Untuk kesekian kalinya kita diberikan harapan palsu oleh penampilan tim nasional sepakbola Indonesia. Alih-alih mengharapkan prestasi yang bisa dibanggakan, kita justru kembali diberi pemandangan yang menyesakkan. Berharap tim nasional utama mengangkat piala, apa daya kita terpaksa (kembali) mengalihkan pandangan mata dan berharap Timnas U-19 dan U-16 kembali mengangkat piala.
Penulis ingat terakhir kali menangis karena tim nasional adalah ketika sepakan Badrol Bahtiar bergulir pelan yang membuat kita gagal mendapat medali emas Sea Games 2011. Tujuh tahun setelahnya penulis kembali menangis setelah sepakan Husain Abdullah Omar, lagi-lagi di babak adu penalti, menyelesaikan pertandingan.
Tidak adil rasanya melihat timnas dikalahkan seperti apa yang terjadi di Wibawa Mukti, Jumat kemarin. Dua penalti yang kapasitasnya diragukan, kepemimpinan wasit yang mengherankan, serta aksi pemain-pemain Uni Emirat Arab membuat diri ini rasanya sulit menerima hasil tersebut. Akan tetapi, sepakbola terkadang bersikap tidak adil kepada penggemarnya.
Ketidak adilan pula yang kini sedang menghinggapi diri Luis Milla. Ia begitu sedih selepas pertandingan tersebut. Dilansir dari Instagram Bima Sakti, Milla menangis di ruang ganti. Kekalahan di ajang Asian Games tidak sebanding dengan kekalahan di turnamen sekelas Liga Champions.
“Tetap semangat Coach Luis, ada hal yang mengharukan di ruang ganti pemain tadi malam. Beliau berkata: Saya sedih sekali……umur saya sudah 52 tahun dan banyak kenangan di sepakbola, sedih waktu gak juara La Liga, sedih gak juara waktu main dua kali di final Liga Champions. Tapi beliau mengungkapkan, sedihnya tidak seperti mala mini…lalu beliau menangis….terima kasih Coach Luis Milla atas dedikasi perjuangan dan kecintaanmu buat Indonesia,” tulis Bima.
Wajar Milla menangis. Kekalahan ini membuat dirinya gagal mengemban target yang ditetapkan PSSI ketika pertama kali mengontraknya yaitu masuk empat besar Asian Games. Ketua umum PSSI, Edy Rahmayadi, pernah mengatakan kalau Milla akan dipecat jika gagal menunaikan tugasnya di Asian Games kali ini.
“Kita lihat setelah Asian Games. Bagaimana kinerjanya, setelah itu kita adakan evaluasi menyeluruh. Kalau Milla harus dipecat maka kami akan lakukan seleksi termasuk dari Liga 1 baik untuk pelatih ataupun pemain untuk piala AFF. Dalam waktu dekat akan ada jawabannya,” tutur Edy sebulan lalu.
Jika berkaca dari target yang dibebankan federasi maka bukan tidak mungkin Milla akan ditendang dari jabatannya. Setidaknya sudah dua kali Milla gagal memenuhi target yang diminta oleh PSSI. Tetapi jika melihat kiprahnya dalam 18 bulan menangani tim nasional, maka PSSI sebaiknya mempertimbangkan kembali keputusan untuk mendepak Milla setidaknya hingga Piala AFF 2018 mendatang.
Sudah lama rasanya tidak melihat permainan Indonesia yang bermain begitu bertenaga dan tampil menjanjikan selama 90 menit atau bahkan 120 menit. Sebelum Luis Milla datang, permainan Indonesia selalu didominasi dengan permainan bola-bola panjang dan lebih mengutamakan serangan balik.
Milla kemudian mengubah hal tersebut. Indonesia disulap menjadi kesebelasan yang berani memainkan bola dari kaki ke kaki. Mereka juga mulai berani untuk mengambil inisiatif dalam membangun serangan dan menguasai pertandingan sesuai dengan filosofi sepakbola Indonesia atau yang akrab disebut FILANESIA.
Laga melawan Uni Emirat Arab kemarin bisa dijadikan contoh bagaimana Milla berhasil mengembangkan permainan sepakbola Indonesia. Negara-negara Asia Barat yang kerap begitu mudah mengalahkan Indonesia justru kerepotan ketika menghadapi Evan Dimas dan rekan.
Milla juga yang membuat Indonesia selalu memiliki rencana cadangan jika skema awal mengalami kebuntuan. Dua gol yang didapat di laga UEA berawal dari build up permainan yang dibangun oleh Septian David Maulana dan Saddil Ramdani, dua pemain yang dimasukkan Milla untuk mengejar ketertinggalan.
Tidak adil rasanya menilai Luis Milla hanya dari pencapaian di Asian Games mengingat ia datang saat sepakbola negeri ini sedang bermasalah. Di awal kedatangannya, Indonesia baru saja lepas dari hukuman pembekuan yang didapat dua tahun sebelumnya. Saat melatih pun, ia jarang mendapat lawan-lawan uji coba yang bisa menaikkan kualitas para pemainnya. Belum lagi bertemu kendala non teknis seperti krisis striker mumpuni dan jadwal uji coba yang kerap bentrok dengan pertandingan liga.
Kontrak Milla bisa dibilang sangat pendek. Tetapi ia sudah dibebankan target yang begitu tinggi. Mengharapkan empat besar Asia tapi medali emas sepakbola Sea Games pun tidak bisa diraih hampir 30 tahun lamanya.
Beberapa pemain merasa kalau mereka sudah nyaman dilatih oleh mantan pelatih Spanyol U21 tersebut. David Maulana, Evan Dimas, Beto, hingga Lilipaly pun masih berharap sosok Milla dipertahankan. Beberapa legenda sepakbola macam Kurniawan Dwi Yulianto dan Firman Utina pun merasa kalau ia layak dipertahankan. Firman, dengan berani menyebut kalau Milla layak dikontrak 10 tahun alih-alih dua tahun seperti kontrak awalnya.
Tidak hanya dari kalangan pesepakbola. Para penonton awam pun ramai-ramai berharapa Milla terus dipertahankan. Akan tetapi, keputusan kembali ada di tangan yang mulia Edy Rahmayadi. Apakah ia tetap menuruti egonya atau mendengarkan saran para pecinta sepakbola nasional untuk mempertahankan Milla. Seandainya Milla dipertahankan, bukan tidak mungkin Indonesia bisa kembali berjaya.