Memupus Kuota Pemain Asing: Sebuah Konsep Ideal yang Layak Diuji

Foto: Affsuzukicup.com Thananuwat Srirasant/Lagardere Sport.

Beberapa hari lalu, melalu saluran Youtube pribadinya, Justin Lhaksana, mengemukakan pendapatnya terkait penyebab mandegnya prestasi timnas Indonesia, dan juga sepakbola negeri ini secara keseluruhan. Dalam video berdurasi 15 menit tersebut mantan pelatih timnas Futsal ini menyebut bahwa keberadaan pemain asing di kompetisi tertinggi Liga 1 juga menjadi salah satu pangkal masalah.

Dalam video tersebut Justin juga menyampaikan bahwa keberadaan pemain asing terutama di posisi tertentu kemudian membuat mandegnya produksi bakat sepakbola Indonesia di sektor terkait. Misalnya, keberadaan para penyerang dan bek tengah asing kemudian membuat Indonesia kesulitan mendapatkan pemain-pemain yang berkualitas di posisi ini.

Beliau juga menekankan bagaimana Indonesia begitu kekeringan untuk bisa lagi menghasilkan pemain-pemain seperti Boaz Solossa, Rochi Putiray, atau Ricardo Salampessy. Ia juga menambahkan hitung-hitungan sederhana terkait kemungkinan yang terjadi seandainya keberadaan pemain asing tersebut dihilangkan.

Dalam sebagian besar poin yang dinyatakan, saya sangat sepakat dengan beliau. Terutama soal keberadaan pemain asing yang kemudian membuat para pemain lokal dalam situasi yang sulit. Banyak contoh yang terjadi. Yang terbaru tentunya adalah bagaimana di Piala AFF lalu, Indonesia memainkan seorang Beto Goncalves di lini depan. Saya tidak mempermasalahkan kualitas Beto. Tetapi kemudian menjadi pertanyaan, apakah memang tidak ada penyerang lokal yang berkualitas sampai akhirnya mesti memainkan penyerang naturalisasi yang usianya bahkan melewati 35 tahun?

Di level arus bawah pun sebenarnya banyak terjadi fenomena yang merupakan kausalitas dari keberadaan pemain asing ini. Ada cukup banyak pemain di sektor gelandang yang kemudian mesti mengubah posisinya begitu masuk ke tim senior. Karena memang posisi gelandang serang atau playmaker sudah diisi oleh pemain asing.

Hal ini bisa dibuktikan dengan jumlah pemain lokal yang beroperasi sebagai pengatur serangan. Kebanyakan pemain lokal di sektor gelandang lebih banyak bermain dalam fungsi breaker atau gelandang bertahan. Kasus ini terjadi kepada Dedi Kusnandar dan Manu Wanggai. Sejatinya mereka bermain sebagai gelandang serang namun kemudian berubah ke area yang lebih dalam. Atau Fandi Eko Utomo dan Septian David yang kemudian justru bermain di area yang lebih melebar di level senior.

Situasi yang terjadi kepada penyerang lokal pun demikian. Beberapa penyerang muda kemudian terpaksa bermain melebar karena di posisi natural mereka sudah diisi oleh pemain asing. Anda bisa melihat fenomena ini pada diri Yogi Rahadian atau Muchlis Hadi.

Berkaca dari Malaysia

Persoalan soal pemain asing yang kemudian menggerus para pemain lokal ini memang merupakan fenomena nyata, dan semestinya bisa ditangani dengan baik oleh federasi sebagai pemangku kebijakan. Mau tidak mau harus diakui bahwa memang akan ada banyak dampak misalnya Indonesia melakukan kebijakan ekstrem seperti ini. Tetapi ini adalah salah satu opsi yang mesti dicoba mengingat mandegnya prestasi tim nasional yang berhilir kepada pembinaan dan produksi pemain di level klub.

Negara tetangga, Malaysia sebenarnya sempat melakukan kebijakan yang hampir serupa pada awal tahun 2000-an. Meminimalisir keberadaan pemain asing kemudian menghasilkan para pemain generasi Khalid Jamlus hingga Indra Putra Mahayuddin. Pembaca yang budiman, Anda tahu apa yang kemudian membuat Malaysia memutuskan untuk menghentikan regulasi ini?

Ya, kekalahan dari Indonesia di semifinal Piala Tiger 2004. Pertandingan yang masih disebut-sebut sebagai comeback terbaik dalam sejarah sepakbola Asia Tenggara. Kekalahan yang mengubah segalanya. Sebuah ironi memang.

Malaysia kemudian kembali menggunakan pemain asing. Bahkan Bambang Pamungkas dan Elie Aiboy yang saat itu memperkuat Selangor FA adalah generasi awal pemaing asing yang kembali di datangkan ke Malaysia. Negara tersebut melalui klub super kaya, Johor Darul Takzim kemudian mendatangkan pemain asing sekelas Daniel Guiza dan Pablo Aimar. Marquee Player yang kemudian sistem serupa sempat diterapkan di Indonesia.

Permasalahan Lain: Rekrutmen Pemain Asing

Lalu, apakah kebijakan menghilangkan pemain asing menjadi sebuah langkah yang tepat. Belum ada yang tahu terkait hal ini. Yang pasti konsep atau kebijakan ini mesti dicoba. Ibaratnya, semacam menguji coba sebuah teori secara praktik di lapangan.

Karena kebijakan seperti ini akan menjadi semacam pisau bermata dua. Seandainya diterapkan, klub-klub boleh jadi akan berlomba untuk melakukan naturalisasi terhadap pemain asing atau pemain keturunan untuk mengisi kekosongan kualitas yang ditinggalkan seandainya penghilangan kuota pemain asing jadi diberlakukan. Untuk hal ini, federasi dan operator kompetisi mesti dengan cermat membuat regulasi. Meskipun ya, ada kemungkinan seperti biasa, mereka tidak konsekuen dengan aturan yang dibuat.

Lagi, dalam video yang rilis beberapa hari lalu. Coach Justin juga mengungkapkan bagaimana banyak pemain asing yang tidak memberikan manfaat untuk sepakbola Indonesia. Di sini lah poin yang saya teramat setuju. Bahkan ketimbang banyak poin lain yang beliau ungkapkan di video tersebut, yang justru menjadi sangat akut adalah soal rekrutmen pemain asing yang dilakukan oleh klub.

Publik bisa menilai bahwa dari 18 tim kontestan Liga 1, tidak semua memiliki kualitas seperti David da Silva, Wiljan Pluim, Jonathan Bauman, atau Marko Simic. Cukup banyak di antaranya justru memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda ketimbang para pemain lokal. Padahal yang dicari dari pemain asing adalah soal jenjang kualitas yang berbeda.

Di Liga 1 musim ini, ada sekitar hampir dua lusin pemain asing yang dilepas oleh klub peserta karena persoalan kualitas. Para pemain ini kebanyakan dilepas selepas putaran pertama kompetisi. Adapun pemain yang bernasib lebih buruk lagi, dilepas bahkan ketika kompetisi reguler belum dimulai.

Terkait persoalan ini, saya berbicara dengan Steve Darby. Pelatih berkebangsaan Inggris yang sempat menangani timnas Thailand U-23 dan juga timnas Laos. Di level klub, Darby pernah menangani Home United dan Johor FA.

“Persoalan klub Asia ketika merekrut pemain Asing adalah soal kualitas. Saya sendiri memiliki strong view terhadap pemain asing yang bermain di benua ini. Saya pikir apabila mereka tidak memiliki kualitas yang lebih ketimbang para pemain lokal, juga tidak mengundang penonton, rasanya untuk apa?”

“Persoalan keuangan juga menjadi masalah lain. Terkadang klub juga agak kesulitan untuk mendatangkan pemain asing karena keuangan mereka. Misalnya, tahun 2004 ketika saya menangani Home United. Saat itu saya ingin mendatangkan Ponaryo Astaman. Tetapi Home memiliki Salary Cap, sehingga hal tersebut sulit dilakukan.”

“Menurut saya, rasanya akan buang-buang uang dan waktu untuk negara seperti Laos dan Kamboja untuk memiliki pemain asing. Karena keuangan mereka hanya sanggup mendatangkan para pemain asing berkualitas rendah.”

Anda tentu sering juga melihat para pemain asing yang kualitasnya terlihat mengerikan. Yang membuat Anda bertanya-tanya bagaimana pemain seperti itu kemudian bisa direkrut oleh klub. Ada banyak jawaban terkait hal ini, salah satunya adalah desakan karena mayoritas klub lain menggunakan pemain asing.

Salah satu mantan pelatih klub kompetisi teratas sepak bola Indonesia, yang enggan disebutkan namanya, berbicara kepada saya soal rekrutmen pemain asing. Ia berujar bahwa hal tersebut kadang sifatnya survival. Direkrut karena mesti bersaing dengan klub lain yang juga menggunakan pemain asing.

“Mungkin karena soal scout kami terbatas. Sehingga tidak banyak pengetahuan yang kami punya. Terlebih, misalnya dengan skuat yang isinya 100% pemain lokal tentu akan sulit bersaing dengan tim yang memiliki setidaknya tiga sampai empat pemain asing.”

“Juga soal keakuratan yang diberikan para agen. Mereka ini kan ibaratnya jualan. Bagaimana cara agar pemain mereka bisa laku. Ada agen yang memang berkerja dengan baik, dan memberikan data yang akurat terkait pemain mereka. Tetapi ada juga yang bodong. Mereka menjual pemain yang bahkan hampir tidak bermain satu musim atau kualitas sebenarnya tidak sesuai dengan yang ditunjukan di video.”

***

Apa yang diungkapkan coach Justin adalah sesuatu yang layak diuji. Apakah kemudian dengan regulasi soal pemain asing ini justru semakin meningkatkan produksi pemain-pemain berkualitas di negeri ini, atau ternyata sama saja. Tidak ada perubahan yang signifikan.

Kasus Beto Goncalves di Asian Games dan Piala AFF sebenarnya mesti menjadi fenomena yang membukakan mata. Bagaimana memang rasanya sudah lama kita tidak memiliki pemain seperti Rochi Putiray, Ricardo Salampessy, Boaz Solossa, dan Firman Utina.

Terakhir, untuk coach Justin, apabila Anda membaca artikel ini, Terima Kasih. Mohon maaf apabila saya merespons melalui tulisan, karena ini alat yang saya rasa pas untuk menjawab terkait persoalan pemain asing.

Maju terus sepakbola Indonesia!