International Champions Cup dan Kapitalisme Sepakbola

International Champions Cup menjadi kompetisi yang dinantikan di pramusim. Di edisi 2018 ini, enam kesebelasan Premier League, empat tim Serie-A, tiga teratas di klasemen La Liga 2017/2018, dan masing-masing dua dari Ligue 1 serta 1.Bundesliga, ikut berkompetisi. Ditambah dengan kehadiran raksasa Portugal, Benfica, 18 klub berpartisipasi dalam turnamen pra-musim satu ini.

ICC sebenarnya sudah ada sejak 2013. Dimulai dengan mengundang delapan klub untuk bermain di dua negara, Amerika Serikat dan Spanyol. Sampai kini diisi oleh 18 tim dan terselenggara di 11 negara. Mulai dari Singapura hingga Amerika Serikat.

Ini jelas sebuah opsi terbaik dibanding harus menyaksikan Audi Cup, lalu Emirates Cup, dan Tropi Joan Gamper, secara terpisah. Semua kesebelasan populer bahkan dapat disebut elit dunia ada di satu turnamen. Pendukung mereka bisa merencanakan nonton bersama dan bertukar pikiran, menganalisis kesiapan tim masing-masing.

“Klub-klub ini akan lebih besar bersama dibandingkan jika mereka terpisah-pisah,” kata pencetus turnamen, Charlie Stillitano, seperti dikutip BBC. Pelan tapi pasti, turnamen ini bukan lagi masalah kesiapan tim. Tapi menjadi alat eksposur dan mencari dana.

“Awalnya, sesama tim rival tidak mau bertemu. Tapi perlahan hal itu mulai tak dipikirkan. Semakin besar pertandingan, kian banyak pula yang menyaksikan laga tersebut,” aku Stillitano.

Menurut laporan BBC, semua klub yang terlibat di International Champions Cup 2016 mendapat suntikan dana 9 hingga 15 juta Poundsterling. Angka tersebut kemudian naik hingga 20 juta Poundsterling pada 2017. Itu belum termasuk bonus, hanya dengan ikut serta dalam turnamen. Namun tidak semua tim mendapatkan jumlah uang yang sama.

Dibandingkan fokus kepada kesiapan tim dan kebugaran pemain, Stillitano ingin melihat penjualan tiket tahun ini mencapai satu juta lembar. “Pada 2013, ada 492.000 tiket yang terjual. Lalu 642.000 di tahun berikutnya. Mulai dari 2014, kami menembus 900.000 tiket per tahun. Kali ini saya rasa satu juta tiket bisa terjual,” katanya seperti dikutip Guardian.

Sebenarnya, penjualan tiket dari 2014 mulai menurun. Dengan 985.000 di 2014, hilang 20.000 lembar pada 2015, dan tahun lalu hanya 903.000. Penjualan tiket menurun, tapi siaran pertandingan lain cerita. Pada 2015 dan 2016 saja, lebih dari 50 stasiun televisi menyiarkan pertandingan International Champions Cup.

Yosef Weitzman dari Forbes bahkan berharap bahwa turnamen ini bisa menyelamatkan sepakbola di Amerika Serikat. “Tanpa kehadiran Amerika Serikat di Piala Dunia, televisi yang menyiarkan laga dari Rusia mengalami penurunan penonton,” tulis Weitzman.

“Dibandingkan saat Piala Dunia 2014, televisi berbahasa Inggris kehilangan 29% penonton mereka. Untuk televisi penyiar pertandingan dengan bahasa Spanyol, 39% penonton mereka hilang.”

“Ini adalah kabar buruk untuk sepak bola Amerika Serikat. Pasalnya olahraga ini semakin menjauh dari status empat besar. Tapi semoga saja kehadiran International Champions Cup bisa berbuat sesuatu tentang hal ini,” lanjutnya.

Kucuran Dana

Siaran pertandingan, uang keikutsertaan, semua memberikan suntikan dana bagi klub. Itu bukan sesuatu yang buruk. Lihatlah Liga Premier yang memiliki pembagiaan dana hak siar cukup merata dibandingkan kompetisi top Eropa lainnya. Bahkan klub promosi dari divisi dua bisa mendapatkan dana parasut jika mereka gagal untuk mempertahankan tempatnya di Liga Premier.

Hal seperti inilah yang membuat liga-liga lain iri. Klub dari Bundesliga bahkan pernah memprotes asosiasi sepak bola Jerman, DFB, karena lebih banyak memberi ruang ke Bayern Muenchen dan Borussia Dortmund. Begitu juga di La Liga yang timpang antara Barcelona dan Real Madrid dengan klub-klub lainnya.

Sialnya, International Champions Cup juga hanya memberi ruang kepada tim dengan popularitas tinggi. Terlepas dari pembelaan Stillitano yang melihat turnamen buatannya bukanlah kompetisi tertutup. Tapi kenyataannya klub pesertanya tidak banyak berubah. Jika Leicester City pernah ikut di dalam turnamen tersebut, itu juga karena mereka jadi juara Liga Premier pada musim sebelumnya.

Ikut dalam turnamen edisi 2016, Leicester City mendapat 81.7 juta Euro. Lebih banyak 700.000 Euro dari Real Madrid yang merupakan juara bertahan Liga Champions. Telegraph menjelaskan, hal ini didasari dari kesepakatan hak siar di tiap negara dan faktor-faktor lain.

Tapi jangan harap klub seperti Burnley diundang dalam waktu dekat. RB Leipzig yang jadi pesaing Bayern Muenchen di 1.Bundesliga saja belum pernah mengikuti turnamen pra-musim satu ini.

Turnamen Elit

International Champions Cup mempertemukan klub-klub superior dari liga terbaik Eropa. Hal ini kemudian memunculkan kembali ide untuk membuat Liga Super Eropa. Ide yang sudah ada sejak era 90-an, disodorkan lagi dua tahun lalu. Padahal di 2009, Presiden Real Madrid Florentino Perez sudah berusaha menghidupkan hal itu. Tapi tidak pernah menjadi kenyataan.

Kehadiran Leicester City di International Champions Cup dua tahun lalu bahkan tidak bisa lepas dari kesalahan Wakil Presiden Manchester United Ed Woodward. Saat itu, para petinggi dari Arsenal, Chelsea, Liverpool, Manchester City, dan United melakukan pertemuan. Mereka membahas konsep Liga Super Eropa dan turnamen pra-musim di 2016. Ed Woodward kemudian seperti merendahkan Leicester City yang baru saja jadi juara Liga Premier.

“Sebut saja ada kumpulan uang dari penikmat sepak bola di seluruh dunia. Siapa yang lebih berpengaruh, Manchester United atau Leicester City? Kisah Leicester City adalah sesuatu yang indah. Namun kalian bisa melihatnya dari sudut Manchester United juga,” kata Woodward seperti dikutip Daily Mail.

Stillitano tidak membantu kasus Woodward dengan mengatakan bahwa kesuksesan Leicester City sangat mengesankan, kecuali untuk pendukung dari lima klub di atas. Alhasil, tiga minggu setelah ucapan mereka ramai menjadi perbincangan, Leicester City diundang ke International Champions Cup 2016.

Tekanan bagi UEFA

“Liga Super Eropa tak akan segera terbentuk. Tapi melihat sepak bola saat ini, hal itu tidak bisa dihindari,” kata bek Italia, Giorgio Chellini ke Sports Illustrated. Hal serupa juga pernah diutarakan oleh Arsene Wenger.

Alasannya sederhana, uang. Bahkan ancaman dari Liga Super dan para peminatnya membuat asosiasi sepak bola Eropa (UEFA) harus mengubah format Liga Champions dan Europa. Mulai 2018/19, pembagian uang mulai lebih merata dan akan dilihat dari performa tim di kompetisi. Kini, empat negara dengan koefisien tertinggi mendapat 16 tiket fase grup. Masing-masing empat tiket dan dilihat dari klasemen akhir liga.

Jika juara Liga Europa 2017/2018 berhasil mendapatkan tiket Liga Champions melalui liga, tiket mereka akan diberikan ke peringkat tiga dari negara yang menduduki posisi lima di koefisien UEFA. Dengan begitu semakin besar peluang klub dari liga-liga top Eropa ada di Liga Champions. Padahal sebelumnya hanya tiga negara teratas di koefisien UEFA yang mendapatkan empat tiket otomatis ke fase grup.

Begitu juga di Liga Europa yang awalnya memberi kesempatan untuk tiga klub dari 51 negara untuk ikut berkompetisi. Kini hanya dua klub dari lima negara teratas di koefisien dan satu untuk peringkat 6-12 klasemen UEFA. Sisanya harus berjuang lebih keras agar bisa masuk ke Liga Europa. Itu hanya segelintir dari berbagai perubahan yang dilakukan UEFA mulai tahun ini hingga setidaknya 2021.

Wujud Kapitalisme Sepakbola

International Champions Cup tak lebih dari sekedar pra-musim. Jika mantan pemain Liverpool, Mark Lawrenson menyebut Community Shield sebagai uji coba yang terlalu dibesar-besarkan, bagaimana International Champions Cup?

Dasarnya, turnamen ini adalah wajah sepak bola modern. Uang dan eksposur adalah segalanya. Popularitas di atas prestasi. Andai itu bukan hal utama, seharusnya pihak penyelenggara berani mengundang delapan klub wanita untuk ikut serta. International Champions Cup tahun ini memulai turnamen untuk klub wanita. Tapi, hanya empat atau setengah dari edisi pertama untuk pria.

Saat ini uang adalah segalanya. Padahal dengan klub-klub ini bertemu di pra-musim, kondisi pemain bisa terancam. Kurang istirahat dan cedera, bukan impian siapapun. Waktu yang seharusnya digunakan untuk kembali bugar dan tajam terancam karena main di laga ‘prestisius’.

Saat ini sepakbola sudah menganut paham kapitalime. Kapitalisme bukan masalah uang atau bagaimana semua aspek dijadikan bisnis. Paham ini merupakan lawan dari sosialisme. Sosialisme percaya bahwa segala sesuatu harus jadi milik negara dan rakyat hanya menerima apa yang disediakan pemerintah untuk mereka.

Sementara kapitalisme memahami bahwa individu berhak memiliki dan menggunakan kepunyaan mereka untuk menjadi keuntungan. Klub peserta International Champions Cup dan penyelenggaranya seperti percaya akan hal ini. Oleh karena itulah mereka menggunakan popularitas yang ada untuk mendapatkan uang dan semakin populer.

Tapi kita sebagai penikmat sepak bola juga bisa melakukan hal yang sama. Semua pilihan. Sebagai individu, apakah Anda ingin menyaksikan laga uji coba yang belum tentu jadi gambaran tim sepanjang musim. Atau menggunakan waktu, akses internet, dan apa yang Anda punya untuk menyaksikan laga kompetitif?

Liga Brasil, Jepang, Meksiko, Denmark dan lain-lain sudah berjalan. Lechia Gdansk, klub dari Egy Maulana meraih kemenangan 1-0 atas Jagiellonia Bialystok pada laga pembuka liga Polandia, empat jam sebelum International Champions Cup dimulai.

Pertandingan-pertandingan itu mungkin tidak disiarkan oleh televisi Anda. Tapi tulisan ini juga tidak ada di koran atau majalah, bukan?