Jangan Menjadi Orang Dewasa, Timnas U-16!

Foto: pssi.org

“Siapa kitaa? Indonesia! Siapa kitaaaa? Indonesia!”

Gema teriakan komentator Valentino Simanjuntak masih bisa saya dengar di telinga saya dalam beberapa waktu terakhir. Sejalan dengan apa yang terjadi di atas lapangan, dua timnas lintas usia Indonesia meraih hasil yang cukup memuaskan.

Di Stadion Patriot Chandrabhaga, Bekasi, timnas U-23 Indonesia sukses membuka perjalanan mereka di Asian Games 2018 dengan menghempaskan perlawanan Taiwan (Chinese Taipei) dengan skor telak 4-0. Beberapa hari sebelumnya, timnas U-16 Indonesia sukses merengkuh trofi Piala AFF U-16 usai mengalahkan Thailand dalam babak final via adu penalti dengan skor 4-3 di Stadion Gelora Delta, Sidoarjo.

Dua kemenangan ini, terutama kemenangan yang didapat di Sidoarjo, untuk sementara dapat menghapus dahaga rakyat Indonesia yang mengharapkan timnasnya mendapat gelar juara. Setidaknya, spanduk “demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu”, yang acap terbentang di stadion kala timnas Indonesia bertanding, sudah mendapatkan pemenuhannya.

Meski begitu, kekhawatiran tetap ada. Kadang, kemenangan hari ini, jika tidak disertai usaha dan kerja keras, bisa menjadi kekalahan menyakitkan di kemudian hari. Hal ini yang harus ditekankan oleh para penggawa timnas U-23. Masih ada lawan berat yang menanti mereka di depan, jika memang mereka ingin mendapatkan medali emas atau minimal tempat di babak semifinal Asian Games 2018.

Sementara itu, bagi timnas U-16, kemenangan ini harus segera mereka lupakan. Mungkin ini klise, tapi, sebagai salah satu suporter timnas Indonesia, ini yang akan kembali saya tekankan: tetaplah bersenang-senang.

Seperti Peter Pan, Jangan Berhenti Bersenang-senang

Anak-anak dan remaja adalah lambang kejujuran dan petualangan tanpa henti. Ketika masih dalam fase anak-anak dan remaja, seseorang masih berada dalam fase liar. Keliaran inilah yang membuat anak-anak dan remaja kerap melakukan sesuatu yang di luar batas kewajaran dan logika. Di dalam pikiran mereka, hanya ada satu hal yang mesti dilakukan: bersenang-senang dan menaklukkan dunia yang, dalam pandangan mereka, tak sebegitu luas.

Inilah yang membuat tokoh Peter Pan, tokoh utama dalam buku novel “The Adventures of Peter Pan” karangan J.M. Barrie, menolak untuk menjadi dewasa. Dia ingin tetap menjadi anak-anak, karena setelah menjadi dewasa, masa untuk bersenang-senang itu hilang sudah. Ketika masih menjadi anak-anak, mereka bisa melakukan apapun, tanpa peduli setan dengan pretensi, maksud, dan intensi dalam sebuah perbuatan.

Di mata Peter Pan, orang dewasa adalah orang yang sok bijak. Orang-orang dewasa bagi mereka hanyalah sosok-sosok yang sok lebih tahu dan sok lebih matang. Orang dewasa menurut mereka adalah sosok-sosok yang begitu mahir berpura-pura, mahir menutupi segala kebusukan yang ada. Itulah mengapa Peter Pan tak suka akan orang dewasa.

Bicara tentang kekanak-kanakan seorang Peter Pan, tentu tak lepas dari timnas U-16 Indonesia. Performa mereka di ajang Piala AFF U-16 sungguh memesona. Dengan semangat khas para remaja, mereka membusungkan dada dan sukses menjadi tim terkuat di Asia Tenggara. Negara-negara lain, macam Malaysia, Myanmar, dan Thailand, sukses mereka tundukkan. Mereka, tanpa takut, menunjukkan permainan yang spartan.

Apa yang mereka tunjukkan ini, sebenarnya pernah ditunjukkan oleh para penggawa timnas U-19 era Indra Sjafri pada 2013 silam. Saat itu, dengan kesombongan dalam permainan yang mereka tunjukkan, mereka sukses menjadi yang terkuat di Asia Tenggara. Tidak hanya itu, Korea Selatan juga sukses mereka bungkam. Evan Dimas, kapten mereka saat itu, bahkan sampai berkoar “Hanya Tuhan yang tak bisa dikalahkan!”

Sekilas, di mata orang dewasa, pandangan Evan dan kebahagiaan permainan timnas U-16 adalah hal yang tak bisa diterima realita. Orang dewasa yang sudah terpapar realita bisa saja mengatakan bahwa Indonesia boleh saja kuasa di Asia Tenggara, tapi belum tentu bisa mengalahkan Brasil atau negara kuat lain. Namun, di mata anak-anak tersebut, mengalahkan negara lain yang jauh lebih kuat bukan mimpi belaka.

Semangat khas anak-anak dan remaja inilah yang kerap dilupakan oleh orang-orang yang mengasuh anak-anak tersebut. Dengan lagak yang sok lebih tahu dan merasa lebih banyak makan asam garam kehidupan, mereka memberikan petuah kepada anak-anak tersebut.

Mereka mengundang anak-anak tersebut makan di rumahnya, lalu menggunakan anak-anak tersebut sebagai media promosi bagi dirinya sendiri. Hal inilah yang sebenarnya (mungkin bagi mereka itu wajar) tak boleh dilakukan.

Dengan usia David Maulana dkk., yang mungkin baru menginjak 14 sampai 15 tahun, kebahagiaan ini tak boleh dirusak. Usia mereka yang baru setara anak SMP kelas tiga tak boleh dicampur adukkan dengan pikiran-pikiran orang dewasa tentang kemapanan karier, pilihan hidup, dan juga masa depan yang serba tak pasti. Senang-senang bermain sepak bola adalah hal utama yang harus dikedepankan.

Jangan sampai, kejadian yang menimpa kakak-kakak mereka macam generasi 2013 dan generasi Egy Maulana dkk., kembali terulang. Banyak dielu-elukan, pada akhirnya mereka justru melupakan hal paling dasar yang sempat membawa mereka terbang tinggi, yaitu kesenangan bermain sepak bola tanpa pretensi ataupun intensi yang merasukinya. Jangan sampai, sayap Peter Pan yang muncul karena kesenangan dan imajinasi rusak hanya karena orang dewasa yang sok tahu.

Jangan Menjadi Orang Dewasa

Menjadi dewasa, sekarang ini, menjadi sesuatu yang (seperti) diharuskan. Sejalan dengan bertambahnya usia, realita demi realita berdatangan, menghantam mimpi yang pernah terjalin dan merusak kesenangan yang pernah ada. Hal itulah yang membuat para pesepak bola Indonesia acap bersinar ketika muda, tapi layu ketika memasuki usia yang lebih tua.

Maka, tak ada salahnya untuk terus mengingatkan, bahwa di usia anak-anak dan remaja, bermain bola adalah perkara senang-senang. Tak usah memikirkan hal rumit, karena hal-hal rumit di dunia ini sudah menjadi urusan orang dewasa, menjadikan mereka sosok yang lebih sok tahu dan sok bijak. Klise memang, tapi hal ini kerap dilupakan.

Jika ini bisa dilakukan, maka kelak ketika anak-anak tersebut bertumbuh dewasa, mereka akan punya banyak cerita. Cerita saat mereka begitu bahagia dan mampu melawan dunia. Cerita yang akan menjadi bekal mereka saat dewasa, saat dunia berubah tempat dari tempat bermain menjadi tempat pertarungan yang begitu kejam.

Jangan lupa bersenang-senang, ya!