Lalu Muhammad Zohri dan Pelajaran dari Kasus AFF 2010 dan 2013

Pada 11 Juli lalu, Indonesia dibuat berbangga dengan keberhasilan Lalu Muhammad Zohri. Sprinter kelahiran Lombok, Nusa Tenggara Barat, ini berhasil meraih medali emas dalam kejuaraan IAAF World U20 Championship di Tampere, Finlandia. Tidak hanya itu, Zohri juga memecahkan rekor junior nasional dengan catatan waktu 10,18 detik.

Sontak keberhasilan ini membuat Zohri menjadi headline di berbagai media. Harapan kita untuk melihat sprinter terbaik setelah era Suryo Agung Wibowo kembali muncul. Tidak hanya media dalam negeri, beberapa media luar negeri juga ikut memberitakan pencapaian tersebut. Tak ayal, hal ini membuat banyak pihak ramai-ramai memperhatikan Zohri.

TNI AD langsung memberikan penawaran untuk merenovasi rumah Zohri. Presiden Joko Widodo langsung mengeluarkan instruksi melalui Puan Maharani untuk ikut merenovasi rumah Zohri. Salah satu ustadz memberikan hadiah umroh. Yang terbaru, Zohri mendapat tawaran untuk menjadi Pegawai Sipil Negara (PNS) serta masuk secara gratis ke Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

Apakah hal ini perlu untuk dilakukan? Ya. Zohri patut mendapat perhatian dari berbagai instansi pemerintahan. Prestasi yang diperoleh, bisa dikatakan sebagai pukulan untuk berbagai pihak terkait yang terkadang abai terhadap kiprah para atlet yang mengikuti kompetisi.

Sayangnya, bentuk perhatian dan sikap berlebihan kadang setipis rambut. Patut kita sadari kalau Zohri masih sebatas prestasi dalam kategori junior. Prestasi sesungguhnya Zohri baru bisa dilihat ketika mengikuti ajang sebesar Asian Games atau bahkan Olimpiade serta kejuaraan dunia atletik.

Dalam pandangan penulis, sebaiknya cara memberikan perhatian kepada Zohri bukan dalam hal yang tidak ada kaitannya dengan olahraga. Akan jauh lebih baik jika Zohri diberikan pelatih serta mengikuti beberapa kompetisi untuk meningkatkan pengalamannya tanpa dibebankan untuk selalu berprestasi.

Kasus AFF 2010 yang Harus Dijadikan Pelajaran

Pepatah mengatakan kalau “Pengalaman adalah Guru Terbaik”. Hal inilah yang patut dijadikan pelajaran bagi kita semua dalam memberikan perhatian kepada Zohri. Tidak jarang, sorotan yang berlebihan hanya akan membunuh karier seorang atlet secara perlahan.

Masih belum hilang dari ingatan kita apa yang terjadi selama 30 hari sepanjang Desember 2010. Saat itu, timnas Indonesia tampil luar biasa pada pegelaran AFF kedelapan. Malaysia ditaklukkan 5-1, Laos dibobol enam kali tanpa balas, yang paling apik adalah ketika kita mengalahkan Thailand 2-1 sekaligus menyingkirkan mereka dari fase grup. Animo sepakbola Indonesia semakin meriah ketika kita berhasil melaju ke final setelah mengalahkan Filipina.

Hal ini membuat media berlomba-lomba memberitakan penampilan skuat Alfred Riedl tersebut. Sayangnya, media saat itu memberitakan secara berlebihan. Irfan Bachdim lebih sering nongol di infotainment terkait wajah gantengnya dan hubungan percintaannya dengan model seksi, Jennifer Kurniawan.

Hal serupa juga dialami oleh Christian Gonzales yang rumah tangganya bersama wanita Indonesia lebih banyak dibahas ketimbang permainan sepakbolanya. Eva Siregar dan para Wag’s lainnya kemudian kerap muncul untuk membahas sisi lain di luar karier sepakbola suaminya. Belum lagi ucapan selamat dari para pesepakbola dunia yang ketika itu membuat timnas seolah-olah adalah negara kuat sepakbola.

Akan tetapi, otoritas Alfred seolah dilangkahi. Kesebelasan Indonesia menjelma menjadi rombongan sirkus alih-alih kesebelasan sepakbola. Keadaan semakin parah saat timnas digiring ke rumah salah satu ketua umum partai hanya untuk sarapan pagi dan beramah tamah.

Tidak ada waktu istirahat bagi Firman Utina cs. Mereka diarak ke sebuah pesantren untuk melakukan doa bersama. Alfred sempat berseteru dengan manajer tim, Andi Darussalam saat pesawat yang akan ditumpangi oleh mereka diisi beberapa pihak di luar intern timnas seperti pengurus PSSI serta media-media yang diundang khusus oleh mereka.

Lantas apa yang terjadi kemudian? Di stadion Bukit Jalil, penampilan Indonesia begitu lesu. Tidak ada gairah yang ditunjukkan seperti ketika mengalahkan Harimau Malaya 5-1 pada babak grup. Indonesia justru dikalahkan 3-0 sekaligus membuat Alfred berang saat wawancara pasca laga.

“Media-media banyak yang meminta wawancara, PSSI juga memberikan aktivitas yang tidak perlu. Ini hanya permainan dan tugas kami adalah memberikan prestasi dan bukannya menyenangkan media atau pihak tertentu,” tuturnya dalam buku Jas Merah: Sisi Lain Sepakbola Nasional.

Keinginan kita untuk melihat akhir yang bahagia justru berubah menjadi kesedihan. Di GBK, Indonesia hanya sanggup menang 2-1. Kita kembali puasa gelar di level AFF dan harus puas menyandang status spesialis runner up.

Gagalanya Generasi Evan Dimas dan Kawan-Kawan

Tiga tahun setelahnya, nama Indonesia kembali melejit. Kali ini diwakili oleh timnas U19 yang menjuarai Piala AFF U19. Generasi Evan Dimas dkk mengalahkan Vietnam 7-6 di partai puncak melalui adu penalti.

Lagi-lagi mereka jadi pusat perhatian. Presiden SBY mengucapkan selamat kepada mereka. Tidak mau ketinggalan, Giorgio Chiellini juga mengirimkan ucapan serupa. Media pun lagi-lagi memberitakan prestasi mereka. Dari yang hanya sebatas membahas permainan Pepepa serta latar belakang Indra Sjafri yang blusukan mencari pemain, pemberitaan kemudian bergerak liar kearah kehidupan para pemain serta beberapa pemain yang berparas tampan.

Yang paling sensasional tentu saja ketika muncul wacana Badan Tim Nasional mengadakan tur nusantara. Entah apa yang membuat coach Indra saat itu mengiyakan tawaran tersebut. Dengan kedok menambah pengalaman bertanding, timnas U19 kembali hanya menjadi rombongan sirkus.

Bagaimana tidak, sepanjang Februari mereka harus bermain sebanyak 10 pertandingan dengan jeda hanya dua sampai empat hari saja. Kesebelasan sekelas Real Madrid pun akan kelelahan. Belum lagi ketika melihat rute tur yang meliputi Sleman, Bantul, Yogya, Solo, Semarang, Jepara, Surabaya, Sidoarjo, Malang, Balikpapan, Samarinda dan Tenggarong. Tenaga mereka sudah habis di jalan. Tidak Cuma sekali, BTN membuat tur nusantara jilid dua dengan garis start dimulai dari Aceh per Juni 2014.

Lantas apa hasil dari tur nusantara saat itu? Evan Dimas hanya menjadi bulan-bulanan Uzbekistan, Australia dan Uni Emirat Arab. Sebaliknya, Myanmar yang kita kalahkan 2-1 di penyisihan AFF setahun sebelumnya justru menjadi satu-satunya wakil ASEAN yang melangkah ke semifinal sekaligus bermain di Piala Dunia U20.

Yang lebih mirisnya lagi, generasi Evan Dimas cs., seolah jalan di tempat. Semua upaya dari tur nusantara hingga tur Spanyol menjadi sia-sia. Di saat Hwang Hee Chan, pemain Korea Selatan yang dikalahkan Indonesia di babak kualifikasi, bisa bermain di Piala Dunia dan melawan negara sekelas Jerman, Evan hanya bisa bahu membahu untuk memperebutkan gelar Piala Malaysia.

***

Dua kisah di atas bisa dijadikan contoh untuk tidak mengeksploitas Zohri secara berlebihan. Ada baiknya kita mendoakan Zohri sekaligus memberikan kesempatan dirinya agar fokus untuk berlatih jelang Asian Games nanti. Namun sebelum itu, kita mendoakan Zohri agar tidak menerima undangan untuk tampil di acara talk show atau menjadi bintang iklan produk sosis, sebuah rutinitas yang kerap dilakukan beberapa atlet kita.