Jangan Cintai (Timnas) Indonesia Apa Adanya

Beberapa waktu lalu, mata masyarakat Indonesia sempat teralihkan ke Tiongkok. Bukan karena adanya kerja sama yang kembali terjalin antara Indonesia dan Tiongkok, melainkan karena tetangga Indonesia, Vietnam, secara mengejutkan mampu berbicara di kompetisi level Asia.

Per Januari 2018, Vietnam, diwakili oleh timnas U-23-nya, bertanding dalam kejuaraan Piala Asia U-23 yang dihelat di Tiongkok. Di fase kualifikasi, fase ketika Indonesia babak belur oleh Malaysia dan tak mampu mengalahkan Thailand, Vietnam lolos sebagai runner-up Grup I, di bawah Korea Selatan. Vietnam, tim yang bahkan tidak lolos semifinal SEA Games 2017, akhirnya menjejakkan kaki mereka di putaran final Piala Asia U-23.

Menceritakan perjalanan Vietnam di ajang Piala Asia U-23 ini, seperti menceritakan kisah seorang David yang terus-menerus menghadapi Goliath di setiap fasenya. Di fase grup, “The Golden Star” tergabung dengan tim-tim kuat macam Korea Selatan (lagi), Australia, dan Suriah. Alih-alih tenggelam, Vietnam justru tampil sebagai “runner-up” grup dengan torehan empat poin, hasil sekali kalah (lawan Korsel), sekali imbang (lawan Suriah), dan sekali menang (lawan Australia).

Vietnam pun lolos ke fase gugur. Di fase gugur, lawan Vietnam juga tidaklah mudah. Di babak perempat final, mereka harus menghadapi Irak, sang juara Piala Asia 2007 dan juara Piala Asia U-17 pada 2016 silam. Tidak gentar, Vietnam mampu menaklukkan Irak lewat babak adu penalti. Hal yang sama juga terjadi di babak semifinal. Dua kali tertinggal dari Qatar, dua kali pula Vietnam menyamakan kedudukan. Vietnam akhirnya mampu mengalahkan Qatar juga lewat babak adu penalti.

Walau akhirnya di final mereka kalah dari Uzbekistan dengan skor 2-1 (itu pun sampai babak perpanjangan waktu), apa yang sudah ditorehkan Vietnam dalam ajang ini benar-benar luar biasa. Prestasi mereka bergaung sampai ke seantero Asia, juga ke Asia Tenggara. Vietnam mampu melebihi raihan Thailand dan Malaysia dalam ajang tersebut.

Prestasi yang, seharusnya membuat Indonesia berpikir dan berkaca, tentang situasi sepak bola di negaranya sendiri yang masih kacau.

***

Ada adagium yang berkembang bahwa biasanya, “rumput tetangga selalu lebih hijau dari rumput sendiri”. Adagium ini (mungkin menurut pendapat saya pribadi) merujuk kepada perilaku orang-orang yang kerap menjadikan kesuksesan orang lain sebagai bahan kesyirikan.

Kesuksesan orang lain kerap dijadikan sebagai bahan ejekan dan omongan, bukan sebagai bahan evaluasi diri. Namun, makna dari adagium bahwa “rumput tetangga lebih hijau dari rumput sendiri”, jika kita sedikit pelintirkan, bisa berarti bahwa kita harus bangga dengan apa yang kita miliki. Memang pada dasarnya apa yang dimiliki atau didapatkan orang lain kerap lebih baik, tapi kita juga tidak boleh melupakan dan harus mensyukuri apa yang kita miliki. Jika dalam Islam, istilah ini disebut qona’ah, bersyukur atas apa yang dipunya.

Nah, menilik dari kejadian timnas Vietnam di ajang Piala Asia U-23 kemarin, lalu menyambungkannya dengan adagium bahwa “rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri”, dapat ditarik sebuah benang merah. Walau Vietnam menjadi “runner-up” di ajang sebesar Piala Asia, tapi Indonesia tidak boleh sirik atau cemburu atas pencapaian tersebut. Sebaliknya, Indonesia harus tetap bangga dengan sepakbola di dalam negerinya sendiri.

Sepakbola yang sebenarnya masih dalam keadaan yang tidak menentu dan entah bagaimana masa depannya kelak. Sepakbola yang masih dihiasi oleh kekurangan di sana-sini tanpa ada upaya perbaikan yang pasti.

***

Memang pada dasarnya prestasi Vietnam tak boleh membikin orang-orang Indonesia sirik. Memang saat ini rumput mereka lebih hijau, dengan sebuah raihan ciamik di kompetisi antarnegara level Asia. Tapi itu diraih dengan sebuah proses yang bisa dibilang tidak pendek. Ada proses panjang yang menyertai kesuksesan Vietnam dalam ajang Piala Asia U-23 ini.

Jenjang pembinaan pemain muda yang sistematis dan terencana, serta kapabilitas Le Dung Hung sebagai Presiden VFF (federasi sepak bola Vietnam) yang mampu perlahan mengubah citra sepak bola Vietnam, membuat Vietnam mampu menuai hasil dari apa yang mereka tanam. Memang citra korup sepak bola Vietnam masih menempel, tapi dengan prestasi yang mereka raih ini, stigma itu lambat laun mulai menghilang dengan sendirinya.

Indonesia, terutama masyarakatnya, memang tidak perlu syirik dengan raihan dari Vietnam ini. Malah, seperti yang diujarkan oleh Tulus dalam lagu “Jangan Cintai Aku Apa Adanya”, masyarakat Indonesia harus tetap menuntut. Menuntut agar orang-orang yang berada di tampuk kekuasaan PSSI terus berpikir bagaimana agar sepak bola Indonesia tidak jalan di tempat.

“Jangan cintai aku, apa adanya, jangan. Tuntutlah sesuatu, biar kita jalan ke depan”, itulah petikan lagu dari Tulus tersebut, menandakan bahwa memang pecinta sepak bola Indonesia, termasuk juga para pelaku sepak bola Indonesia tidak boleh berpuas dengan apa yang dimiliki sekarang ini.

Jika sampai kita, pecinta sepak bola Indonesia dan mereka, para pelaku sepak bola Indonesia, merasa puas, maka di situlah kita berhenti. Kalau sudah seperti itu, jangankan mengejar Vietnam dengan berbicara banyak di ajang Piala Asia U-23. Menyelesaikan masalah demi masalah sepak bola yang ada di dalam negeri sendiri pun kita takkan mampu.

Boleh-boleh saja bangga dengan apa yang ada dan tidak syirik dengan yang dimiliki orang lain, tapi alangkah baiknya jika tetap menuntut untuk perubahan menuju ke arah yang positif di masa depan.

Editor: Frasetya Vady Aditya