Ironi di All English Final

Foto: Maximummedia.ie

Sepakbola Inggris kembali berjaya. Setelah keberhasilan menembus babak semifinal Piala Dunia 2018 dan babak semifinal UEFA Nations League 2018, klub-klub asal Inggris menorehkan prestasi apik pada 2019 ini. Empat klub–tiga dari London dan satu dari Liverpool–berhasil menggebrak jagat sepak bola Eropa. Arsenal, Chelsea, Liverpool, dan Tottenham Hotspur sukses menembus babak final dua kompetisi Eropa, yakni Liga Europa dan Liga Champions.

Arsenal dan Chelsea akan berlaga di final Liga Europa yang akan dihelat di Baku, Azerbaijan, 29 Mei 2019 mendatang. Sedangkan Liverpool dan Tottenham Hotspur akan tampil di final Liga Champions, yang rencananya akan dihelat di Wanda Metropolitano, Madrid, 2 Juni 2019 mendatang.

Hal ini tentu jadi sebuah capaian tersendiri. Di tengah dominasi klub-klub Spanyol di kompetisi Eropa dalam beberapa musim terakhir, munculnya empat klub Inggris di dua laga final kompetisi Eropa menunjukkan bahwa Inggris sudah bangkit. Sama halnya seperti ajang Liga Champions 2007/2008 silam saat All English Final pertama kalinya tercipta di Liga Champions.

Tapi, di balik prestasi yang mengagumkan ini, ada sebuah ironi tersendiri. Sebuah ironi yang bisa dianggap sebagai ironi yang menghadirkan hal positif, alih-alih disebut sebagai ironi yang buruk.

Pelatih Arsenal, Chelsea, Tottenham Hotspur, dan Liverpool adalah Pelatih Asing

Harus diakui, pelatih dari empat klub yang melaju ke final kompetisi Eropa itu adalah pelatih asing. Mereka adalah Maurizio Sarri (Chelsea), Unai Emery (Arsenal), Juergen Klopp (Liverpool), dan Mauricio Pochettino (Tottenham Hotspur). Itu menjadi sebuah ironi tersendiri.

Sebagai catatan, pelatih Inggris terakhir yang mampu menjuarai kompetisi klub antar Eropa adalah Joe Fagan dan Keith Burkinshaw. Fagan meraih gelar Liga Champions 1983/1884 bersama Liverpool, sedangkan Burkinshaw meraih gelar Piala UEFA bersama Tottenham Hotspur pada musim yang sama.

Eh, lalu bagaimana dengan Sir Alex Ferguson? Ya, meski ia memang berasal dari Britania Raya, ia bukanlah dari Inggris asli. Ia adalah warga Skotlandia. Jika cakupannya adalah pelatih Inggris asli, maka nama Ferguson tidak masuk dalam hitungan, karena ia berasal dari luar Inggris.

Hadirnya pelatih-pelatih asing tersebut pun perlahan menggeser nama-nama pelatih lokal Inggris. Kebanyakan, saat pelatih-pelatih asing menangani tim-tim besar, pelatih-pelatih lokal macam Sean Dyche ataupun Roy Hodgson menangani tim-tim semenjana seperti Burnley atau Crystal Palace.

Selain itu, dari beberapa musim terakhir, tren pelatih asing menguasai papan atas Premier League bukanlah hal yang aneh. Musim 2017/2018 silam, Sean Dyche memang sempat menggebrak setelah berhasil membawa Burnley duduk di jajaran tujuh besar papan atas Premier League.

Namun, di atas Dyche, bercokol nama-nama asing macam Antonio Conte, Arsene Wenger, Juergen Klopp, Mauricio Pochettino, Jose Mourinho, dan Pep Guardiola. Musim 2016/17, situasi serupa juga terjadi saat pelatih-pelatih asing duduk di papan atas Premier League. Musim 2018/2019 ini, hal itu kembali terjadi.

Nama-nama pelatih lokal hanya bisa memandangi kala sosok-sosok macam Conte maupun Guardiola mengangkat trofi Premier League. Lalu, apakah itu memang hal yang negatif bagi sepak bola Inggris?

Ironi (Positif) yang Hadir

Memang, prestasi yang diraih oleh klub-klub Inggris tersebut jadi sebuah ironi tersendiri. Ketika seharusnya pelatih asal Inggris mampu membawa klub asal Inggris berprestasi, justru hal tersebut dihadirkan oleh pelatih-pelatih non-Inggris.

Tapi tidak sepenuhnya hal itu bisa dipandang sebagai hal yang buruk. Hadirnya pelatih-pelatih Inggris ini malah memberikan dampak yang positif. Anda lihat penampilan Timnas Inggris di ajang Piala Dunia 2018? Bagaimana mereka mampu menghadapi tim dengan pendekatan taktik yang beragam?

Itu bisa terjadi karena pemain-pemain Inggris tidak lagi menerapkan permainan kolot berupa umpan-umpan panjang yang dipadukan dengan lari cepat. Mereka sekarang sudah memiliki pemahaman taktikal yang baik. Raheem Sterling tidak asal lari, tapi tahu kapan waktu yang pas untuk mengumpan.

Begitu juga Harry Kane yang paham bagaimana caranya membuka ruang bagi dirinya dan juga rekan-rekannya. John Stones jadi tahu bahwa bek tak hanya bisa mengadang serangan, tapi juga bisa jadi awal mula serangan. Semua pemahaman ini didapat karena para pemain Inggris diasuh pelatih-pelatih asing macam Pep Guardiola maupun Mauricio Pochettino.

Buah dari pelatih-pelatih asing itu tak hanya berdampak di Timnas saja. Di level klub, prestasi klub Inggris pun pelan-pelan meningkat di Eropa. Dengan pelatih yang memiliki beragam skema dan strategi di dalam kantungnya, para pemain Inggris pun siap menghadapi kompetisi Eropa yang acap diisi oleh pemain cerdas dari negara lain.

Lihat bagaimana apiknya Liverpool meredam agresivitas Barcelona. Lihat juga bagaimana Tottenham meredam Ajax Amsterdam yang berisikan pemain-pemain muda penuh energi. Dua kejadian tersebut bisa jadi cermin bagaimana pemain-pemain Inggris sekarang sudah tidak gagap akan perubahan strategi yang mendadak di tengah pertandingan.

Sebuah perkembangan tersendiri, sekaligus bukti bahwa pemain Inggris sudah tidak gagap akan taktik, seperti halnya pemain-pemain Spanyol, Italia, atau Jerman.

***

Sekarang, Inggris tengah berpesta. Segala raihan positif ini tentu membanggakan, bahkan kisah luar biasa Liverpool ketika membalikkan kedudukan melawan Barcelona sampai jadi perbincangan tersendiri di parlemen Inggris. Sepakbola kembali hidup di tempat yang kerap dianggap rumah dari sepak bola itu sendiri.

Namun dunia sepakbola adalah dunia yang dinamis. Hari ini unggul, bisa saja esok hari malah tersandung. Hari ini berjaya, besok bisa saja merana. Nah, bagi Inggris, bagaimanakah cara yang akan mereka tempuh untuk menancapkan dominasi ini?

Apalagi Spanyol, Italia, dan Jerman tentu tidak akan tinggal diam melihat dominasi Inggris macam ini.