Liga 1 Putri 2019 Seharusnya Jadi Uji Coba Bukan Ujian

Foto: PSSI.org

Untuk pertama kalinya sejak era Galanita, Indonesia akhirnya kembali menggelar kompetisi sepakbola perempuan bertajuk “Liga 1 Putri”. Kompetisi ini diisi oleh 10 kesebelasan yang terbagi dalam dua grup. Tira-Persikabo, Persib Bandung, Persija Jakarta, PSS Sleman, PSIS Semarang di Grup A. Sementara di Grup B ada Galanita Persipura, Arema, Bali United, PSM Makassar, dan Persebaya Surabaya.

Liga sepakbola putri bukanlah hal baru untuk Indonesia. Galanita, Piala Kartini, semua ada sejak 1980-an. Namun, kompetisi tersebut sempat mati suri. Sampai dicetuskan kembali di 2018. Mulai dari kritik mantan ketua umum (Ketum) PSSI, Eddy Rahmayadi, keluhan Rully Nere selaku pelatih Timnasita, ataupun keinginan Sekretaris Jendral (Sekjen) PSSI, Ratu Tisha, semuanya mendorong kelahiran Liga 1 Putri 2019.

Animo masyarakat Indonesia pun cukup tinggi dalam menyambut kompetisi ini. Bagi publik Indonesia, sepakbola memang olahraga rakyat sekalipun tidak banyak prestasi yang dapat dibanggakan. Hal ini terlihat dari pertandingan Indonesia kontra India di Tangerang (27/1).

Pertandingan itu awalnya tidak dibuka untuk umum. Namun, karena mendapat publikasi yang cukup, beberapa kelompok suporter datang untuk memberi dukungan mereka pada para pemain Indonesia. Tak ayal, Liga 1 Putri pun menarik cukup banyak mata.

Sayangnya, ada saja oknum yang merusak euforia ini. Pertandingan Persija kontra Persib di seri pertama Liga 1 Putri sempat diwarnai oleh bentrok suporter. Kedua tim memang telah dikenal sebagai rival abadi. Pertandingan antara mereka bahkan dijuluki sebagai ‘Indonesia Clasico’. Dalam beberapa tahun terakhir, ketika pertandingan ini digelar, suporter tim tamu selalu dilarang untuk bertandang. Waktu ada yang coba-coba melanggar, ada saja korban.

Tapi Liga 1 Putri 2019 menggunakan sistem series dan ketika itu, pertandingan antara Persib dan Persija digelar di area netral, Stadion Maguwoharjo, Sleman. Mungkin hal itu membuat pertandingan tersebut diizinkan untuk diisi penonton. Mungkin juga karena tak ada yang menyangka bahwa pertandingan Liga Putri bisa menarik masa sampai bentrok.

Apapun alasannya, hal ini membuat seri kedua Grup A yang digelar di Stadion Pakansari, Cibinong, berlangsung tanpa penonton. Seri ketiga grup yang sama kabarnya juga akan diselenggarakan di Pakansari. Hingga 4 November 2019, rumornya tribun tetap kosong.

***

https://www.instagram.com/p/B4WYq8oHH_D/

Manajer Tira-Persikabo Esti Puji Lestari sempat menjelaskan tentang larangan penonton di seri kedua melalui akun Instagram miliknya. “Nila Setitik rusak susu sebelanga. Ini kiasan yang paling sesuai menggabarkan keadaan sepakbola Indonesia. Kota A yang rusuh. Klub B yang anarkis. Akan tetapi, yang terkena dampaknya adalah seluruh sepakbola Indonesia,” buka Esti.

“Sepakbola laki-laki yang suka baku-hantam. Tapi di sepakbola perempuan pun akhirnya juga ikut berkelahi.  Kita semua bersaudara, satu sakit, semua kena. Sukses bersama-sama. Jangan pikir satu lebih unggul dari lainnya. Ini PR kita bersama”.

“Saya ingin bertaruh, ambil risiko, edukasi suporter ini secara bejalan. Buka saja stadion. Jika perlu gratis. Tapi saya tidak mau mempertaruhakan prestasi putri-putri kita yang di masa pembinaan ini. Maaf, saya tidak sanggup. Ini bukan masalah finansial, lebih besar dari itu,” lanjutnya.

Ungkapan Esti itu pun didukung oleh Kapten Persija Jakarta Vinny Silvianus. “Ini liga yang baru dibentuk oleh PSSI. Masa langsung rusuh? Suporter harusnya lebih bijak. Janganlah masalah di sepakbola putra di bawa ke sini,” kata Vinny.

Sialnya beberapa oknum tidak menyadari kesalahan mereka. Ketika seri ketiga Grup A dirumorkan akan kembali digelar tanpa penonton, Esti selaku manajer Tira-Persikabo, pihak tuan rumah dari seri dua dan tiga mendapat serangan di sosial media. Berbagai ucapan negatif dilemparkan kepadanya. Padahal, penutupan stadion itu terjadi karena sebagian suporter terlalu egois.

***

Bukan hanya di laga Persib kontra Persija saja. Saat Arema bertemu Persebaya, ada sebuah banner yang merendahkan salah satu pihak. Menyerang pribadi pemain yang tengah berjuang di atas lapangan. Pihak Arema FC pun menghibau suporternya untuk saling jaga. Tidak membiarkan aksi-aksi oknum terjadi lagi.

“Persebaya dan Arema memang punya sejarah rivalitas. Tapi bukan begitu cara melakukan psywar. Jangan-jangan mereka provokator,” kata salah satu tokoh suporter Arema, Amin. “Sepakbola putri mungkin saat ini masa dalam fase awal. Namun hal ini memiliki prospek besar di masa depan,” tambah pelatih Arema FC Putri Syahrial Alief.

Liga 1 Putri 2019 seharusnya menjadi masa uji coba untuk perkembangan sepakbola perempuan di Indonesia. Namun yang terjadi justru ujian. Suporter pasti akan menjadi kambing hitam. Sekalipun oknum yang merusak, nama mereka semua ikut tercoreng.

Padahal jika dipikir lagi, ini sudah salah sejak awal. Salah PSSI dan para pengatur kompetisi yang terlalu naif membedakan sepakbola perempuan dengan pria. Bagi supporter, tim mereka hanya satu. Tak peduli pria atau perempuan yang main. Jika membawa nama tim, berarti bagian dari para suporter.

***

Membagi kompetisi ke dalam dua grup, seharusnya pengatur kompetisi bisa memisahkan Arema-Persebaya dan Persija-Persib di grup yang berbeda. Tapi mereka justru menyatukan pihak-pihak yang sudah dikenal punya rivalitas tinggi. Apabila mereka dipisahkan dan pada akhirnya tetap bertemu di semi-final atau final, setidaknya mereka bertanding di laga yang penuh gengsi.

Menggunakan sistem series juga menyiksa. Jadwal yang diberikan terlalu padat. Tak ada waktu untuk istirahat. Alhasil banyak pemain tumbang, mengalami cedera. “Jadwal kurang teratur. Jeda yang kami dapat sangatlah singkat. Kami mungkin hanya istirahat satu hari. Bahkan bisa langsung main lagi,” aku Vinny Silvianus.

Vinny menyarankan untuk waktu pertandingan diubah. Dikurangi 10 menit per babak. Tapi main 35 menit per babak sebenarnya juga bukan jawaban. Beberapa tahun lalu, sepakbola perempuan memang masih bermain dengan waktu yang lebih singkat, 35×2 seperti kata Vinny. Namun sekarang waktu pertandingan sudah sama dengan para pria.

Itu bisa dilihat sebagai bentuk kesetaraan. Salah satu cara agar pesepakbola perempuan tidak dianggap lebih rendah daripada pria. Satu-satunya cara adalah memperbaiki jadwal. Pria ataupun perempuan, jika mereka tidak diberi waktu istirahat dan latihan yang cukup, pasti gagal untuk maksimal.

Ide dan sikap PSSI terhadap terhadap sepakbola perempuan jelas harus diapreasiasi. Tapi andai terus begini, bukan tidak mungkin mati suri lagi. Padahal dengan keberadaan Liga 1 Putri ini, para pemain bisa menginspirasi generasi penerus bangsa. Memperlihatkan bahwa ada tempat juga untuk mereka di atas lapangan. Tapi siapa yang mau ikut kompetisi jika harus main sepakbola secara rodi?