Jalan Panjang Naturalisasi Pemain Timnas Indonesia

Menaturalisasi seorang pemain bukan perkara mudah. Selain ada sejumlah kriteria yang diatur FIFA, juga karena menyangkut admininstrasi negara. Bukan cuma satu negara, tapi dua.

Meski rumit, tapi proyek naturalisasi masih terus berjalan. Tujuannya mulia: mendongkrak prestasi sepakbola. Kenapa harus naturalisasi? Karena pemain yang ada di dalam negeri belum mencapai kualitas untuk bersaing dengan negara lain.

Ada banyak faktor yang mendasarinya. Misalnya dalam hal fisik dan mental, yang sulit dilatih dalam periode singkat. Tentu banyak pemain Indonesia yang punya kualitas teknik bagus. Akan tetapi mereka seringkali terkendala masalah fisik.

Sebagai contoh Eka Ramdani. Ia punya dribel yang bagus tapi tingginya cuma 167 sentimeter. Memang, pahanya besar tapi kalau duel udara dengan pemain Eropa? Sudah jelas ia akan kalah.

Kekalahan Persib Bandung di final Piala Bhayangkara 2016 salah satunya karena gagal mengontrol lini tengah. Persib menurunkan para pemain mungil di area vital tersebut: Kim Jeffrey (168 cm), Hariono (170 cm), dan Taufiq (164 cm). Ada pula Samsul Arif (166 cm), Atep (168cm), Tantan (168 cm) dan Tony Sucipto (168 cm).

Bandingkan dengan lini tengah Arema yang diisi Srdan Lopicic (183 cm), Hendro Siswanto (172cm), Raphael Maitimo (181 cm), Dendi Santoso (172 cm), dan Esteban Vizcarra (178 cm).

Faktor fisik ini yang membuat Elkan Baggott jadi idola. Fisiknya bagus, mentalnya sudah matang meski masih 20 tahun, dan ia masih bisa lebih tinggi dari saat ini yang sudah mencapai 194 sentimeter! Ini merupakan tinggi yang ideal bagi bek utamanya untuk mengantisipasi bola-bola atas yang kerap dimainkan lawan ketika bertemu dengan timnas Indonesia.

Ada sejumlah hal positif soal naturalisasi pemain. Akan tetapi, ada pula sejumlah hal negatif yang muncul karena dalam sejarahnya, pemain naturalisasi yang sukses jumlahnya jauh lebih sedikit ketimbang yang gagal.

Pro dan Kontra Naturalisasi

Akun Twitter yang concern soal naturalisasi adalah Football Talentnesia ID @FT_IDN. Mereka pro dengan pilihan PSSI untuk melakukan naturalisasi pemain. Bahkan, mereka mengawasi betul para pemain yang punya darah atau keturunan Indonesia.

Aktivitas @FT_IDN ini memancing mereka yang kontra untuk berkomentar. Biasanya argumen mereka ada dua: (1) Dari 250 juta penduduk Indonesia kenapa harus cari pemain “asing”, dan (2) karena mereka pemain “asing” rasa nasionalismenya harus dipertanyakan.

Argumen yang pertama memang benar adanya. Kenapa harus cari WNA buat membela timnas? Kenapa tidak cari dari ratusan juta WNI saja?

Ini kembali lagi ke program pembinaan pemain di Indonesia yang menurut penulis belum maksimal. Liga profesional di Indonesia pengelolaannya masih jauh dari kata memuaskan: soal jadwal, siaran televisi, sampai kualitas wasit. Padahal, liga profesional adalah muara dari pembinaan pemain usia muda. Tanpa liga profesional yang bagus, apa yang mau diharapkan?

Kompetisi usia muda yang berjenjang juga mestinya hadir dan rutin digelar. Dulu, kita mengenal Piala Haornas untuk U-15 dan Piala Suratin untuk U-17. Idealnya, kompetisi kelompok umur tidak terlalu jauh perbedaan usianya. Misalnya digelar di U-8, U-9, U-10, U-11, U-12, U-13, U-14, sampai U-15, misalnya. Karena pada usia dini, perbedaan umur satu tahun akan begitu tampak dalam hal fisik juga mental.

Kompetisi yang berjenjang dari wilayah tingkat II seperti kabupaten dan kota, naik ke provinsi, dan berakhir di nasional, juga bermanfaat buat pelatih timnas. Ia tak perlu blusukan ke daerah terpencil karena ngapain juga ya kan? Ia tinggal memantau para pemain berbakat yang telah terseleksi dari wilayah tingkat II dan tingkat I. Proses panjang  dalam mencari pemain pun bisa terpangkas waktunya.

Akan tetapi, proses ini tak bisa dilakukan setahun dua tahun. Mungkin baru terlihat setelah 10-20 tahun. Prosesnya pun melibatkan banyak pihak, bukan cuma PSSI. Maka, diperlukan political will dari pemerintah untuk mendesain rencana jangka panjang untuk sepakbola Indonesia agar bisa berprestasi.

Kalau proses telah dilakukan, sembari menunggu hasilnya, naturalisasi bisa dilakukan. Tujuannya tentu saja meningkatkan kualitas timnas dalam waktu cepat. Diharapkan pula para pemain “lokal” bisa belajar dari kolega mereka yang main di kompetisi top Eropa.

Zaman sudah berubah. Prancis pada 1998 punya slogan: Black-Blanc-Beur atau berarti pemain kulit hitam, kulit putih, dan Arab. Ini merujuk pada masa lalu Prancis yang punya hubungan dengan benua Afrika serta Timur Tengah. Sehingga wajar kalau Prancis punya skuad yang tak homogen secara ras.

Tanpa Black dan Beur, Prancis cuma main dengan enam pemain di final Piala Dunia 2018!

Argumen kedua soal rasa nasionalisme tentu sulit dijawab karena tak ada tolak ukurnya. Akan tetapi main bola tak bisa cuma mengandalkan rasa nasionalisme. Soalnya, kalau dengan cara begitu, timnas Indonesia pasti sudah juara Piala Antarplanet!

Saat ini proyek naturalisasi yang dilakukan PSSI juga menyasar pemain keturunan Indonesia. Para pemain ini tidak seperti Cristian Gonzalez atau Victor Igbonefo yang tak punya hubungan apapun dengan Indonesia selain memenuhi syarat lama tinggal. Mereka punya darah Indonesia.

Namun, siapapun itu, asalkan mereka sudah WNI, punya darah keturunan atau tidak, kalau pada akhirnya membela timnas, tentu saja harus mengerahkan seluruh raga dan jiwa mereka.

Naturalisasi untuk Kebutuhan Klub

Akun @mildandaru mencuit, “Wah kaget kirain proyek naturalisasi ini buat kepentingan timnas ternyata buat klub. Sesuatu yang belum pernah terjadi di sepakbola Indonesia ini.”

Mildan khawatir kalau proyek naturalisasi sebenarnya untuk mengakomodasi kebutuhan klub untuk mendapatkan pemain “asing” tanpa mengurangi kuota pemain asing mereka. Hal ini yang “dinikmati” Persib Bandung di musim ini. Soalnya mereka punya lebih banyak “pemain asing” ketimbang klub lain tapi berstatus WNI: Victor Igbonevo, Marc Klok, dan Esteban Vizcarra. Hal serupa juga dinikmati Bali United yang punya Stefano Lilipaly dan Ilija Spasojevic.

Dari cuitan tersebut masuk sejumlah tanggapan. Salah satunya dari @wans_stwn yang bilang kalau Jordi Amat sampai main di Indonesia berarti ia harus dipertanyakan: apakah ia ingin memajukan sepakbola Indonesia atau hanya mencari eksposur untuk dirinya sendiri.

Akun @fauz11ukman bilang kalau Herman Dzumafo adalah contoh bagaimana pemain asing dinaturalisasi demi kepentingan klub. Namun argumen tersebut dibantah @anggaimaginer yang bilang kalau naturalisasi itu hak warga negara asing selama ia memenuhi syarat.

Sejumlah balasan berharap kalau Jordi tidak main di Liga Indonesia dan mengikuti arahan coach Shin Tae-yong yang mewanti-wanti agar pemain naturalisasi tetap berkarier di Eropa.

Sandy Walsh sendiri lewat akun Twitternya @SandyWalsh_ menegaskan kalau ia akan tetap berkarier di Eropa: “No worries, i stay to play for my club in Europe”.

***

Contoh terbaik negara yang melakukan naturalisasi adalah Singapura yang me-WNS-kan para pemain asing di liga mereka, serta Filipina yang menaturalisasi para pemain keturunan. Mereka bisa berprestasi setidaknya di Asia Tenggara dan hal serupa juga yang diharapkan bisa dilakukan timnas Indonesia.

Namun, yang menjadi pertanyaan, mengapa seolah-olah ada batas pemain yang dinaturalisasi cuma tiga sampai empat orang? Kalau banyak pemain yang bagus dan mereka mau jadi WNI, juga sesuai kebutuhan pelatih, kenapa tidak semuanya saja?