Ingatan Tentang Hariono dalam Empat Babak

Foto: (c) PERSIB.co.id/Gregorius Aditya Katuk

Jika Eko Maung dalam akun Instagramnya menyebut bahwa Hariono meninggalkan kesan, mungkin saya akan menanggapinya dengan sedikit berbeda.

Kembali merujuk kepada manga “Giant Killing”, di situ disebutkan bahwa ada satu orang wartawan perempuan bernama Fujisawa. Ia begitu dekat dengan salah satu tokoh utama manga “Giant Killing”, pemuda berbakat bernama Daisuke Tsubaki.

Ketika wartawan yang lain menyindirnya, salah satu fotografer senior–yang juga tokoh dalam manga–bernama Kudo, mengungkapkan bahwa Fujisawa memiliki kelebihan dibanding wartawan lain. Ia melihat pemain sepakbola sebagai manusia.

Hal itulah yang membuatnya bisa mendekati Tsubaki, sekaligus mendapatkan perhatian dari manajer Takeshi Tatsumi, dengan baik. Ia tidak terpaku sistem laiknya wartawan lain. Pemain pun menyambut perasaan ini dengan perilaku yang sama.

Maka, dalam tulisan ini, izinkanlah saya mengenang Hariono sebagai manusia yang ingin dimengerti oleh manusia lain. Bukan hanya karena tekniknya maupun keberingasannya di atas lapangan.

Saya tuangkan memori saya kepada Hariono di tulisan ini, yang dipisahkan dalam tiga babak berbeda.

Babak Pertama: Kisaran 2008

Ketika itu, saya masih duduk di bangku kelas dua SMA. Rasa cinta saya terhadap Persib saat itu sangat besar. Saya bahkan sering kesal sendiri manakala Persib menderita kekalahan pada tahun-tahun tersebut.

Namun, dari sekian banyak memori yang terperam dalam ingatan pada 2008 silam, salah satunya adalah kemunculan talenta bernama Hariono. Ia datang ke Persib seiring dengan hadirnya Jaya Hartono dan Waluyo, dua eks Deltras Sidoarjo.

Saya ingat kali pertama Hariono menginjakkan kaki di Stadion Siliwangi. Saat itu, Persib menghadapi Persela Lamongan. Hariono masuk menggantikan Suwita Patha di babak kedua. Tidak ada kecanggungan dalam gestur Hariono.

Malah, Hariono sukses mengantarkan Persib menang 5-2 atas Persela di laga itu. Namun, siapa sangka tepi garis lapangan Siliwangi yang ketika itu ia lewati, menjadi awal dari karier panjangnya bersama Persib, sekaligus membuatnya jadi legenda di Tanah Pasundan.

Babak Kedua: Kisaran 2014

Tidak ada tahun yang lebih menyenangkan bagi bobotoh–sebutan untuk pendukung Persib–selain tahun 2014. Pada 7 November 2014, Persib resmi merengkuh gelar juara Liga Indonesia untuk kedua kalinya, setelah menunggu 19 tahun lamanya.

Bobotoh berpesta. Jalanan Bandung, terutama di ruas Alun-alun kota, dipenuhi orang-orang berpakaian biru yang berpesta pora. Mereka merasakan euforia, sesuatu yang mungkin belum lagi akan mereka rasakan bertahun-tahun ke depan.

Skuat Persib 2014 pun tak luput dari pujian. Firman Utina, Ferdinand Sinaga, Vladimir Vujovic, Achmad Jufriyanto, hingga Makan Konate dilambungkan bak dewa. Mereka dianggap malaikat yang sukses kembali mengantarkan trofi ke Bandung.

Nah, dari deretan skuat Persib 2014, ada Hariono di dalamnya. Saya, yang waktu itu sudah kuliah semester akhir, mulai menyadari peran penting Hariono. Tidak hanya sekadar tekel dan intersep, ada hal lain yang membuat saya kagum padanya.

Keberanian, sekaligus kemauannya maju saat kawan setim terkena masalah, adalah sebuah hal yang membuat saya salut. Di balik wajah garangnya, tersimpan jiwa kepemimpinan yang besar.

Selain itu, ia juga tidak neko-neko dan hidup dengan sederhana. Tentu ini adalah sesuatu yang jarang ditemui, apalagi dari pemain yang membela tim sekelas Persib.

Babak Ketiga: Kisaran 2016

Dua tahun berselang, Hariono kembali menyimpan sesuatu yang sukses diperam oleh ingatan saya. Hal itu terjadi saat Persib mentas di ajang Indonesia Soccer Championship 2016. Persib menghadapi Perseru Serui.

Saat itu posisi saya sudah lulus kuliah. Saya bekerja di sebuah media analisis sepak bola terkemuka di kota Bandung. Saya hadir ke stadion bukan untuk bekerja. Kala itu, saya sedang libur dan teman saya mengajak saya nonton Persib.

Tanpa pikir panjang, akhirnya saya menyetujui ajakannya. Biar saja, daripada tak ada kegiatan sama sekali. Toh, saat itu lawan Persib adalah Perseru. Bisa lah, sekalian saya ngeceng bobotoh-bobotoh cantik (baca: geulis).

Namun, yang terjadi justru lebih dari apa yang saya harapkan. Saya menjadi saksi sejarah ketika Hariono mencetak gol pertama untuk Persib. Lebih istimewa lagi, ketika saya menyaksikan Hariono, berduet bersama Tony Sucipto, tampil apik sebagai bek tengah.

Semua diawali saat Febri Haryadi dijatuhkan oleh salah seorang pemain Perseru di kotak penalti. Sempat terjadi perdebatan siapa yang akan mengambil penalti saat itu, sebelum akhirnya Hariono didaulat maju sebagai eksekutor.

Sempat tak mau, Hariono akhirnya bergerak mengambil penalti. Sepakannya terarah, dan gagal dihentikan Annas Fitranto, penjaga gawang Perseru. Persib sukses menang 6-2 saat itu, dan saya pulang bersama teman saya dengan gembira.

Ya, saya menjadi saksi sejarah.

Babak Keempat: Tahun 2019

Tahun ini, tidak diduga-duga, menjadi tahun pamungkas Hariono bersama Persib. Robert Rene Alberts, pelatih Persib, mengaku tidak akan mempertahankan Hariono untuk musim 2020.

Saya merasa sedih. Semua kenangan tentang Hariono harus ditutup. Tentang keberingasannya, tentang keberaniannya maju saat rekan setim diserang lawan, tentang kesetiaannya selama 11 tahun membela Persib.

Apiknya, Hariono menutup perjalanannya di Persib dengan indah. Dari balik layar kaca–posisi saya saat 2019 ini sudah tidak lagi di Bandung, melainkan tinggal dan bekerja di Jakarta–, saya melihat Hariono tampil apik di laga pamungkas Liga 1 2019.

Ketika itu, Persib berhadapan dengan PSM. Persib sukses menang dengan skor 5-2, sekaligus menutup perjalanan mereka di Liga 1 2019 dengan baik. Hariono pun pergi diiringi isak tangis bobotoh yang memadati Stadion Si Jalak Harupat.

Ya, akhirnya kisah Hariono bersama Persib harus usai. Namun, nomor 24 dipensiunkan, dan tidak akan dipakai lagi hingga suatu saat, entah kapan, Hariono memutuskan untuk kembali.

***

Begitulah empat babak ingatan saya tentang sosok Hariono, si gelandang pengangkut air milik Persib. Terlepas dari kata-katanya yang, menurut saya, tidak perlu diungkapkan di akhir laga, ia tetaplah legenda.

Seperti kata Eko Maung, dan juga seperti halnya yang dilakukan Suchao Nutnum pada gelaran Liga Indonesia 2009/2010, Hariono meninggalkan kesan yang baik di Bandung. Kesan inilah yang membuatnya akan lekat dalam ingatan.

Terima kasih Mas Har. Terima kasih atas 11 tahunmu di Persib yang penuh warna.