Akhir Maret 2018 lalu, kompetisi sepakbola tertinggi di Indonesia, Liga 1 musim 2018 akhirnya dimulai. Beberapa tim unggulan seperti PSM Makassar dan Persija Jakarta sudah tancap gas sedari awal. Namun ada juga tim besar yang masih mencari bentuk permainan terbaik mereka. Persib Bandung dan Arema FC misalnya, malah belum pernah menang sama sekali setidaknya di dua laga awal mereka. Seperti biasa, kompetisi lokal kita memang selalu menghadirkan kejutan sedari awal sepak mula kompetisi.
Baca juga: Anomali Persib Bandung
Sepak mula musim baru bergulir artinya pemain baru, kontestan baru (klub promosi), aturan baru (rasa lama) hingga deretan kostum baru. Perihal kostum ini, bahkan beberapa klub Indonesia seperti Borneo FC mulai intens bekerjasama dengan apparel terkenal dari luar nusantara.
“Saya kenal dengan Pak Nabil (presiden Borneo FC). Beliau ambisius dan punya visi yang baik. Saat ini klub Borneo FC bergengsi banget. Pak Nabil mempersiapkan kerja sama dengan kami itu satu tahun sebelumnya. Ambisi mereka ke AFC dan top 5 kita bisa merasakan dari gairahnya. Jadi kami merasa wah bagus ini untuk kita support,” ungkap Direktur Fisik Football, Adrian Riyadi, usai launching Jersey Borneo FC seperti dilansir laman Tribun Kaltim.
Untuk urusan bisnis dan citra, mungkin kerjasama tim Pesut Etam ini dengan Nike adalah langkah yang cukup bagus. Meski begitu, Borneo FC mau tidak mau akan memakai desain teamwear (semacam template) yang kerap pihak Nike berikan kepada tim-tim yang mereka sponsori. Aspek desain jauh menjadi lebih minimalis dan tidak se-unik bersama apparel Salvo beberapa musim lalu.
Ganjalan Sengketa PSMS Medan
Lain Borneo, maka lain pula dengan PSMS Medan. Tim promosi besutan coach Djajang Nurjaman tersebut kini malah tersangkut dalam sengketa kepemilikan hak logo dan nama PSMS itu sendiri. PT. Kinantan Medan selaku manajemen yang menaungi PSMS saat ini disomasi oleh pihak PT. Pesemes Medan yang merupakan manajemen klub sebelumnya. Tak ketinggalan juga, DJ Sport selaku apparel dari tim asal Medan tersebut disomasi oleh PT. Pesemes Medan. Akibatnya, sponsor dan apparel menarik diri dari PSMS karena sengketa ini.
“Iya, PT LIB hanya meminta klarifikasi (masalah ini) dari manajemen. Sudah kami surati dengan penjelasan bahwa logo dan nama PSMS sudah ada sejak dulu dan tidak berubah, sebelum ada pematenan hak cipta tersebut. Manajemen PSMS akan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap penggunaan logo dan nama PSMS yang digunakan untuk kepentingan Liga,” kata Julius Raja, sekretaris klub dilansir laman Goal Indonesia.
Sengketa ini jelas merugikan klub. Liga yang baru berjalan, terutama kostum yang baru dirilis akan sia-sia mengingat apparel DJ Sport enggan melanjutkan kerjasamanya sebelum masalah ini terselesaikan. Bayangkan saja, jika masalah ini berlarut-larut, pemasukan baik material atau non-material untuk tim akan terhenti. Sebagai info saja, PSMS sampai saat ini selalu kalah di awal-awal laga dan akan memperburuk suasana jika ada masalah sengketa hak penggunaan logo dan nama ini.
Tarik mundur sebelum ada konflik ini, sebetulnya PSMS sendiri memiliki desain kostum rilisan Dj Sport yang cukup elegan. Namun sayangnya, desain simpel dan elegan tersebut dikacaukan dengan penempatan logo sponsor yang tidak tertata rapi. Tampilannya besar dan seakan-akan tak mempedulikan estetika dari desain itu sendiri. Bukan hanya PSMS, klub seperti Arema FC pun mempunyai desain kostum yang simpel dan cukup bagus namun ada beberapa hal yang mengganjal dari sponsor mereka, baik dari posisi, warna ataupun ukuran (meski tak separah PSMS Medan).
Aturan Penempatan Sponsor
Masalah penempatan sponsor ini tentu kita bertanya-tanya. Apakah ada regulasi khusus tentang ukuran, warna dan penempatannya? Jawabannya, ada. Setidaknya jika mengacu kepada manual Liga 1 musim 2017 lalu. Sebagi info saja, manual Liga 1 musim 2018, belum dirilis secara umum untuk publik. Berikut uraiannya;
Klub diperbolehkan menempatkan materi promosi (advertisement) sebanyak-banyaknya untuk 3 space. Klub diperbolehkan melakukan penempatan materi promosi (advertisement) dengan ukuran sebagai berikut:
- Horizontal/vertical di bagian dada: maksimal 200 cm2 (sentimeter persegi), dengan ketinggian teks/design maksimal 10 cm (untuk main/title sponsor).
- Horizontal/vertical di bagian dada: maksimal 70 cm2 atau 50 cm2, dengan ketinggian teks/design maksimal 10 cm (untuk partner).
- di bagian lengan kiri: maksimal 50 cm2.
- di bagian punggung: maksimal 200 cm2 atau 20 cm2.
(sumber gambar: manual liga 2017)
Meski tak sedetail seperti regulasi FA di Inggris ataun AFC di level kompetisi Asia, setidaknya ada regulasi yang mengatur tentang penempatan ini. Pada dokumen manual AFC ataupun FA misalnya ada pengaturan jarak antara logo klub, logo apparel dan logo sponsor misalnya. Manual Liga 1 Indonesia tak mengatur itu untuk bagian depan kostum, melainkan hanya mengatur perihal jarak antara nomer dan nama punggung serta sponsor yang tertermpel di bagaian belakang kostum tersebut.
Aturan Tanpa Sanksi?
Istilah ejekan ‘baju balap’ untuk kostum tim yang penuh tempelan sponsor seharusnya bisa menjadi bumerang tersendiri untuk pihak klub karena tak sesuai dengan manual liga. Sayangnya, setelah mencari perihal sanksi yang akan didapatkan karena melanggar aturan ini, kami tidak menemukan catatan yang dimaksud tersebut. Tak mengherankan jika mayoritas klub tak mengindahkan manual yang sudah diberikan pihak Liga 1 ini.
Jika manual liga 1 tersebut (terutama aspek penempatan sponsor ini) hanya sekadar anjuran saja tanpa ada sanksi yang pasti dari pihak operator liga, maka setidaknya pihak klub dan desainer mereka seharusnya cukup bisa memahami hal yang mendasar. Hal tersebut adalah; ‘kostum yang enak dilihat dan bernilai jual’ untuk desain yang akan mereka pakai dan rilis ke depan publik. Bukankah kostum dan logo klub ini adalah tampilan visual sekaligus etalase dari klub itu sendiri?
Pihak sponsor, di Indoensia memang seakan tidak puas dengan hanya menempelkan papan iklan di pinggir lapangan saja. Mereka akhirnya melakukan kesepakatan untuk menempelnya di kostum tanding atau kostum latihan. Pun jika akhirnya harus menempelkan cukup banyak label sponsor, pihak klub dan desainer harus memberikan masukan tentang desain yang lebih berestetika dan bernilai jual. Bukannya malah terkesan membiarkan sponsor tertempel tak karuan baik posisinya, warnanya maupun ukurannya. Toh banyak tim yang memiliki kostum seperti ‘baju balap’ akan tetapi masih terlihat rapi dan trendi seperti Persija Jakarta, Persipura Jayapura, atau Persib Bandung, misalnya.