Klub Prancis, FC Nantes, pernah menjalani salah satu periode terbaik sepanjang sejarah tim tersebut, tepatnya dia era 1990-an. Ketika itu, mereka memenangkan trofi Ligue 1 1994/1995 sekaligus masuk perempat final Piala UEFA. Lalu menembus semifinal Liga Champions musim berikutnya; meski kalah di tangan Juventus yang keluar sebagai juara, tapi itu pencapaian terbaik mereka di kompetisi Eropa.
Rahasia kesuksesan mereka pada masa itu adalah jeu à la nantaise, gaya sepakbola Nantes yang membuat klub berjuluk Les Canaris itu disegani banyak tim, tak hanya di level domestik tetapi juga di Eropa. Tak hanya menghasilkan prestasi bagi tim kecil tersebut, para pemain yang dilahirkan akademi klub di era itu juga sukses menguasai Eropa dengan menjadi andalan banyak klub besar benua biru.
Sepak Bola Kolektif
Jeu à la nantaise menekankan permainan sepakbola kolektif yang berfokus pada serangan. Taktik ini menampilkan gaya sepakbola menyerang dengan satu sentuhan mengalir. Ini yang menjadi filosofi permainan tersebut. Kecerdasan permainan dan prinsip kesederhanaan pergerakan pemain sangat ditonjolkan dalam gaya bermain ini, sehingga penguasaan bola lebih lama akan terus dipertahankan.
“Khususnya melalui permainan menekan dan penguasaan bola. Tujuannya adalah untuk menguasai bola lebih banyak dari lawan. Dengan gagasan, ‘kami menimbulkan lebih banyak masalah bagi lawan saat kami menguasai bola’,” kata pelatih legendaris Prancis, Gerard Houllier pada maisonjaune.org, situs independen seputar Nantes, yang dilansir pada November 2020, sebulan sebelum kematiannya.
Gaya permainan ini merupakan hasil dari latihan berat, bahkan sering dianggap sebagai salah satu yang tersulit dalam sepakbola Prancis. Di antaranya, para pemain menjalani latihan tanpa bola, dan sesi di “lubang” Jonelière, sebuah lapangan kecil yang dikelilingi tembok untuk menekankan kontak fisik serta permainan pendek dan cepat. Hasilnya adalah pola pikir permainan kolektif dan ofensif.
Keberhasilan taktik ini didukung kekompakan para pemain yang telah bekerja sama bertahun-tahun. Mereka dilahirkan dari akademi klub; Didier Deschamps, Marcel Desailly, Christian Karembeu, hingga Claude Makalele yang kemudian menjelma jadi bintang Eropa. Lalu, ada pula trio magique; Reynald Pedros, Patrice Loko dan Nicolas Ouedec yang membawa Nantes berjaya di pertengahaan 1990-an.
Empat Generasi
Jean-Claude Suaudeau, legenda Nantes yang melatih klub itu periode 1982-1988 dan 1991-1997 adalah sosok yang mengembangkan jeu à la nantaise. Namun, saat itu istilah ini sendiri muncul dari pemberitaan media massa di Prancis pada periode kedua masa kepelatihan pria yang akrab disapa Coco itu. Adalah jurnalis L’Équipe, Patrick Dessault yang menyebutnya pertama kali pada 1992 silam.
“Diwarisi dari tahun 1960-an dan diungkap oleh José Arribas…, diambil alih oleh Suaudeau…, jeu à la nantaise ini sekarang terlahir kembali dari kematiannya,” dikutip dari laman Wikipedia berbahasa Prancis.
Seperti dijelaskan, José Arribas, pelatih Nantes periode 1960-1976 adalah yang pertama kali melahirkannya. Ketika itu, Suaudeau masih bermain di klub tersebut, sembilan tahun sampai 1969.
Kemudian, dilanjutkan oleh pelatih Jean Vincent sebelum Suaudeau mengambil alih tim pada 1982. Arribas menghasilkan lima trofi domestik, termasuk tiga kali juara Ligue 1, yang dilanjutkan dengan dua trofi liga lainnya dan juara Coupe de France pertama pada 1978/1979 oleh suksesornya. Ketika Suaudeau memimpin tim, dia pun langsung sukses lagi mengantarkan Nantes jadi kampiun Ligue 1.
Pria yang mengawali karier kepelatihannya di tim akademi Nantes pada periode 1973-1982 itu lalu mengembangkan strategi jeu à la nantaise ketika kembali dipercaya melatih untuk kedua kalinya. Bahkan, taktik itu tak berhenti, karena dilanjutkan Raynald Denoueix pada 1997-2001. Hasilnya lima trofi domestik lagi, di antaranya Coupe de France dua musim beruntun dan juara Ligue 1 2000/2001.
Barcelona dan Spanyol
“Dalam hal sepakbola, Nantes tidak diragukan lagi merupakan pelopor. Bagi saya, jelas bahwa cara bermain Barcelona dari tahun 2005 terinspirasi dari jeu à la nantaise. (Pep) Guardiola adalah bagian dari filosofi ini, meski ada kekhasan,” kata Houllier lagi menambahkan.
Sebagai pelatih hampir empat dekade, termasuk di era Suaudeau dan Guardiola, dia bisa membandingkan kedua pelatih terbaik itu.
“Ada lebih banyak tekanan di Coco, karena dipengaruhi di area ini oleh Arrigo Sacchi. Kesimpulannya, saya merasa Nantes membawa benih gaya permainan yang lalu mekar beberapa tahun kemudian bersama Barcelona dan Timnas Spanyol,” jelas Houllier.
Sedangkan gaya sepak bola racikan Guardiola dikenal dengan permainan Tiki-Taka sejak akhir 2000-an, yang berkembang pula di Timnas Spanyol.
Strategi Tiki-Taka identik dengan permainan umpan pendek dan pergerakan dinamis baik dengan atau tanpa bola. Gaya sepakbola ini memang mirip dengan jeu à la nantaise. Sayangnya, setelah masa kejayaannya, Nantes harus menghadapi siklus yang tak bisa dielakkan ketika datangnya evolusi sepakbola, di mana penguasaan bola kini tak lagi penting, karena tidak menentukan kemenangan.
Sumber: maisonjaune, wikipedia (1), (2)