“Logo kok Ayam Sayur di atas bola pantai kenapa ga sekalian bengkoang aja jadiin logo?”
Kira-kira begitu cuitan salah satu pelatih yang kerap menuai kontroversi di media sosial beberapa tahun lalu. Mungkin sebagai pendukung Arsenal, ia kesulitan menemukan bahan celaan lagi bagi tim rival bebuyutannya. Hingga masalah logo cockerel (ayam jantan) milik Spurs jadi sasaran.
Performa Spurs di Premier League beberapa musim ini memang amat mengancam eksistensi kebanggaan pendukung Arsenal yang terus diagungkan selama bertahun-tahun. Maklum, Spurs tak pernah seberbahaya ini. Empat musim kebelakang secara berturut, Spurs selalu finis di atas Arsenal. Terakhir kali Arsenal finis di atas Spurs yaitu pada musim 2015/2016 kala Leicester City menjuarai liga. The Gunners kala itu berhasil menyalip Spurs pada pekan-pekan terakhir kompetisi.
Ditambah, kemenangan Harry Kane dkk., atas Arsenal 2-0 saat posisi mereka sedang berada di puncak klasemen Premier League musim ini menjadi bukti konkret bahwa kekuatan Spurs tak hanya “hangat-hangat tahi ayam.” Skipper Spurs memberikan pernyataan pada pers pasca kemenangan tersebut bahwa mereka ada dalam masa puncak permainan mereka.
Mungkinkah St. Totteringham Day Kembali Dirayakan?
Penulis mencoba memahami bagaimana perasaan fans Arsenal dalam beberapa musim terakhir. Apalagi, saat Tottenham Hotspur nyaris saja melangkahi prestasi mereka di ajang Liga Champions 2017/2018. Saat itu, Spurs takluk oleh sesama tim Inggris, Liverpool pada laga final.
Hal ini tentu sulit diterima. Penulis mencoba mengerti perasaan fans Arsenal. Bagimana bisa, perayaan St. Totteringham Day sudah mereka lewatkan dalam 5 tahun terakhir? Pasti sulit untuk diterima.
Bagi yang belum tahu, “St. Totteringham Day” adalah nama yang diberikan para penggemar Aresenal pada hari dimana secara matematis tidak mungkin bagi Tottenham untuk finis di atas Arsenal di ajang liga. Sebaliknya, fans Spurs terus menantikan perayaan St. Arse Day (ada juga yang merayakannya dengan nama St. Hotspur Day), sebuah perayaan tandingan.
Selama bertahun-tahun (setidaknya sejak kejayaan Arsenal era The Invincible), para pendukung Arsenal bahkan tidak menganggap Spurs sebagai salah satu rival terkuatnya (baca: hanya memelihara tradisi derbi). Arsenal kala itu lebih sering beradu tensi dengan Manchester United atau Chelsea. 13 gelar liga, 14 gelar Piala FA, dan pernah invincible pula. Spurs? Bukan level.
Masuknya Jose Mourinho ke Tottenham Hotspur jelang paruh musim 2019/2020 pernah menyalakan sumbu tawa bagi sebagian fans Arsenal. Mourinho dianggap sebagai simbol sepakbola pragmatis sekaligus “Bapak Parkir Bus Modern”. Tentu saja berbeda dengan Mikel Arteta yang dianggap tiki-taka banget karena sudah berguru dengan Pep Guardiola. Pokoknya harus dilakukan dengan Arsenal Way!
Ya, masuknya Mourinho memang tak pernah menghadirkan antusiasme bahkan bagi pendukung Spurs sendiri. Rekam jejaknya selama 2 musim bersama Manchester United yang sering menang tipis dengan gaya main membosankan, tak menggugah selera fans Spurs yang sebelumnya dibuai permainan cantik ala Mauricio Pochettino.
Seolah menekan tombol restart, baik Spurs dan Arsenal punya peluang sama untuk memulai sebuah era kejayaan. Sempat diberikan harapan tinggi karena undefeated selama 8 laga, kapal “Meriam Jaya” yang dinakhodai Arteta oleng di penghujung musim 2019/2020. Sebaliknya, rentetan hasil negatif pra hingga pasca jeda pandemi dari bis “Bekisar Putih” yang disopiri Jose Mourinho melesat di akhir musim walaupun lahir dari skor-skor tipis.
Jose Mourinho dan Tottenham Hotspur
Mari lebih fokus membahas Spurs dan Mourinho-nya. Entah apa yang merasuki Mourinho. Anggapan bahwa ia akan membuat Spurs menjadi boring team menjadi pupus. Spurs ditempa menjadi salah satu kesebelasan paling membahayakan soal mencetak gol juga peluang di Premier League musim ini. Hingga pekan ke-10, Spurs telah mencetak total 21 gol (terpaut 1 gol dari Chelsea). Urusan membuat peluang, Spurs memiliki rataan 12.8 tembakan per laga. Total 15 dari 21 gol yang diciptakan Spurs lahir dari proses open play (tertinggi di liga). Meskipun secara gaya main, Spurs era Mourinho tak memperagakan permainan indah. Lagipula, bukankah kemenangan terasa lebih indah daripada segalanya?
Sebenarnya apa yang dilakukan Mourinho secara taktikal, sudah bisa diprediksi sejak bursa transfer. Bila Januari 2019 mereka mendatangkan pemain bertipikal menyerang seperti Giovani Lo Celso dan Steven Bergwijn, di bursa transfer musim panas mereka memulangkan Gareth Bale secara pinjaman, juga Carlos Vinicius, top-scorer dari Benfica yang menjadi andalan mereka di ajang kontinental. The Lilywhites juga meng-upgrade lini tengah dan bek sayap dengan merekrut Pierre-Emile Højbjerg, bek kiri Sergio Reguilón, serta bek kanan Matt Doherty yang performanya musim lalu menanjak bersama Wolves.
Mou seakan paham betul bahwa ia punya amunisi yang cukup mematikan dengan memiliki pemain seperti Harry Kane serta Son Heung-min. Bahkan mereka masih memiliki pelapis macam Erik Lamela dan Lucas Moura.
Bila diperhatikan lebih saksama, ada yang berbeda dari Spurs musim ini: Torehan gol dari Son Heung-min lebih banyak daripada Harry Kane (9 gol). Sementara asis Kane paling banyak bagi Spurs (9 asis & 7 gol – jumlah asis terbanyak di Premier League).
Adanya perubahan playing role yang signifikan bagi kedua pemain tersebut di musim ini menjadi kuncinya. Harry Kane, yang biasa menjadi goal-getter di beberapa musim sebelumnya, dituntut bermain lebih dalam dan juga membuka ruang bagi Son yang memiliki kelebihan dalam hal kecepatan serta composure.
Sisi pertahanan Spurs sejauh ini juga layak untuk mendapat apresiasi. Hingga pekan ke-9, Spurs menjadi kesebelasan yang paling solid dalam hal bertahan dengan hanya kemasukan sembilan gol (sama dengan catatan Wolves). Kolaborasi apik duo ball-playing defender mereka, Eric Dier dan Toby Alderweireld serta perlindungan yang andal dari Moussa Sissoko sebagai gelandang bertahan menjadikan pertahanan Spurs sangat sulit ditembus. Jangan lupakan pula penampilan sang kiper, Hugo Lloris yang mulai kembali ke performa terbaiknya.
Banyak orang lupa bahwa Mourinho adalah salah satu manajer modern tersukses dalam dua dekade terakhir. Plus, hal tersebut ia capai dengan kesebelasan berbeda. Mulai dari Porto, Chelsea, Internazionale, hingga Real Madrid. Nama Jose Mourinho tercatat dalam urutan ke-8 manajer dengan trofi terbanyak yakni 25 trofi. Perlu diingat pula Mourinho baru memulai karier sebagai pelatih kepala sejak tahun milenium baru.
Manajer asal Portugal tersebut punya mentalitas menjadikan timnya untuk juara. Itulah yang sebenarnya dibutuhkan oleh kesebelasan macam Tottenham Hotspur yang terakhir kali mengangkat trofi pada 2008. Itu pun piala Mickey Mouse alias Piala Liga Inggris.
“Setiap pertandingan, tak peduli lawannya apapun kompetisinya, kami harus menang. Menang dan menang tiap pertandingan,” ungkap Eric Dier.
Pernyataan defender Spurs tersebut menjadi penegas, bahwa Mourinho seakan memberikan jari tengahnya kepada para pelatih yang mengedepankan filosofi permainan atau tetek bengek lain dalam sepakbola. Tak ada yang lebih penting kecuali kemenangan. Begitupun kepada anak-anak asuhnya di Spurs.
Statistik Opta juga menunjukkan bahwa catatan kemenangan (sementara) bersama Spurs di musim ini memiliki persentase 76 persen. Jauh melebihi rekor yang ia catatkan bersama klub-klub sebelumnya di musim keduanya melatih. Sebagai gambaran, rekor kemenangannya bersama Chelsea di musim kedua hanya mencatatkan angka 60 persen.
Kompetisi memang masih berjalan seperempatnya saja. Namun teror yang diberikan Jose Mourinho dan anak asuhnya patut menjadi peringatan dini. Apalagi, ditambah sulitnya para tim unggulan seperti Manchester City yang tampil underperformed serta badai cedera yang menimpa lini pertahanan Liverpool.
Seandainya Spurs bisa menjaga konsistensi dan terhindar dari badai cedera hingga akhir musim nanti, bukan mustahil Mourinho akan mengakhiri penantian puasa gelar liga mereka selama 60 tahun. Mengubah status dari tim medioker yang tak pernah punya DNA juara atau istilah yang pelatih di atas maksud: Ayam Sayur.
Karena bila menilik sejarahnya, nama “Hotspur”pada nama klub, diambil dari salah satu ksatria Inggris pada abad ke-15 bernama Sir Henry Percy. Sosok Percy digambarkan sebagai pemberani di medan perang dan juga punya hobi bermain sabung ayam dan membuatnya dijuluki Hotspur (taji ayam). Para pendiri Tottenham Hotspur, tentu memiliki mimpi untuk membentuk tim yang kelak akan memiliki “taji” di kancah persepakbolaan Inggris.
Jadi, apakah trofi Premier League tahun ini akan menjadi milik Spurs dan Mourinho? Seru untuk kita tunggu. Bila jawabannya ya, maka Spurs akan menghapus olok-olokan “Ayam Sayur” menjadi Ayam Jago yang beneran jago seperti logo di dada kaus mereka.
Catatan tambahan: Penulis bukan penggemar Tottenham Hotspur, bukan juga haters si pelatih yang dimaksud. Lagipula, jadi pelatih sepakbola itu tidak mudah apalagi sambil melucu.