Kalau ada pertanyaan “Siapa klub Premier League yang memiliki ‘cita rasa’ Italia?” semua orang agaknya setuju kalau Chelsea adalah jawabannya. Mengapa demikian? Alasannya sederhana.
Reputasi ini terbangun dari kegemaran mereka menunjuk manajer atau pelatih kepala asal Italia sejak akhir 90-an di mana pada saat yang bersamaan, reputasi liga Italia sedang tinggi-tingginya. Anggapan ini tampaknya akan terus berlanjut mengingat mereka resmi menunjuk pelatih asal Italia untuk keenam kalinya sepanjang sejarah klub, kali ini Maurizio Sarri.
Gianluca Vialli di Chelsea
Mari sejenak menarik jauh ke belakang. Hubungan mesra klub London Barat dengan pelatih kepala asal Negeri Pizza bermula ketika seorang Gianluca Vialli menjadi manajer pada musim 1998. Vialli sebenarnya berperan sebagai player-manager usai pemecatan Ruud Gullit dan menjadikannya manajer Italia pertama yang berkiprah di Premier League.
Di bawah nakhoda Gullit, Vialli yang juga termasuk seangkatan dengannya, menjadi pemain yang sering berseteru dengan sang pelatih. Namun akhirnya eks pemain Sampdoria tersebut ditunjuk sebagai peran ganda.
Prestasi Vialli cukup mentereng di Chelsea, yakni menjadi manajer termuda yang memenangi Winners Cup pada usia 33 tahun. Chelsea pun dibawanya mencapai posisi 3 besar selama kepemimpinannya. Sayangnya, Vialli dipecat akibat start di liga yang buruk dan berselisih dengan pemain senior kala itu seperti Gianfranco Zola dan Didier Deschamps. Vialli berkiprah sejak Februari 1998 hingga September 2000.
Claudio Ranieri hingga Carlo Ancelotti
Seakan terpukau dengan prestasi manajer sebelumnya, Chelsea kembali menunjuk pelatih asal Italia yakni Claudio Ranieri. Padahal saat itu ia baru saja mengundurkan diri dari posisinya di Atletico Madrid karena meraih hasil yang buruk. Namun pertimbangan Ranieri pernah membawa Valencia sebelumnya meraih posisi empat besar La Liga, trofi Copa del Rey, serta piala Intertoto selama dua musim di Mestalla membuat sang pemilik, Ken Bates, memutuskan mengontrak Ranieri.
Lantas mereka mencicipi jasa manajer yang ‘high profile’ seperti Jose Mourinho yang sebelumnya memenangi Liga Champions bersama Porto, seiring berpindahnya kepemilikan ke tangan taipan Rusia, Roman Abramovich. Pun dengan Luiz Felipe Scolari yang sempat mereka cicipi jasanya usai meraih trofi Piala Dunia bersama Brasil.
Usai kegagalan Felipao, Chelsea akhirnya menjalin kerjasama dengan Italianmen. Kali ini mereka memasang target dan kualifikasi pelatih yang tinggi. Don Carletto atau Carlo Ancelotti yang berhasil membawa AC Milan “merajai” dunia kala itu dengan 8 trofi, termasuk yang paling fenomenal adalah menjuarai Liga Champions sebanyak 2 kali dalam kurun waktu 4 musim saja.
Bersama Don Carlo, prestasi Chelsea sebenarnya bisa dibilang lumayan. Tapi sang pemilik rupanya berkata lain. Limpahan poundsterling yang sudah dikeluarkannya dirasa tidak seimbang dengan hanya meraih titel kampiun Liga Inggris, Piala FA, dan Community Shield. Ditengarai selain kegagalan total Chelsea di Liga Champions, Ancelotti juga gagal ‘memoles’ rekrutan kesayangan Roman Abramovich kala itu, Fernando Torres yang bernilai 50 juta paun. Ancelotti akhirnya harus pergi dari Stamford Bridge walau meraih gelar treble domestiknya kala itu.
Bermasalah dengan Bahasa
Kendala bahasa tentu saja menjadi persoalan pokok penunjukkan manajer asing. Ini juga yang terjadi dengan Chelsea beserta pelatih-pelatih Italianya. Claudio Ranieri sempat mengalami kendala tersebut saat menukangi Chelsea. Dirinya mengakui kalau permasalahan bahasa ini memperlambat perkembangan tim.
Kendala tersebut untungnya masih bisa ditanggulangi dengan banyaknya pemain Chelsea yanng berbahasa Italia dan Spanyol. Ia pun sering berteria-teriak dengan bahasa Italia di pinggir lapangan ketika bertanding dan banyak pemain yang tak mengerti instruksinya. Hal yang sama pun dialami Ancelotti yang sempat bermasalah dengan bahasa, meski pencapaian keduanya seakan berbanding terbalik.
Penunjukkan Antonio Conte sebagai manajer mereka dua musim silam pun juga mendapat kendala bahasa. Dalam satu sesi interview, Gary Cahill mengungkapkan dirinya seringkali kebingungan dengan bahasa Inggris yang buruk dari sang bos.
Memang selain gemar menunjuk pelatih asal Italia, Chelsea termasuk klub Liga Inggris yang juga gemar mengontrak pemain Italia. Kala itu merekrut pemain asal Italia memang salah satu hal yang belum lazim di Inggris, mengingat gaya bermain dan kultur sepakbola kedua negara yang jauh berbeda.
Untuk hal ini, Chelsea agaknya harus berterima kasih kepada sosok Gianfranco Zola yang membuat publik jatuh cinta dan memandang berbeda orang italia. Begitu pula dengan Vialli, dan Di Matteo. Musim ini, si fenomenal Gianfranco Zola akan kembali ke Stamford Bridge sebagai asisten manajer, mendampingi Sarri. Zola pun agaknya bisa meminimalisir kendala bahasa yang akan diemui Sarri.
Musim depan agaknya pemain-pemain mereka yang berdarah Italia seperti Jorginho, Emerson Palmieri, serta Davide Zappacosta, akan mendapat jatah bermain yang banyak karenanya.
Pelatih Italia = jaminan prestasi?
Menarik untuk dicermati bahwa alasan yang mungkin paling masuk akal bagi Chelsea rajin mengunakan jasa pelatih kepala asal Italia yaitu jaminan meraih trofi. Dari lima pelatih sebelumnya, empat di antaranya mempersembahkan trofi bagi Chelsea kecuali Claudio Ranieri.
Total trofi yang diraih keempat pelatih Italia ini mencapai 12 trofi. 2 gelar Premier League, 4 gelar Piala FA, 1 piala Winners, 1 Piala Super UEFA, 2 FA Community Shield, 1 Piala Liga, dan 1 Liga Champions Eropa. Sebuah raihan yang berbeda, di mana sebelum era pelatih Italia, Chelsea hanyalah sebuah klub dengan raihan 1 kali juara First Division di tahun 1955, 2 kali juara Piala FA (1970 dan 1 lainnya di era Gullit) serta 1 Piala Winners di tahun 1971. Singkatnya, Chelsea harus berterimakasih kepada manajer-manajer Italia mereka yang berjasa mengangkat reputasi mereka sebagai salah satu klub tersukses di Inggris.
Bahkan untuk sekelas caretaker manager pun Chelsea meraih trofi Liga Champions untuk kali pertama oleh Roberto Di Matteo. Begitu pula dengan manajer mereka musim lalu, Antonio Conte. Conte dengan “mudah” menjuarai Premier League di musim pertamanya bersama Chelsea. Penurunan performanya sebagai sophomore di Inggris juga banyak disebut akibat ketidakcocokan Conte dengan kebijakan transfer yang diterapkan sang pemilik, Roman Abramovich.
Penunjukkan Sarri merupakan perjudian bagi Chelsea, mengingat pelatih yang dahulunya merupakan mantan pegawai bank ini belum pernah mengantarkan klub yang ia tangani menjadi juara. Kendala bahasa pun sepertinya akan terjadi, meski akan diminimalisir oleh peran Zola. Menarik juga untuk dinantikan apakah filosofi dan etos kerja yang Sarri bawa ke daratan Inggris akan bisa berhasil diterapkan disana. Patut ditunggu juga apakah sosok pelatih yang terkenal perokok berat ini akan meraih trofi pertamanya selama melatih klub profesional.
Tapi sepertinya berbagai faktor yang menjadikan keraguan diatas tak menjadi soal kalau cerita indah diantara Chelsea dan para manajer Italia sudah terjalin sejak lama, dan mereka memiliki ‘hutang budi’ kepada manajer-manajer Italia. Performa Sarri di musim ini akan menjawab apakah romansa ini akan berlanjut di masa depan.