Melawan Kemustahilan ala AS Roma

Tidak ada yang mustahil di sepakbola. Pernyataan itu dengan tegas terbukti di fase gugur Liga Champions. Fase gugur amat bergantung kepada keunggulan agregat serta gol tandang maupun kandang agar lolos ke babak berikutnya.

Terkadang, ketinggalan agregat begitu besar karena pertemuan pertama membuat beberapa kesebelasan pasrah. Tapi asumsi itu pernah tidak berlaku untuk Deportivo La Coruna dan Barcelona. Deportivo berhasil membalikan agregat menjadi 5-4 setelah dikalahkan Milan dengan skor 1-4 di San Siro pada Liga Champions 2003/2004.

Masih lebih hangat lagi adalah Barcelona. Mereka membalikan agregat menjadi 6-5 atas Paris Saint-Germain (PSG) pada Liga Champions musim lalu. Padahal, Barcelona sudah takluk dengan skor 4-0 pada pertemuan pertama.

Tapi Barcelona langsung menghadapi bayangannya sendiri yang terjadi musim lalu itu pada Liga Champions 2017/2018 ini. Banyak yang berbicara bahwa Barcelona akan auto win ketika ditakdirkan berhadapan dengan AS Roma pada fase perempat final.

Anggapan itu masih terjaga ketika Barcelona berhasil menghempaskan Roma yang bertamu ke Stadion Camp Nou dengan skor 4-1 pada pertemuan pertama. Maka bukan tanpa alasan jika Barcelona jauh diunggulkan untuk lolos ke semifinal yang akan digelar pada 24 April mendatang.

Rupanya publik dan Barcelona tidak bisa berpikir semudah itu. Apa yang diraih dari Camp Nou telah raib ketika bertandang ke Stadion Olimpico pada leg kedua. Di kandang Roma itulah keunggulan tuan rumah diciptakan Edin Dzeko ketika laga baru berjalan enam menit.

Tegang di Olimpico

Roma pun memperbesar harapannya ketika Daniele De Rossi menggadakan keunggulan melalui ekseksusi penalti pada menit 58′. Suasana Stadion Olimpico semakin pecah ketika sundulan Kostas Manolas bersarang di pojokan kanan gawang Barcelona pada menit 82′.

Gol Manolas menjadi penentu kemenangan Roma pada laga tersebut. Bek asal Yunani itu merayakan golnya dengan penuh emosional dan genangan air mata yang ditahannya. Toh sebabnya pun jelas bahwa golnyalah yang membuat Roma menyamakan agregat menjadi 4-4 sehingga berhak lolos ke semifinal.

Meskipun agregat sama, Roma lebih berhak lolos karena unggul gol tandang yang dicetak Dzeko pada pertemuan pertama. Maka dipastikan bahwa Roma lolos dengan mengkandaskan salah satu kesebelasan terkuat di dunia dengan sejarah prestasi mentereng.

“Saya tidak tertarik dengan sejarah. Saya lebih tertarik berada di semifinal Lgia Champions setelah mengalahkan tim terbaik di dunia,” tegas Manolas seperti dikutip dari Forza Italian Football.

Malam Gladiator Ibu Kota Italia

Sebetulnya, Roma sudah memberikan kejutan sejak pertandingan dimulai melalui formasi yang diturunkan pelatihnya, Eusebio Di Francesco. Dia menerapkan formasi yang tidak biasa digunakan Roma pada laga-laga sebelumnya, yaitu 4-3-3. Tapi kali ini Di Francesco mencoba menghadang Barcelona dengan formasi 3-4-1-2.

Formasi itu membuat jarak antara bek dengan gelandang lebih rapat. Dua gelandang sentral Roma saat itu, Daniele De Rossi dan Kevin Strootman membantu beknya untuk meredam serangan Barcelona. De Rossi meringankan tugas beknya dengan mengawal Messi, sementara Strootman menutupi celah-celah yang bisa disusupi aliran bola Barcelona.

Artinya, Di Francesco seolah menginginkan Roma membuat pertahanan lapis baja dengan tekanan yang tinggi diselingi umpan panjang. Sementara aliran bola dari tengah ke depan dibuat semaksimal mungkin oleh Radja Nainggolan dan Patrick Schick guna mendukung Dzeko sebagai ujung tombak.

Hanya Alessandro Florenzi dan Alesksandar Kolarov yang memiliki jarak lebih panjang pada laga ini untuk menyisir sayap. Mereka berhasil membuat kedua full-back Barcelona nampak seperti amatiran. Hasilnya, Barcelona dibuat kelelahan dan kehilangan ketajamannya yang terkenal itu. Baik Andres Iniesta, Lionel Messi, Luis Suarez dan lainnya, kesulitan mendapatkan peluang.

Ketika Juventus kewalahan oleh teknik individu Ronaldo, Roma justru mampu membangun benteng mereka sendiri atas fondasi kerja sama, keberanian dan semangat yang luar biasa. Padahal tidak ada yang mengira bahwa pertaruhan formasi Di Francesco ini akan bekerja dengan baik. Apalagi dengan kesesuaian skuat yang ada saat ini, sungguh tidak masuk akal.

Apalagi Di Francesco tidak pernah menunjukan kecemerlangan taktis yang luar biasa sejauh musim ini. Tapi kemenangan berhasil didapatkannya dengan cara luar biasa. Stadion Olimpico yang disesaki sekitar 57.000 penonton itu bergemuruh. Dukungan kuat dari tribun memang menjadi kekuatan yang diperhitungkan Roma pada saat itu.

“Tentu saja kami harus percaya menuju final. Mengapa kami tidak percaya? Kami bisa sampai sejauh ini dan tidak ada yang mengira kami akan melakukannya. Jadi tentu saja kami harus terus maju dan mencari sesuatu yang lebih, menaikan standar di setiap waktunya,” ujar Di Francesco seperti dikutip dari Football Italia.

Malam Sempurna Para Gladiator

Liga Champions memang sulit dipredikisi. Seperti pertandingan ini yang menjadi malam para gladiator Roma. Di mana setiap individu melahirkan pertunjukan yang sempurna secara taktis maupun psikologis. Juga menunjukan bahwa hasil luar biasa dapat dicapai meskipun daya beli yang jauh labih rendah dibandingkan lawannya.

Maka jadilah malam kesenangan bagi publik sepakbola ibu kota Italia. Setelah melewati masa-masa buruk dari beberapa pertandingan terakhir. Sebuah kemenangan penting yang jarang disaksikan sebelumnya. Chelsea dan Atletico sudah lebih dahulu dihempaskan. Sekarang giliran Barcelona.

Bukan mustahil jika Piala Liga Champions datang ke Kota Roma pada musim ini. Di tempat para legenda Italia dilahirkan atau singgah. Laga itu menunjukan bahwa De Rossi dkk., seperti prajurit Roma yang mempertaruhkan segalanya untuk mendapatkan kemenangan. Keberanian yang patut dipuji. Mempertaruhkan segalanya atau tidak sama sekali.