Piala Dunia akan dimulai hanya dalam hitungan hari. Negara-negara terbaik dari masing-masing benua akan bertanding. Asia diwakili oleh Korea Selatan, Jepang, Iran, Arab Saudi, dan Australia.
Lima negara tersebut memang menjadi langganan Piala Dunia. Akan tetapi, tak ada dari mereka yang pernah mencapai babak final. Bahkan, dalam edisi Piala Dunia terakhir, semua wakil Asia menempati juru kunci!
Minim Program Jangka Panjang
Sulitnya Negara Asia bersaing disebabkan sistem pembinaan yang belum baik. Carlos Queiroz yang pernah menangani Iran di Piala Dunia 2014, mengungkapkan kekesalannya terhadap performa anak asuhnya.
“Tim dari Asia masih melakukan kesalahan yang sama tiap tahunnya, mereka tidak akan memiliki level yang sama dengan Eropa atau Amerika Latin. Ini karena sistem kompetisi, sistem latihan, dan organisasi. Anda tidak bisa menyamai Eropa karena ketika Anda maju satu langkah, mereka (Kesebelasan Eropa) sudah lebih jauh untuk lebih maju,” kata Queiroz usai dikalahkan Bosnia dan menjadi juru kunci Grup F.
Steve Darby, yang sudah malang melintang menangani timnas juga klub di Asia, menjelaskan kalau sepakbola Asia umumnya belum punya program jangka panjang.
“Hanya Jepang yang memiliki program yang jelas. Saya pribadi menyukainya dan kini Jepang sudah menjadi contoh bagi Negara Asia untuk menjalankan sepakbola. Namun negara kecil seperti Laos, sulit menjalankan program ini. Di tingkat akademi tidak ada sosok yang berpengalaman dalam sepakbola dengan lisensi seperti di Jepang,” ungkap Darby di The National.
Kestablian Ekonomi dan Politik di Asia
Beberapa hari setelah lolosnya Iran ke Piala Dunia, The Economics, membuat artikel “Iran’s success reflects the failures of Asian football” yang isinya cukup menohok. Artikel tersebut menceritakan bobroknya AFC selaku pengelola kompetisi di Asia. Artikel tersebut sekaligus mengaitkan kondisi ekonomi di Asia secara keseluruhan.
Memang cukup beralasan bahwa lolosnya Iran merupakan bukti bobroknya sepakbola Asia saat ini. Iran lolos dengan status sebagai tim tersubur di kualifikasi. Catatan 34 gol dari 16 pertandingan tanpa satu kalipun menelan kekalahan, hanya bisa dikalahkan oleh Brasil di kualifikasi Piala Dunia.
Ironisnya, kondisi finansial Iran masih tidak terlalu baik. Dibandingkan pendapatan per kapita dari Jepang, Korea Selatan, Arab Saudi, dan Australia, pendapatan perkapita Iran tidak sampai setengah dari mereka. Dampaknya? Liga Iran mengalami kesulitan.
Selain dana transfer yang cukup minim bagi kontestan liga, untuk pengembangan akademi sendiri Iran cukup kesulitan karena minimnya dana. Apabila dulu kita melihat Iran setidaknya memiliki pemain yang berkarir di Liga 5 besar Eropa (Inggris, Jerman, Italia, Prancis, Spanyol), di Piala Dunia nanti, kini Iran hanya menyisakan Ashkan Dejagah yang berkarir di Inggris, itupun di di divisi kedua bersama Nottingham Forest.
Selain Iran, Suriah yang sedang porak poranda dilanda perang berkelanjutan masih mampu mencatatkan prestasi yang impresif di kualifikasi. Mereka melaju hingga kualifikasi 2 dan nyaris saja lolos ke Piala Dunia sebelum dikalahkan Australia di perpanjangan waktu.
Suriah dengan segala keterbatasannya bisa mempecundangi negara-negara yang secara stabilitas ekonomi dan politik lebih baik seperti Qatar dan Cina. Jangan pula lupakan bahwa Suriah tidak bermain di Negara mereka sendiri. Mereka harus mengungsi ke Malaysia untuk melakoni kualifikasi karena alasan keamanan. Apabila dengan permasalahan sebesar itu masih membuat Iran dan Suriah mampu bersaing dan digdaya di Asia, bagaimana dengan kualitas sepakbola dari Negara Asia lain?
Peran federasi, konsistensi, dan mengejar ketertinggalan
Di Cina, Xi Jinping memulai revolusi sepakbola dan menghabiskan total 1,3 Miliar USD untuk membeli pemain-pemain bintang. Kenyataannya Cina belum mampu berbicara banyak untuk lolos ke Piala Dunia. Setali tiga uang dengan Qatar. Tuan rumah Piala Dunia 2022 ini masih memiliki banyak PR bagi perkembangan sepakbola mereka. Qatar sendiri bahkan menjadi juru kunci di kualifikasi 3 Zona Asia.
Uli Stielike yang pernah menangani Tim Nasional Korea Selatan menjelaskan konsistensi diperlukan untuk mengejar kualitas Negara Eropa. “Ada banyak persaingan. Korea sedang melihat apa yang Jepang lakukan. Jepang melihat apa yang dilakukan China. Kami saling mengamati dan kami melupakan sedikit perkembangan sepakbola (di negara-negara seperti) Spanyol, Jerman, melewati kami. Untuk saat ini, jaraknya semakin besar. Dan ini adalah sesuatu yang harus kita hentikan,” ujarnya di The Guardian.
Di sinilah peran federasi sepakbola diperlukan. Membuat program jangka panjang bagi Tim Nasional, membangun akademi yang mumpuni memang sudah dilakukan negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan. Namun dibutuhkan kerja keras lebih dan konsistensi untuk memperkecil jarak dengan kualitas sepakbola Negara-negara Eropa.
AFC pun sebagai federasi tertinggi sepakbola Asia juga harus berperan untuk mengejar ketertinggalan ini. Apalagi 2022 nanti Piala Dunia akan diadakan di Asia. Apabila kualitas Negara dari Asia masih seperti ini, bukan tidak mungkin juru kunci di tiap fase grup akan dihuni negara dari Asia.
Lalu apa kabar PSSI? Apakah izin cuti Ketua Umumnya sudah selesai?