Labil Ala Bayer Leverkusen

Foto: Vavel.

Bayer Leverkusen mencatat kemenangan impresif 3-0 atas VfL Wolfsburg di pekan ke-19 1.Bundesliga 2018/2019. Tiga gol itu masing-masing diciptakan Kai Harvetz, Kevin Volland, serta Julian Brandt, dan memberikan kemenangan pertama Peter Bosz sebagai nahkoda Vizekusen.

Bayer tengah awalnya duduk di peringkat kesembilan klasemen pada pekan ke-19 1.Bundesliga dan bertemu Bayer Munchen. Bayer sendiri menang 3-1 dalam pertandingan tersebut. Musim 2018/2019 jadi sebuah tantangan tersendiri bagi Bayer yang musim lalu sempat menjadi pesaing gelar juara 1.Bundesliga sebelum akhirnya berakhir di posisi kelima klasemen.

Mereka mengawali musim dengan tiga kekalahan beruntun, sempat duduk di dasar klasemen, sebelum akhirnya perlahan naik ke papan tengah. Sosok yang menangani Leverkusen saat itu bukanlah Bosz, melainkan Heiko Herrlich.

Herrlich ditunjuk untuk menggantikan Tayfun Korkut pada Juli 2017 dan menunjukkan kemampuanya di pinggir lapangan. Bayer yang pada 2016/2017 berakhir di peringkat ke-12 klasemen 1.Bundesliga dengan 53 gol dan 55 kali kebobolan naik ke papan atas.

Baca juga: Leverkusen yang Mulai Menjauh dari Bayern Munchen

Produktivitas mereka tidak bertambah secara signifikan, hanya mencetak 58 gol hingga akhir musim. Namun, kolektivitas Julian Brandt dan kawan-kawan meningkat di bawah arahan Herrlich.

Bayer yang bergantung pada kreativitas Brandt dan ketajaman Javier Hernandez selama 2016/2017 memiliki lebih banyak opsi di bawah Herrlich. Volland, Leon Bailey, Kai Harvetz, dan Lucas Alario bisa mencetak gol dan menjadi arsitek secara bergantian. Tugas Brandt diringankan sementara Hernandez yang hengkang ke West Ham United tidak dirindukan.

“Rahasianya? Kerendahan hati. Itu cara kami melakukan pendekatan ke setiap laga,” kata Herrlich. Hal itu juga terlihat dari banyaknya opsi yang dimiliki Herrlich. Ia seakan memberi cemoohan ke ungkapan populer: “Don’t change the winning team“.

Dari 24 pemain yang ia miliki di Bayer Leverkusen 2017/2018, semuanya mendapatkan waktu bermain di liga. Dari Bernd Leno yang mengantongi 2.970 menit bermain, sampai ke Kevin Kampl (144′), Andre Ramalho (44′), dan Aleksandar Dragovic (29′) yang meninggalkan tim di bursa transfer musim panas 2017.

Dengan kolektivitas tersebut, Bayer berhasil mencetak gol di 24 laga secara beruntun, rekor baru dalam sejarah klub. Bayer juga tidak terkalahkan dalam tujuh partai tandang, sesuatu yang terakhir kali mereka rasakan pada 2011, dan hanya kalah empat kali dari hingga pekan ke-22 1.Bundesliga 2017/2018.

Sayangnya pekan ke-22 itu menjadi malapetaka untuk Herrlich dan Bayer. Ditekuk Hertha Berlin dengan skor 0-2, Leverkusen turun dari posisi runner-up. Mereka kemudian hanya mengumpulkan 14/36 poin yang tersedia dari pekan ke-23 hingga 34.

Kampanye 2018/2019 yang diawali dengan buruk perlahan bisa diperbaiki. Bayer Leverkusen mulai memetik tiga poin dan mengalahkan kesebelasan-kesebelasan populer seperti VfB Stuttgart dan Schalke. Mereka bahkan membantai Werder Bremen 6-2 di pekan ke-9.

Menduduki peringkat sembilan klasemen sementara sebelum libur Hari Natal dan tahun baru, Bayer kemudian mengambil keputusan mengejutkan. Heiko Herrlich didepak dari kursi kepelatihan meski pada pertandingan terakhirnya meraih kemenangan atas Hertha Berlin.

“Heiko Herrlich telah membantu kami musim lalu. Ia datang saat situasi kami sedang sulit dan berhasil membawa Bayer ke kompetisi antar klub Eropa. Namun, setelah mengadakan rapat, hasilnya adalah rasa tidak puas. Kami merasa Bayer Leverkusen tidak mengalami perubahan, stagnan, dan perubahan harus segera dilakukan,” ungkap Rudi Voller yang menjabat sebagai direktur dan manajer olahraga Bayer.

Herrlich yang sudah membantu Bayer kembali menjadi kesebelasan yang ditakuti, cetak berbagai rekor, dan memberikan harapan bahwa klub tersebut bisa seperti dulu, dipecat. Wajar jika Bild menyebut keputusan ini sebagai pemecatan paling kejam di 1.Bundesliga.

Alasan utama Bayer menunjuk Herrlich adalah gaya permainan yang sesuai dengan filosofi klub. “Herrlich adalah sosok yang menerapkan sepakbola atraktif, agresif, dan aktif. Sangat dekat dengan harapan kami tentang klub ini,” kata Voller di 2017.

Saat hal itu sudah tercapai, Herrlich disebut stagnan?

Foto: Bundesliga

Perubahan Filosofi

Alasan Herrlich didepak bukan karena dirinya tidak berhasil. Melainkan karena ada satu poin tambahan dalam filosofi Bayer Leverkusen. Seperti di permainan ‘Football Manager’, filosofi klub yang diminta direksi klub bisa saja mengalami perubahan atau ditambahkan. Setelah rapat tengah musim, Bayer memutuskan bahwa main secara atraktif, agresif, dan aktif saja tidak cukup.

Mereka harus bisa menjadikan talenta-talenta muda sebagai tulang punggung kesebelasan. Memiliki talenta seperti Jonathan Tah, Brandt (22), Bailey (21), dan Kai Harvetz (18) hal ini dianggap perlu oleh petinggi Bayer.

“Bosz bukannya memainkan sepakbola menyerang dengan tempo tinggi. Dirinya juga sudah terbiasa menangani pemain muda seperti saat di Ajax Amsterdam,” kata Direktur Olahraga Bayer Simon Rofles saat mengumumkan penunjukkan Peter Bosz.

Musim ini, Bayer mengorbitkan tiga pemain akademi mereka. Adrian Stanilewicz, Jakub Bednarczyk, dan Sam Schreck. Keduanya sudah diberi kesempatan tampil oleh Herrlich di Euopa League. Hal itu sepertinya belum cukup untuk direksi Bayer. Padahal Herrlich juga mendatangkan Paulinho Filho (18) dari Vasco da Gama dan memberikannya jam terbang di 1.Bundesliga.

Foto: The Youth Radar

Ajax Bukan Bosz, Bayer Bukan Ajax

Bosz memang sosok yang mendaratkan sensasi Bundesliga 2018/2019, Jadon Sancho ke Dortmund. Dirinya mengetahui talenta Sancho sangat besar, tapi bukan dia yang sukses menjadikan Sancho menjadi salah satu talenta muda terpanas di Eropa.

Bosz sama saja seperti Jose Mourinho yang mengetahui talenta Kevin de Bruyne dan Mo Salah. Namun gagal memanfaatkannya dengan baik. Diasuh Bosz, Sancho hanya mendapat 16 menit di 1.Bundesliga dan lebih sering dilempar ke tim muda Dortmund.

Peter Bosz yang dipercaya sebagai pengganti Herrlich tentu memiliki pengalaman mengurus talenta muda. Namun keberhasilannya dengan talenta-talenta Ajax tidak murni berkat kemampuannya. Ajax memang sudah memiliki sistem akan talenta muda mereka, dan terus mengembangkan hal tersebut siapapun pelatih tim senior mereka.

Itu tidak terjadi di Bayer Leverkusen, kesebelasan dari daerah Westfalen memang punya banyak talenta muda setiap tahunnya. Namun mayoritas bukanlah talenta asli Bayer dan terlalu cepat dilepas. Marcel Risse besar di 1.FC Koln. Pierre-Michel Lassoga bersinar saat membela Hamburg. Sementara Leroy Sane dua musim di Leverkusen, tapi terpendam di akademi sebelum hengkang ke Schalke.

Tentu ada pemain-pemain sukses dari akademi Bayer. Kevin Kampl, Benjamin Henrichs, Tin Jedvaj, Arkadiusz Milik, dan Julian Brandt misalnya. Tapi tiga nama terakhir dibeli dari tim lain. Jedvaj dari Roma, Brandt awalnya membela Wolfsburg, dan Milik merupakan pemain muda termahal yang dibeli Bayer sejak 2000/2001 dengan dana 2,6 juta Euro diberikan ke Gornik Zabrze.

Rekor itu dipecahkan Paulinho saat bursa transfer musim panas 2018. Pihak Vasco da Gama mendapat uang sekitar 17 juta Euro dari Leverkusen untuk jasa penyerang sayap tersebut.

Foto: The Boot Room

Tersandung Masalah Harga

Bayer Leverkusen tidak terbiasa mengandalkan pemain-pemain muda mereka. Meski saat ini bisa dibilang sedang berada di masa keemasan, Bosz masih butuh waktu untuk dapat menjalankan tuntutan direksi Bayer.

Masalahnya, bukan hanya lebih sering mengimpor talenta muda dari luar klub, Bayer juga punya batas pengeluaran untuk membeli pemain akademi atau di bawah 18 tahun. “Kami tidak akan mengeluarkan jutaan Euro untuk pemain akademi. Maksimal hanya dua juta,” kata Peter Quast, pelatih akademi Bayer pada April 2018.

Sedangkan Borussia Dortmund harus mengeluarkan dana lebih dari tujuh juta Euro untuk mendaratkan Jadon Sancho dari Manchester City. Saat itu Sancho masih berusia 17 tahun, dan harganya jauh melebihi batas pengeluaran Bayer.

Dengan pergerakan sepakbola modern yang semakin mengedepankan kekuatan finansial, sekalipun Bosz sukses mengangkat prestasi Bayer, tidak ada jaminan dirinya dapat terus memenuhi tuntutan untuk menggunakan talenta muda sebagai tulang punggung. Bukan hanya dirinya belum teruji, tapi kebijakan Bayer juga menghalangi Bosz untuk mendapat talenta terbaik. Atau Bayer akan mengubah filosofi mereka lagi?