Datang ke Luzhniki Stadium sebagai tim terproduktif kedua di Piala Dunia dan berbekal pemain tersubur sementara, Harry Kane, Inggris percaya bahwa satu kaki mereka sudah berada di final. Kepercayaan diri itu kemudian disokong gol cepat nan indah Kieran Trippier, lima menit setelah peluit dibunyikan.
“Football is coming home!,” sorak para pendukung The Three Lions.
Sial, kenyataan berkehendak lain. Kroasia yang keluar sebagai pemenang setelah berhasil membalikkan kedudukan lewat gol Ivan Perisic dan Mario Mandzukic. 1-2 Inggris menyerah dari Luka Modric dan kawan-kawan. Namun, kegagalan mereka sebenarnya sudah dapat diprediksi.
Mantan pemain Liverpool berkebangsaan Skotlandia, Graeme Souness, menjelaskan semuanya kepada beINSports. “Inggris kalah dominan saat babak kedua melawan Kolombia. Mereka hanya menang adu penalti setelah pemain-pemain Kolombia gagal untuk menjalankan tugasnya sebagai algojo.”
“Swedia terlalu kagum melihat penampilan Inggris dan akhirnya gagal menciptakan peluang. Sementara Kroasia menunjukkan bahwa hal mendasarlah yang diperlukan untuk memenangkan sebuah pertandingan. Mencari celah dan selalu memaksimalkan bola saat sedang ada dalam penguasaan,” jelasnya.
Meski Souness mengatakan Inggris menang adu penalti karena kegagalan lawan, bukan berarti hal itu tidak berdampak besar dalam kepercayaan diri tim. Adu penalti selalu menjadi hantu menakutkan untuk Inggris. Bahkan Kolombia tercatat sebagai tim pertama yang kalah adu penalti melawan The Three Lions sejak UEFA Euro 1996. Sebelumnya, mereka tak pernah menang adu penalti di Piala Dunia. Jelas kemenangan Kolombia memberi suntikan moral bagi Inggris.
Suntikan yang mungkin overdosis. Setelah mengalahkan Kolombia di fase 16 besar, Gareth Southgate seakan melupakan adaptasi taktik dan selalu menggunakan cara yang sama siapapun lawannya. Ia lupa bahwa Kolombia adalah ujian pertama anak-anak asuhnya setelah sempat ‘mengalah’ melawan Belgia di pertandingan terakhir fase grup.
Baca juga: Bagaimana Inggris Mengatasi Tabu Adu Penalti?
Rantai 6 Pemain Bertahan
Sebelum bertemu Kroasia, sistem 3-5-2 yang diterapkan Southgate sebenarnya berjalan dengan baik sepanjang Piala Dunia 2018. Dua bek sayap, Ashley Young dan Trippier turun membantu pertahanan bersama gelandang sentral Jordan Henderson.
Mereka membentuk rantai yang mengunci kotak penalti sehingga pemain-pemain lawan sulit untuk masuk ke kotak penalti dan terpaksa melepas umpan lambung ataupun tendangan jarak jauh. Umpan dan tendangan tersebut sejatinya akan dihadang Kyle Walker, John Stones, Harry Maguire, atau Henderson. Sementara umpan lambung siap dihalau Trippier atau Young sebelum masuk ke daerah berbahaya.
Disiplin dalam melakukan hal itu dan cepat saat transisi menjadi kunci kesuksesan Inggris saat ini. Namun harus ada harga yang dibayar dengan cara bermain seperti itu. Inggris harus rela kehilangan penguasaan bola.
Seperti saat melawan Kroasia, Inggris lebih banyak membuang bola langsung ke depan dengan harapan Raheem Sterling atau Kane bisa menahannya sambil menunggu rekan-rekan mereka naik ke daerah pertahanan lawan. Sekalipun pihak lawan berhasil mengambil bola, para pemain Inggris sudah selesai melakukan transisi dan siap untuk memenangkannya kembali di sepertiga akhir lapangan atau final third.
Kick & Rush
Menurut data FOTMOB, Inggris merupakan tim yang paling sering memenangkan bola di final third (34x). Namun angka tersebut tidak berarti apa-apa, karena jika melihat persentase Inggris memenangkan bola 150 kali di lini tengah. Artinya hanya 22.6% yang berada di final third. Angka tersebut lebih rendah dari Spanyol (25%) dan Belgia (28%).
Pada dasarnya, Inggris saat ini tak berbeda jauh dengan pendahulu-pendahulunya. Mereka tetap memainkan kick-and-rush. Menurut Oxford Dictionaries, ‘kick-and-rush’ berarti gaya bermain sepakbola yang energik namun minim akan kemampuan.
Inggris mungkin berhasil menang besar melawan Panama. Tapi mereka harus bersusah payah untuk menang dari Tunisia, Kolombia, dan Swedia. Semua karena taktik terapan Southgate sebenarnya bergantung pada efektivitas menyerang. Pertahanan yang solid tak akan berguna ketika saat menyerang, mereka gagal mencetak gol. Pada akhirnya, lini pertahanan akan kehabisan tenaga dan berlubang.
Kick-and-rush di era saat ini mengalami pergeseran makna menjadi direct football. Tapi, direct football sekalipun selalu memiliki ujung tombak yang dapat diandalkan, dan sosok gelandang andal dengan umpan-umpan jauh terukur. Ini pernah menjadi senjata utama Newcastle United untuk menghindari degradasi pada Liga Premier 2012/2013. Ketika itu, Alan Pardew mengandalkan Yohan Cabaye untuk menjadi kreator serangan yang akan diselsaikan oleh Papiss Cisse atau Demba Ba.
Ego Lini Serang
Sementara Inggris, sekalipun memiliki Kane dan Sterling di depan, tak ada gelandang yang bisa diandalkan untuk menjadi kreator serangan. Henderson lebih fokus untuk bertahan. Dele Alli dan Jesse Lingard merasa tugas mereka adalah mencetak gol, bukan memberikan bola-bola matang kepada Sterling ataupun Kane.
“Alli dan Lingard tidak mau terlibat dalam pengaturan arus bola atau memenangkannya kembali dari lawan. Mereka lebih senang jadi akhir dari sebuah serangan dan mencetak gol,” kata Souness.
Pada akhirnya Trippier yang bertugas menjadi kreator serangan. Bek Tottenham tersebut adalah pemain dengan jumlah operan kunci atau menciptakan peluang untuk lini serang Inggris. Total 10 operan kunci didistribusikan Trippier selama fase knock-out. Padahal dirinya membagi fokus antara bertahan dan menyerang. Tidak seperti Lingard ataupun Alli.
Menurut Whoscored, hingga saat ini Inggris rata-rata mengoper bola 527.8 kali per pertandingan. Akan tetapi, hanya 123.1 yang dilakukan oleh Kane, Sterling, Alli, dan Lingard. Itu berarti meski sudah bermain enam pertandingan, lini depan Southgate sangat jarang membagikan bola ke satu sama lain (23.32%).
Bahkan selama turnamen hanya 29% tendangan Inggris yang mengarah ke gawang. Lebih rendah dibandingkan Belgia (38%) dan Prancis (31%). Ini menjelaskan mengapa Inggris gagal membawa pulang gelar juara sekalipun sudah mengakhiri kutukan adu penalti.
The Three Lions mungkin terlihat nyaman ketika menghadapi lawan yang satu atau dua level di bawah mereka. Akan tetapi ketika bertemu dengan tim seperti Kroasia, kedok mereka terbongkar. Harry Kane mungkin pelari terdepan untuk mendapatkan sepatu emas di Piala Dunia kali ini. Tapi tiga dari enam golnya terlahir dari titik putih. Inggris mungkin menjadi salah satu tim paling produktif (12) dalam turnamen tapi sembilan berasal dari bola mati (termasuk penalti).
Kalimat dari Bek Kroasia Sime Vrsaljko mungkin cara terbaik untuk menjelaskan alasan utama Inggris gagal melaju final: “Persepsi utama adalah apakah ini tim Inggris yang baru? Mereka yang sudah mengubah cara bermain dan tidak lagi membuang-buang bola jauh ke depan? Ternyata saat kami menekan mereka, tak ada yang berubah.”