Mengingat Riedl, Mengenang AFF 2010

Foto: AFF

Saya kesulitan mencerna apa yang diucapkan sang penjaga loket ketika membeli tiket travel untuk pulang ke Bandung. Mata saya memang tertuju ke loket, tapi telinga serta pikiran saya tersambung pada televisi yang tergantung di kios sebelah.

Gemuruh yang terdengar lantang dari speaker televisi membuat saya cuma bisa menduga-duga: Apa yang sebenarnya tengah terjadi di Stadion Gelora Bung Karno pada Rabu malam, 29 Desember 2010, itu.

Di Mangga Dua Square, keresahan saya berlipat ganda. Yang pertama, tentu saja karena takut kehabisan tiket travel. Kalau itu terjadi, entah bagaimana cara saya menghabiskan malam di Jakarta.

Sementara keresahan yang kedua, adalah soal ketakutan akan mimpi buruk tiga hari sebelumnya di Bukit Jalil, kembali terulang. Siapa yang menyangka kalau Indonesia akan kalah besar di leg pertama?

***

Alfred Riedl hampir tak jadi menahkodai timnas Indonesia. Pembahasan kontraknya berlarut-larut bahkan menggantung hingga dua bulan lamanya. Masalahnya ada di negosiasi gaji, yang akhirnya disepakati bahwa ia akan mendapatkan 14 ribu USD setiap bulannya.

Dalam kontraknya, Riedl mengampu timnas senior menggantikan Benny Dollo, serta timnas U-23 menggantikan Alberto Bica. Riedl ditargetkan berprestasi di Piala AFF 2010 dan Sea Games 2011. Apalagi, babak grup Piala AFF 2010 akan digelar di Stadion Gelora Bung Karno. Dukungan suporter akan menjadi tambahan semangat para pemain untuk lolos dari grup neraka yang dihuni Malaysia dan Thailand.

Riedl memberikan sarat buat PSSI yaitu memberinya keleluasaan dalam pelatihan jangka panjang, termasuk mengecualikan para pemain pilihannya untuk tidak tampil di liga.

Sebelum melatih timnas Indonesia, Riedl pernah menangani Vietnam dan Laos. Ia mampu meningkatkan kualitas kedua negara tersebut. Bagaimana tidak? Riedl membawa Vietnam ke perempatfinal Piala Asia 2007. Vietnam adalah satu-satunya tim tuan rumah yang lolos dari fase grup.

Bersama Laos, Riedl berhasil membawa tim yang biasa menjadi lumbung gol tersebut ke semifinal Sea Games 2009. Laos, yang menjadi tuan rumah, bahkan berhasil mengalahkan Indonesia 2-0 di fase grup.

Riedl mengaku kalau situasinya di Indonesia mirip dengan di Vietnam dan Laos, di mana federasi mendukung penuh program pelatihannya. Riedl pun mengumpulkan 23 pemain dari wilayah barat dan 23 pemain dari wilayah timur. Pemain yang lolos seleksi, dikumpulkan untuk mengikuti pelatnas dari Agustus hingga Desember.

Sayangnya, saat pelatnas ini Riedl mencoret Boaz Solossa.r. Boaz dua kali tidak memenuhi batas waktu pemanggilan timnas. Meski kerap melakukan sikap indisipliner, tapi kehadiran Boaz tetap diharapkan di dalam tim. PSSI bahkan mengutus timnya langsung ke Jayapura untuk melakukan dialog dengan pemain kelahiran 16 Maret 1986 tersebut.

Akan tetapi, dalam persiapan menuju Piala AFF itu pula PSSI punya program naturalisasi. Ada dua subjek yang dipilih: pemain keturunan dan pemain asing yang lama tinggal di Indonesia.

Ada beberapa nama pemain keturunan yang diwacanakan akan dinaturalisasi seperti Irfan Bachdim, Kim Jeffrey Kurniawan, Raphael Maitimo, Jhon van Beukering, hingga Sergio van Dijk.

Van Beukering dan Tobias Waisapi bahkan sudah berlatih pada 5 Oktober 2010 bersama pemain timnas yang lain, meski status mereka belum resmi sebagai warga negara Indonesia. Baru sebulan kemudian, Riedl mendaftarkan Cristian Gonzales ke skuat Piala AFF 2010 setelah melalui jalan panjang naturalisasi. Nama Irfan Bachdim pun didaftarkan. Akan tetapi, Bachdim disebut telah memiliki paspor Indonesia sejak lama.

Timnas pun akhirnya berlaga di Piala AFF pada 1 Desember 2010, pukul 19:30 selepas pertandingan mengejutkan di mana Laos berhasil menahan imbang Thailand 2-2.

Lawan timnas langsung tim kuat, yaitu Malaysia. Tanpa disangka, hasilnya pun mengejutkan. Indonesia menang tanpa perlawanan. Malaysia dilibas 5-1!

Kemenangan di pertandingan pertama ini menjadi bahan bakar di pertandingan selanjutnya. Indonesia membantai Laos 6-0 dan mengalahkan Thailand 2-1. Di semifinal, Gonzales menjadi penyelamat Indonesia setelah satu golnya masing-masing membuat Indonesia lolos agregat 2-0.

Sejak semifinal keriuhan terjadi. Semua media memberitakan keberhasilan timnas. Euforia terasa di mana-mana. Dampaknya, tiket menjadi barang langka.

Pertandingan semifinal melawan Filipina menghadirkan cerita baru. Baik di leg pertama maupun kedua, dua-duanya digelar di Stadion Gelora Bung Karno. Alasannya, karena Filipina tak punya stadion yang layak untuk menggelar pertandingan sebesar itu. Meski, tentu saja, Filipina akan untung besar dari 70 ribu tiket yang dijual di GBK.

Hasil antiklimaks justru hadir di partai final. Kala itu, ribuan suporter Indonesia yang memenuhi tribun belakang gawang, mendapatkan konfrontasi dari suporter Malaysia. Keributan sempat pecah sebelum laga dimulai.

Lantas, saat wasit membunyikan peluit, suporter Malaysia berulah. Mereka menyorotkan laser ke wajah para pemain timnas, utamanya Markus Horison. Para pemain sempat protes dan pertandingan ditunda sejenak. Segera setelah momen itu, segalanya berubah.

Indonesia secara mengejutkan kalah 0-3. Malaysia mencetak gol dalam waktu yang begitu singkat: tiga gol dalam waktu 11 menit!

Setelah pertandingan itu, para pemain timnas harus menyiapkan fisik dan mental mereka. Karena tiga hari kemudian, pembalasan dendam akan dimulai. Harapan masyarakat Indonesia akan dikonversi menjadi dua hal: kemenangan atau beban.

***

Beberapa orang di kerumunan menunjukkan ekspresi kekecewaan. Gawang Markus yang bergetar menjadi alasannya. Beberapa di antara para penonton nomaden ini memutuskan untuk bubar. Tapi saya tidak.

Keresahan saya yang pertama telah tuntas. Tiket pulang sudah di tangan. Kini, tinggal satu keresahan lain, yang mungkin juga dirasakan oleh jutaan masyarakat Indonesia yang menyaksikan pertandingan final ini.

Meski sudah kalah 0-4, tapi para pemain timnas tak putus semangat. Gol M. Nasuha dan M. Ridwan sempat membangkitkan asa. Sayangnya, pertandingan sepakbola malam itu hanya berlangsung 90 menit. Padahal, kalau wasit mau melonggarkan 90 menit lagi, mungkin hasil akhirnya bisa saja berubah.

Piala AFF 2010 mungkin menjadi tonggak bagi sepakbola Indonesia, karena beberapa hal terekskalasi di sana. Mulai dari naturalisasi, permainan yang indah dan rapi, timnas yang digoreng habis televisi, sampai kekisruhan di PSSI.

Saat wasit Peter Green dari Australia membunyikan peluit tanda pertandingan berakhir, Gelora Bung Karno terdengar riuh. Namun, kini saya paham apa makna keriuhan yang tak nyaman itu. Karena di sekitar saya, semua orang juga merasakan kekecewaan.

10 tahun kemudian, pada Selasa 8 September 2020, Alfred Riedl tertidur untuk selamanya, menghadap Sang Pencipta. Ia akan selalu dikenang atas jasa yang pernah ia berikan buat timnas Indonesia.

Selamat jalan, Riedl!