Grinna Tri Handayani bekerja sebagai tim penyusun buku pelajaran saat usianya 22 tahun di sebuah rumah usaha yang terletak di Sarijadi, Bandung. Ia hanya bertahan empat bulan di tempatnya bekerja sebelum akhirnya memilih pindah.
“Dari gaji jauh lebih gede. Trus bisa lebih profesional kerja karena di kantor resmi berbadan hukum, sekalian nambah pengalaman kerja juga di perusahaan asing,” ujar Grinna ketika ditanya alasannya pindah padahal baru empat bulan bekerja.
Keputusan Grinna untuk pindah kerja, jatuh pada jabatan marketing di salah satu perusahaan daerah Setrasari, Bandung. Perusahaan tersebut sebagai salah satu trading textile agent di Indonesia yang memasarkan produk ke wilayah Timur Tengah. Grinna bertahan selama empat tahun dan memutuskan untuk keluar ketika akan melahirkan. Kini Grinna berusia 33 tahun dan memilih bergelut di bidang bisnis online.
Berdasarkan survei Deloitte, satu dari empat pegawai milenial akan keluar dari pekerjaannya saat ini untuk bergabung dengan perusahaan lain. Mereka akan bertahan tidak lebih dari dua tahun.
Selain Grinna, ada pula Prasetyo Adi yang kini berusia 35 tahun pernah bekerja di salah satu radio Yogyakarta. Pada usianya yang menginjak 30 tahun, Adi bertahan sebagai penyiar radio selama dua tahun. Ia akhirnya memutuskan untuk pindah ke salah satu perusahaan yang bergerak di bidang PLTA daerah Bogor.
Alasan yang diungkapkan Adi pun tidak jauh berbeda dengan alasan Grinna. Keduanya sama-sama menyinggung soal gaji yang lebih besar dan pengalaman yang lebih banyak. Namun Adi juga mengungkapkan jika pekerjaannya sebagai penyiar tidak sesuai dengan bidang yang diambilnya semasa kuliah.
Pasalnya, semasa kuliah Adi mengambil jurusan psikologi di salah satu universitas ternama di Yogyakarta. Menjadi penyiar radio tentulah tidak ada kaitannya dengan bidang kuliah Adi. Kini ia menduduki jabatan sebagai HRD yang memiliki kesinambungan dengan bidangnya dan masih bertahan di perusahaan yang sama.
Sudah banyak studi yang dilakukan berkaitan dengan generasi milenial. Mereka yang lahir di tahun 1980-an dan 1990-an lah yang disebut-sebut sebagai generasi ini. Namun menurut salah satu pusat penelitian di Amerika Serikat, Pew Research, milenial merupakan golongan manusia yang lahir mulai dari 1996.
Banyak perbincangan mengenai milenial yang dianggap lebih unik dari generasi sebelumnya. Mereka terlahir saat teknologi berkembang pesat yang secara otomatis membuat generasi ini lebih tanggap teknologi.
Milenial akan menjadi pekerja di masa saat ini juga masa mendatang. Merekalah yang memiliki peluang besar untuk mengembangkan sebuah negara melalui teknologi. Hal tersebut yang membuat kemunculan generasi milenial terasa penting bagi kehidupan umat manusia.
Loyalitas Milenial pada Perusahaan
Teknologi yang semakin maju seiring berkembangnya zaman, membuat banyak perusahaan membutuhkan pekerja yang mampu tanggap menghadapinya. Sebuah perusahaan mau tidak mau harus bersaing di zaman ini salah satunya melalui teknologi. Mereka yang tanggap teknologi tidak lain adalah orang-orang generasi milenial. Namun ternyata banyak pendapat yang meragukan keloyalitasan milenial terhadap perusahaan.
Sebuah lembaga penelitian Amerika Serikat, Gallup, membuat laporan yang menunjukkan jika milenial cepat bosan dibanding generasi lainnya. Sebanyak 55% milenial tidak sepenuhnya berkontribusi dengan perusahaan.
Sebagai contohnya Charles Du yang menjabat manajer produk di Los Angeles, Amerika Serikat, telah meninggalkan pekerjaannya dengan alasan bosan. Du memutuskan untuk keluar dari posisinya sebagai manajer produk dan lebih memilih berkeliling dunia.
Du bergabung dengan sebuah komunitas bernama “Remote Years” yang berlokasi di Chili. Komunitas itu membantu orang-orang agar lebih produktif selama melakukan perjalanan. Kini Du hidup nomanden namun tetap produktif. Ia bekerja dimana pun petualangan membawanya. Penawaran pembinaan karier ia lakukan melalui video online dan mengandalkan sosial media untuk mengatur jadwalnya bertemu klien.
Ternyata bukan alasan bosan saja yang membuat milenial mudah meninggalkan perusahaan. Deloitte melakukan survey bahwa 39% pegawai milenial menyatakan jika mereka membutuhkan kesempatan untuk mengembangkan keahlian memimpin. Sebab ketika seseorang memiliki keahlian tersebut, mereka akan memiliki peluang maju sebagai calon pemimpin perusahaan.
Namun sayangnya banyak milenial yang merasa jika perusahaan tempatnya bekerja tidak memberikan kepercayaan pada mereka. Dari situlah milenial mencari jalan bagaimana mengembangkan potensi dirinya. Pilihan mereka biasanya jatuh untuk mencari perusahaan lain yang lebih baik dari sebelumnya.
Misalnya saja Francisco Román Alarcón, pemain Real Madrid yang mulai merasa jika dirinya tidak diberi kepercayaan di klub. Padahal Isco berhasil membawa kemenangan bersama timnas Spanyol 6-1 atas Argentina. Salah satunya berkat ia diberikan kepercayaan sepenuhnya oleh sang pelatih.
“Saya seperti mendapatkan kepercayaan penuh dari pelatih. Kepercayaan seperti itu tidak saya dapatkan di level klub,” ujar Isco yang dikutip dari Liputan6.
Rasa tidak dipercaya yang diterima Isco bisa saja memungkinkan dirinya untuk pindah dari Real Madrid pada bursa transfer mendatang. Namun kini Isco harus menuntaskan kontraknya dulu bersama Madrid.
Dunia Sepakbola Memiliki Milenial yang Sama Saja
Kemunculan generasi milenial sudah merambah kemana-mana. Kini dunia sepakbola pun telah diisi oleh manusia-manusia milenial. Kehadiran generasi mereka di dunia sepakbola dapat kita lihat salah satunya dari bursa transfer.
Bursa transfer menjadi kesempatan para pemain pindah klub dengan alasan mencari pengalaman baru, mengembangkan bakat, tidak puas dengan gaji, dan sebagainya. Beberapa bahkan rela meninggalkan klub yang telah membesarkan namanya.
Salah satu contoh pemain di generasi milenial adalah Neymar da Silva. Mantan pemain Barcelona kelahiran 1992 ini pindah ke PSG karena beberapa alasan. Padahal Barcelona adalah klub yang telah membesarkan namanya di dunia sepakbola. Selain mengembangkan diri, perihal gaji tentu tidak menutup kemungkinan sebagai salah satu alasan Neymar ke PSG. Apalagi PSG memberikan penawaran menggiurkan dengan gaji mencapai dua kali lipat dari Barcelona.
Selain memiliki ambisi yang kuat untuk berprestasi, para pesepakbola juga mengejar sisi materi sebagai alasannya pindah klub. Tidak ada yang salah dengan alasan seperti itu. Mengapa? Karena kehidupan yang harus mereka lanjutkan bisa saja hanya bergantung pada sepakbola.
Karier seseorang dalam dunia sepakbola terhitung singkat, hanya sekitar 10 hingga 20 tahun. Seorang pesepakbola yang usianya menginjak 30 tahun seringkali tidak lagi diminati. Salah satunya karena keadaan fisik mereka yang mulai melemah.
Tentu berapa banyak materi yang diperoleh akan menjadi pertimbangan para pesepakbola. Menabung pundi-pundi untuk hari tua adalah hal yang sangat penting. Apalagi ketika usia semakin tua, maka usai pula karier mereka di dunia sepakbola.
Para pesepakbola pastinya tidak akan menolak ketika kesempatan baik datang. Bermain bersama klub ternama dengan tawaran menggiurkan sudah pasti memikat hati. Hal seperti ini bisa terjadi pada siapapun, tidak memandang ia milenial ataukah generasi sebelumnya. Tidak menutup kemungkinan juga jika orang-orang beranggapan milenial berloyalitas rendah apabila dilihat dari sisi ini.
One Club Man
Kita tidak bisa menilai semua pemain sepakbola memiliki loyalitas yang rendah terhadap klubnya. Ada banyak pesepakbola yang setia bermain untuk satu klub sampai pensiun sehingga dijuluki ‘One Club Man’. Mereka bukanlah orang-orang yang terlahir sebagai generasi milenial.
Paolo Maldini adalah salah satunya. Maldini yang setia pada AC Milan telah memulai debut pertamanya saat usia 16 tahun. Setahun kemudian pria kelahiran 26 Juni 1968 ini masuk sebagai tim utama. Maldini memulai kariernya sejak tahun 1985 sampai 2009 dengan total 902 penampilan.
Pemain legendaris Manchester United pun masuk dalam jejeran One Club Man. Contohnya Ryan Giggs yang telah melakukan 963 penampilan sejak tahun 1990 sampai 2014. Setelah pensiun, pria kelahiran 29 November 1973 ini menjadi Asisten Pelatih di klub kesayangannya hingga 2016. Lain dengan Neville dari klub yang sama. Ia lebih memilih berhenti ketimbang membela kesebelasan lain.
Pada awalnya bukan sesuatu yang sangat menyulitkan menemui kesetiaan pemain pada klubnya. Beberapa dari mereka bahkan totalitas bermain untuk satu klub dan terus menorehkan prestasi. Sayangnya loyalitas dianggap menurun di kaum milenial. Hal tersebut membuat kita semakin sulit menemukan One Club Man pada generasi ini.
Ini Prioritas Milenial dalam Dunia Kerja
Setiap generasi pasti memiliki kebutuhan yang berbeda untuk dipenuhi. Sama seperti generasi milenial yang memiliki prioritasnya sendiri perihal pekerjaan. Terdapat tiga aspek dalam dunia kerja yang lebih diprioritaskan oleh generasi milenial.
Mereka yang terlahir sebagai generasi milenial sama-sama menginginkan pekerjaan yang mampu menciptakan perasaan nyaman. Selain nyaman, banyak dari milenial yang berharap bisa menyelesaikan pekerjaannya dimana saja. Dapat disimpulkan, bahwa yang pertama adalah milenial menginginkan jam kerja fleksibel dan kenyamanan.
Hal ini didukung survey Deloitte jika 76% generasi milenial ingin lingkungan kerja yang kreatif, inklusif dan mendukung diskusi terbuka. Dapat dimaknai juga jika milenial menginginkan pekerjaan yang tidak terlalu kaku terhadap lingkungan sekitar.
Kedua, milenial membutuhkan kesempatan belajar dan peluang untuk memimpin. Generasi ini akan berkurang loyalitasnya pada perusahaan ketika mereka merasa kurang dipergunakan atau bahkan merasa tidak lagi dibutuhkan. Sebanyak 59% generasi milenial mengatakan jika kesempatan belajar merupakan salah satu faktor terpenting ketika melamar pekerjaan, menurut laporan riset Gallup.
Contohnya adalah Diego Costa, mantan pemain Chelsea, yang mendapat pernyataan melalui pesan singkat jika dirinya tidak lagi dibutuhkan untuk bermain bersama The Blues. Pesan tersebut dikirim oleh Antonio Conte, Manajer Chelsea pada saat itu. Usai kekalahan Chelsea di Final Piala FA 2016/2017 pria kelahiran 7 Oktober 1988 itu tidak diikutsertakan dalam tur pramusim Chelsea. Costa malah diminta untuk berlatih bersama tim cadangan. Akhirnya The Blues menyepakati transfer Costa ke Atletico.
Prioritas yang terakhir adalah apa dampak yang dapat milenial ciptakan untuk diri dan lingkungannya. Mereka tidak hanya bekerja untuk mendapatkan bayaran, namun mereka juga ingin menjadi bagian dari solusi sebuah permasalahan.
Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan jika generasi milenial bukanlah generasi tanggap teknologi yang malas bekerja. Mereka akan memiliki loyalitas yang rendah dikarenakan beberapa faktor.
Faktor tersebut diantaranya seperti minimnya kesempatan milenial untuk mengembangkan diri di dalam perusahaan, gaji yang tidak sesuai ekspetasi, mendapatkan penempatan yang tidak sesuai dengan karier yang ingin ia kembangkan, merasa kurang dibutuhkan dan lainnya.
Hal-hal seperti itulah yang menyebabkan mereka terkesan memiliki loyalitas yang rendah terhadap perusahaan. Padahal sebenarnya mereka sedang berusaha memenuhi apa yang menurutnya dibutuhkan dalam kariernya.