhir meraih emas pada 1991 silam, Indonesia juga tidak pernah lagi meraih medali emas di cabang sepak bola.
Memang kalah sekali dua kali adalah hal yang wajar. Giovinco, ketika remaja, juga merasakan hal yang sama. Menit bermainnya dikurangi. Tapi, Giovinco berbenah. Ujaran dari ayahnya membuatnya menjadi lebih bekerja keras. Akhirnya dia masuk skuat utama Juventus. Mentalitas Juventus untuk menang dengan cara yang terhormat, perlahan mulai merasuk dirinya. Itu karena dia belajar. Belajar dari kegagalan, perlahan demi perlahan, sehingga menang menjadi sebuah hak yang biasa dan juga tidak ditanggapi secara berlebihan, karena kegagalan bisa saja mengintai suatu waktu.
Hal inilah yang masih kurang dari semua pelaku bola di Indonesia. Namun pengecualian untuk Persipura Jayapura, yang sampai empat musim sukses menggondol gelar Liga Super Indonesia, dengan selingan beberapa kali menjadi runner-up. Bisa dibilang, kebiasaan mereka untuk juara sudah tertanam, meski memang selama beberapa musim ke belakang mereka juga sedikit sulit untuk bersaing dengan kontestan lain di perhelatan kompetisi sepak bola Indonesia.
Untuk terbiasa menang, hal pertama yang harus dilakukan adalah menerima kekalahan. Kekalahan dari Thailand, kekalahan dari Malaysia, dan juga kekalahan dari beberapa tim lain yang pernah menghadapi Indonesia harus diterima. Tapi kekalahan tidak hanya sebatas diterima saja, melainkan juga harus dicari tahu sebabnya. Pangkal dari kekalahan yang terjadi dijadikan bahan evaluasi, sehingga kesalahan yang sama tidak terjadi di kemudian hari.
Ketika meraih kemenangan, berpesta adalah hal yang sah-sah saja dilakukan, Tapi baru masuk partai final saja sudah berpesta, adalah hal yang tak perlu dilakukan. Saat kemenangan berhasil didapat, jangan menutup mata pada kekurangan-kekurangan yang ada. Kekurangan-kekurangan ini harus diatasi dan dicari solusinya, karena bisa saja kelak di pertandingan ke depan, justru kekurangan ini yang menjadi pangkal kekalahan. Inilah yang Giovinco lakukan, sehingga pada akhirnya budaya menang–tidak berbahagia secara berlebihan, juga tidak bersedih berlarut-larut–terbentuk dengan sendirinya.
Jika selalu sedih berlebihan ketika kalah, serta kelewat berbahagia ketika menang, jangan harap budaya menang akan terbentuk dengan sendirinya. Bukan hanya timnas, di level klub, hal yang sama juga harus mulai dilakukan. Budaya untuk menang, kalau sudah dibiasakan di level klub, dengan sendirinya akan menular ke timnas Indonesia. Ini yang akan menjadi muara dari kompetisi profesional di Indonesia, yaitu menghasilkan pemain-pemain berkualitas yang siap untuk bela negara di ajang internasional.
***
Indonesia masih bisa berbicara. Selama masih ada bibit-bibit muda mumpuni, maka Indonesia masih punya peluang besar untuk juara. Mungkin tidak di masa kini, melainkan di masa depan ketika bibit-bibit muda tersebut sudah tumbuh dan berkembang menjadi pesepak bola mumpuni. Semua masih bisa terjadi dan apa yang terjadi masa depan, adalah manifestasi dari apa yang dilakukan di masa kini.
Tapi semua impian tentang juara di masa depan akan sirna, kalau budaya untuk menang ini tidak dibentuk dari sekarang. Jerman bisa menjadi juara setelah membentuk budaya menang ini sejak 2000 silam. Jepang mampu bicara di kompetisi internasional lewat budaya menang yang mereka terapkan lewat pembinaan berjangka waktu 100 tahun. Indonesia bisa melakukan hal serupa.
Intinya, Indonesia harus belajar menikmati proses. Proses tidak akan mengkhianati hasil. Maka lakukan proses dengan baik, kelak hasil yang didapat juga akan menjadi baik. Budaya menang dibentuk lewat proses, maka jika prosesnya berjalan baik, maka menang kelak akan menjadi sebuah kebiasaan bagi Indonesia.