Pada awal musim 2018, semua tampak serba indah bagi Persija Jakarta. Gelar Piala Presiden, serta munculnya nama Marko Simic, membuat Persija melayang ke awang-awang. Namun, memasuki ajang Go-Jek Liga 1 2018, kesulitan demi kesulitan mulai mendatangi Persija.
Meraih titel sebagai juara Piala Presiden 2018, Persija memasuki musim Liga 1 2018 dengan semangat yang cukup tinggi. Berbekal transfer-transfer pemain baru, serta persiapan dalam menghadapi ajang AFC Cup, mereka optimis dapat meraih hasil gemilang pada musim 2018, setelah sukses mengakhiri gelaran Liga 1 2017 di peringkat empat klasemen akhir.
Dalam lima laga awal Liga 1 2018, Persija menunjukkan kekuatannya. Total dari lima laga, tim berjuluk ‘Macan Kemayoran’ itu sukses mencatatkan tiga kali kemenangan, sekali hasil imbang, dan satu kali kekalahan. Total 10 poin berhasil mereka dapat, dan membuat mereka sempat bersaing dengan tim-tim papan atas Liga 1 yang lain semisal Persipura Jayapura, PSM Makassar, maupun Madura United.
Pun dengan kiprah mereka di ajang AFC Cup. Satu grup dengan tim-tim kuat macam Johor Darul Ta’zim, Song Lam Nghe An, serta Tampines Rovers, Persija mampu bersaing dengan ciamik. Bahkan, mereka sukses lolos ke babak semifinal zona ASEAN sebagai juara grup, mengalahkan Johor Darul Ta’zim yang notabene pernah menjadi juara AFC Cup pada 2015 silam.
Namun, kegemilangan Persija mulai pudar. Sejalan dengan dua laga mereka melawan Perseru Serui dan Persib Bandung yang diundur, Persija seolah mengalami penurunan performa. Dalam dua laga terakhir di Liga 1 2018, mereka kalah oleh Madura United dan Persela Lamongan. Di babak semifinal zona ASEAN, mereka luluh lantak di tangan Home United dengan total agregat 3-6.
Hasil buruk yang datang silih berganti ini menunjukkan bahwa ada kesulitan-kesulitan yang hadir dalam tubuh Persija. Kesulitan demi kesulitan inilah yang membuat Persija, yang sempat perkasa di awal musim, menjadi melempem dalam beberapa laga terakhir.
Ketajaman Marko Simic yang Sirna
Simic sebenarnya tidak tumpul-tumpul amat. Jika menjumlahkan semua gol yang sudah dia cetak sejauh ini, total penyerang asal Kroasia itu sudah menorehkan 12 gol dari 14 penampilannya untuk Persija di semua kompetisi. Namun, jika dibedah lebih jauh, khusus di ajang Liga 1, Simic hanya mencatatkan 3 gol dari 7 penampilan.
Tumpulnya seorang Simic ini sebenarnya sudah bisa dilihat ketika Persija dikalahkan oleh PSMS Medan dalam laga pekan ketiga Liga 1 2018. Pada pertandingan tersebut, Simic sama sekali sulit lepas dari kawalan fisikal Roni Fatahilah. Meski mampu memenangi duel udara melawan Roni, Simic kerap kalah ketika harus menghadapi Roni satu lawan satu.
Alhasil, model penjagaan fisikal kepada Simic ini diterapkan juga oleh tim-tim lain yang menghadapi Persija. Hasilnya, Simic begitu tumpul di ajang Liga 1 2018, dan hanya mampu menjadi penarik perhatian bek-bek lawan dalam beberapa laga, seperti ketika Persija mengalahkan Borneo FC pada pekan keempat.
Selain penjagaan fisikal yang dilakukan oleh bek-bek lawan, aliran bola yang mengarah ke Simic dan pengacauan posisi Simic juga membuat penyerang berusia 30 tahun tersebut kesulitan mencetak gol. Kerap dalam beberapa situasi, Simic justru berada di luar kotak penalti karena kesulitan mendapatkan bola. Dia malah menjadi pembagi bola di area sepertiga akhir, tugas yang seharusnya dilakukan oleh pemain lain semisal Rohit Chand maupun Ramdani Lestaluhu.
Aliran bola yang mengarah ke Simic juga menjadi sesuatu yang benar-benar diwaspadai lawan. Sadar bahwa Simic memiliki kemampuan duel udara yang apik, lawan kerap berusaha keras memotong umpan-umpan sllang dari sayap maupun suplai bola untuk Simic dari lini tengah. Hal inilah yang membuat Simic acap jarang menyentuh bola di lini pertahanan lawan.
Jarangnya Simic menyentuh bola ini, membuat dirinya sulit mencetak gol. Ketika Simic sulit mencetak gol, maka hal itu menjadi kesulitan bagi Persija
Gaya Permainan yang Mulai Terbaca
Bukan hanya tentang masalah Simic saja. Kesulitan Persija lebih luas dari itu. Tumpulnya Simic ini bisa dilihat juga sebagai hasil dari gaya permainan Persija yang mulai terbaca oleh lawan. Gaya Persija yang begitu eksplosif itu, mulai bisa dinetralisir oleh lawan.
Musim lalu, di tangan Stefano “Teco” Cugurra, Persija menjadi tim dengan pertahanan terkuat di Liga 1. Dari 34 laga, Persija hanya kebobolan 24 gol. Jumlah kebobolan ini bahkan lebih sedikit dibandingkan dengan Bhayangkara FC yang menjadi juara di akhir musim.
Pertahanan kuat inilah yang menjadi dasar dari permainan Persija musim lalu. Meski mereka hanya mencetak 46 gol, dengan pertahanan yang kuat, mereka mampu bersaing dengan tim-tim papan atas Liga 1 yang lain saat itu, macam Bhayangkara FC, Bali United, dan juga PSM Makassar. Pertahanan kuat ini juga yang membawa mereka mengakhiri musim di peringkat keempat.
Namun, pertahanan kuat ini tidak lagi terlihat pada musim 2018. Sejauh ini, dari tujuh laga yang sudah mereka jalani, Persija sudah kebobolan 9 gol. Hal ini menjadi sinyal buruk, apalagi mengingat musim lalu Persija dikenal sebagai tim dengan pertahanan yang sangat rapat. Pada musim ini, dalam beberapa laga, tampak pertahanan Persija dengan mudah diterobos oleh pemain lawan.
Selain masalah pertahanan, masalah Persija juga tampak dari cara mereka menyerang. Masih berlandaskan formasi dasar 4-4-2, yang kadang dimodifikasi menjadi 4-3-3, Persija menitikberatkan serangan mereka pada pergerakan-pergerakan dari para pemain sayap. Riko Simanjuntak menjadi pemain yang cukup menonjol pada musim 2018 ini. Sudah 12 asis dia torehkan dari 15 laga yang dia jalani bersama Persija di semua kompetisi.
Saking bergantungnya kepada sosok Riko, maka ketika Riko berhasil dimatikan lawan, Persija kerap kelimpungan. Sisi kiri yang seharusnya menyeimbangkan permainan (Riko kerap menghuni sisi kanan) malah menjadi kerepotan mengimbangi permainan Riko. Ketika Riko mati, sisi kiri yang kerap dihuni Novri Setiawan maupun Addison Alves justru mati.
Matinya dua sayap inilah yang acap membuat Persija kelimpungan musim ini. Masalah semakin tampak ketika Persija tidak memiliki pemain yang bisa muncul dari lini kedua serta pemain yang bisa menjalankan peran sebagai “playmaker”. Sandi Sute maupun Rohit tidak mampu menjalankan peran “playmaker” ini, sehingga ketika sayap mati, Persija tidak bisa berbuat apa-apa.
Efeknya pun tidak main-main. Permainan menjadi mati, dan “pressing” yang diterapkan Teco acap menjadi buyar. Hal ini berujung kepada ruang-ruang di lini pertahanan yang dapat dimanfaatkan oleh lawan-lawan Persija.
Kesimpulan
Musim masih panjang. Kekalahan di ajang AFC Cup bisa menjadi pelajaran bahwa masih ada kekurangan di tubuh Persija yang harus segera dibenahi Teco. Kekurangan ini bisa disiasati dengan persediaan strategi cadangan lain ketika strategi utama Persija sukses dimatikan lawan. Teco sebagai pelatih tentu paham akan hal ini.
Jika tidak segera berbenah dan memperbaiki penampilan, bukan tidak mungkin Persija akan sulit mengulangi prestasi musim lalu. Malah, mereka bisa saja terdampar di papan tengah ke bawah, seperti yang mereka alami pada ajang Indonesia Soccer Championship 2016 silam.