Menilik Kritikan Senegal atas Aturan Fair-Play di Piala Dunia

Sepakbola ditentukan selama 90 menit atau lebih, tergantung dari babak yang dilakoni. Selama satu setengah jam tersebut, kedua kesebelasan beradu keringat dan masing-masing pelatih beradu kepintaran. Namun bagaimana jika hasil selama satu laga ditentukan dari luar 90 menit tersebut?

Federasi Sepakbola Senegal (FSF) melayangkan protes kepada FIFA karena timnya harus pulang lebih dulu dari kompetisi Piala Dunia 2018 Rusia. Pasalnya Senegal menjadi tim pertama yang harus tersingkir dari Piala Dunia karena mengumpulkan kartu kuning lebih banyak.

Seperti diketahui, Jepang dan Senegal sama-sama mengumpulkan poin empat dan juga memiliki selisih gol yang sama. Biasanya jika mengalami kebuntuan seperti ini, maka akan diambil tim yang menang dalam duel keduanya. Tapi karena Jepang dan Senegal bermain imbang 2-2, maka Samurai Biru diputuskan masuk ke babak 16 besar karena mengumpulkan lebih sedikit kartu kuning dibanding Singa dari Teranga, yaitu empat berbanding enam.

Yang jadi masalah adalah FSF menilai Jepang sengaja bermain aman sehingga mematikan kans timnya dan juga membunuh fair play itu sendiri. Seperti diketahui, Jepang lebih memilih berlama-lama menguasai bola agar tidak diserang Polandia, tapi juga tidak jua melakukan penyerangan walau pihaknya tertinggal 1-0. Taktik ini membuat para penonton memberikan cemoohannya.

“Di masa mendatang, FIFA seharusnya memberikan sanksi terhadap tim yang bermain seperti itu,” ujar juru bicara FSF, Kara Thioune pada BBC Sport.

“FIFA telah mengadopsi sistem baru tapi apakah fair play menyelesaikan semua masalah? Setelah pertandingan usai, tidak ada yang terjadi antara Jepang dan Polandia.”

“Seharusnya ada sanksi tegas terhadap para pemain, pelatih atau tim yang bermain seperti itu.”

Baca juga: Mengapa Jepang Lolos ke 16 Besar Sementara Senegal Tidak?

Pengakuan Sang Pelatih

Seusai timnya takluk dari Polandia, Akira Nishino mengakui jika pihaknya memang bermain aman agar bisa lolos. khususnya di 10 menit terakhir. Namun ia mengaku menyesal telah menerapkan taktik tersebut, meski Jepang dipastikan lolos ke babak 16 besar karenanya.

“Tentu saja itu keputusan yang sulit. Kami kebobolan sebiji gol tapi seiring berjalannya waktu di pertandingan lain skor berubah [Kolombia unggul 1-0 atas Senegal],” aku Nishino, seperti dikutip dari The Guardian.

“Ketika saya menurunkan [Makoto] Hasebe [di menit 82], saya mengatakan apa yang ada di dalam pikiran saya: ‘Jangan berani mengambil resiko apapun’.”

“Saya meminta untuk tidak mendapatkan satu pun kartu kuning, terapkan formasi 4-1-4-1, bermain bertahan dan kemudian saya memintanya untuk berkata kepada tim agar ‘pertahankan [skor]’.”

“Kami tidak boleh kebobolan gol tambahan. Jadi dengan berjalannya waktu keputusan saya untuk menjaga skor dan ketika saya menurunkan Hasebe, itu menjadi keputusan tegas.”

“Saya tidak senang dengan hal ini tapi saya memaksa para pemain untuk mengikuti kemauan saya. Kami tidak mengincar kemenangan, tapi hanya tergantung pada hasil laga lainnya.”

“Saya memandang keputusan tersebut sebagai sesuatu yang sedikit disesalkan tapi rasanya saat itu saya memang tidak mempunyai rencana-rencana lainnya. Hal-hal seperti ini biasa terjadi di Piala Dunia dan kami berhasil lolos. Oleh karenanya mungkin itu keputusan yang tepat.”

“Cara saya meminta mereka bermain merupakan bukan karakter [tim], dan sebagai hasilnya, kami mendapatkan cemoohan,” tambah Nishino.

Baca juga: Kebersihan adalah Sebagian dari Jepang

FSF Minta Aturan Fair Play Diperbaiki

Tidak terima, Federasi Sepakbola Senegal bahkan mengirimkan dua pucuk surat keberatan dan protes kepada FIFA selaku penyelenggara turnamen Piala Dunia 2018 Rusia.

FSF meminta agar kriteria fair play diperluas maknanya, bukan hanya soal banyak-banyakan kartu kuning semata, tapi juga cara bermain sebuah tim.

Sedangkan surat kedua lebih menekankan kinerja wasit di pertandingan kontra Kolombia, yang menurutnya di luar standar FIFA.

“Federasi [FSF] percaya Jepang sengaja menolak bermain kala tahu Kolombia baru mencetak gol ke gawang Senegal. Taktik tersebut menguntungkan Jepang tapi di sisi lain berseberangan dengan prinsip-prinsip organisasi sepakbola [FIFA],” bunyi surat tersebut, seperti dikutip dari FourFourTwo.

“Federasi lebih kaget lagi dengan pengakuan pelatih Jepang yang tidak memungkirinya. Pada konferensi pers sesuai laga, yang bersangkutan mengaku mengeluarkan keputusan tersebut agar bisa mempertahankan skor [tertinggal] 1-0.”

“Federasi Sepakbola Senegal menyayangkan kurangnya sikap fair play yang ditunjukkan oleh tim Jepang. Ini memberikan tantangan bagi FIFA yang membuat aturan kartu [kuning] terbanyak kehilangan artinya dan memberikan keuntungan kepada tim yang tidak bermain fair play [bermain aman] tanpa khawatir dikenai sanksi.”

FIFA Terima Kritikan

Sistem anyar ini awalnya bertujuan agar tim-tim bisa lebih menahan diri dari aksi-aksi yang berlebihan di atas lapangan dan juga untuk melindungi para pesepakbola itu sendiri dari cedera akibat jegalan. Namun seperti yang diungkapkan oleh Federasi Sepakbola Senegal (FSF), aturan tersebut malah jadi bumerang bagi FIFA.

Colin Smith selaku ketua turnamen FIFA dan juga ketua panitia mengaku akan menimbang ulang aturan tersebut tapi pihaknya bersikukuh tidak akan menghapuskannya.

“Ini pertama kalinya aturan fair play diterapkan di Piala Dunia senior seperti ini. Kami akan menganalisa ulang setelah Piala Dunia berakhir nanti,” akunya, seperti dinukil dari The Sun.

“Kami percaya tim-tim harus memberikan penampilan terbaiknya dan [ditentukan dengan] apa yang terjadi di atas lapangan, bukan di pengundian grup.”

“Kami akan melihat bagaimana timbal baliknya dan seperti apa situasinya tapi untuk saat ini kami tidak melihat perlunya perubahan aturan yang telah diterapkan tersebut.”

Keefektifan Aturan Fair Play

Piala Dunia 2018 Rusia memang jadi turnamen akbar pertama diterapkannya dua aturan berbeda, yaitu fair play dan juga Video Assistant Referee (VAR). Secara umum, keduanya diharapkan membuat pertandingan sepakbola kian bersih, walau pada prakteknya memunculkan kontroversi.

Khusus untuk aturan fair play, nasib sebuah tim sepenuhnya berada di tangan wasit. Memang, korps berbaju hitam memiliki pegangan, yaitu laws of the game, tapi dalam beberapa kasus keputusan wasit bisa dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kebiasaan sang pemain melakukan diving atau tidak berada di posisi yang tepat pada sebuah insiden.

Seperti dikutip oleh Sportingnews, sebuah penelitian pernah dilakukan di Spanyol, dimana tim-tim tandang akan condong menerima lebih banyak kartu kuning dibanding tim tuan rumah. Jumlah tersebut akan kian meningkat jika jarak para penonton dengan lapangan tidak terpisahkan oleh trek atletik, yang artinya wasit masih belum bisa bertindak netral dengan adanya intimidasi dari pihak tuan rumah.

Lantas apakah wasit bisa dipertanggungjawabkan keputusannya? Meski tugas pengadil lapangan adalah untuk memberikan putusan tanpa tebang pilih, tapi masih banyak tim, pemain, pelatih atau fans yang tidak menerima keputusan wasit yang merugikan pihaknya.

Dengan melihat taktik yang dipakai oleh Jepang, maka rasanya memang harus ada perbaikian demi menutup celah permainan monoton. Menang tapi monoton saja dikritik masyarakat, apalagi kalah dan monoton.