Catatan: Tulisan ini merespons kekalahan Persib Bandung di final Piala Bhayangkara 2016. Pernah naik di website Simamaung yang kini sudah almarhum.
***
Jakarta sungguhlah menggoda. Banyak orang menjadi besar dengan menetap di sana. Jakarta sungguhlah istimewa, tak ada yang mampu mengalahkan pesonanya.
Katanya, Jakarta itu Indonesia kecil; tempat di mana hampir semua suku bangsa terlahir. Dulu, ada suku Betawi yang menghuni; namun kini semua suku bersemi, mulai dari Sunda, Jawa, Batak, sampai suku Dani.
Jakarta membuat saya kagum dan gentar. Jakarta adalah tempat yang membuat saya ingin tinggal sekaligus menghindar. Jakarta memberikan mimpi. Jakarta memiliki gedung yang tinggi-tinggi; yang membuatnya terlihat hebat untuk ditinggali. Namun, Jakarta juga menghadirkan cerita menakutkan, mulai dari orang-orang yang berperang, sampai ragam aksi kejahatan.
Ke Jakarta kami semua ingin pergi; ingin meraih kembali mimpi-mimpi.
***
Hanya ke Bandung-lah, aku kembali pada cintaku yang sebenarnya.
Presiden Sukarno agaknya mengerti betul bagaimana rasanya menjadi seorang Bandung. Memang banyak daerah yang penduduknya ramah.Banyak pula kota yang pemandangannya megah. Tapi, cuma Bandung yang kuanggap sebagai rumah; cintaku yang sebenarnya.
Cinta tak mengenal dimensi ruang dan waktu. Cinta tak pernah terkikis meski lama waktu tak berpenghuni. Berapa lama waktu yang dibutuhkan Bobotoh untuk melihat Persib kembali juara? Itu adalah jumlah waktu yang sama untuk membuat seorang bayi tumbuh remaja.
Kesabaran pada akhirnya membuat cinta kembali mengalir tak tenggelam. Dalam waktu dua tahun, Persib meraih dua gelar; yang satu di antaranya dirayakan di Jakarta; sebuah kota yang katanya “Musuh kita semua”; dengan satu di antaranya berakhir dengan kaca bus yang hancur dan pecah-pecah.
Sadarkah kita semua, kalau setiap tahun, setiap dari kita mulai dewasa? Tahun lalu, apa yang kita lakukan, di GBK, saat ada remaja tanggung mengejek dan menghina Persib Bandung, kesebelasan kesayangan kita? Kita tidak membalasnya dengan sebuah pukulan, tapi yang kita lakukan jauh lebih nyaring daripada sebuah tamparan. Kita bertepuk tangan; bersorak-sorai menyanyikan “Halo-Halo Bandung”, yang akan dikenang sepanjang zaman. Kita tahu kalau hinaan dan ejekan adalah sebatas provokasi belaka, dari mereka yang entah siapa.
Di stadion, nyanyian khas “Dibunuh Saja” durasinya sudah semakin berkurang. Agaknya kita mulai sadar kalau nyanyian semacam itu tak berarti apa-apa. Kita sadar kalau kita adalah sebuah kesatuan yang begitu besar, yang tak perlu membuat mereka tenar.
Kita semakin sadar kalau nyanyian “Dibunuh Saja”, bukan cuma dari lirik, tetapi juga komposisi musik, sama sekali tidak mencerminkan semangat kita. Lagu itu kelewat mendayu-dayu, yang kalau lama-lama dinyanyikan bisa membikin kepala ngilu.
Biarlah kita membikin malu, suporter lawan yang berteriak begitu. Di stadion Gelora Bung Karno semalam, pada awalnya kita terpancing; tersulut emosi saat berkali-kali “Suporter Terbaik di Indonesia” itu berulah provokasi. Lambat laun, kita sadar kalau balasan dengan cara serupa tidaklah berarti. Lalu, kita melawannya dengan menunjukkan jati diri. Tribun stadion kita, sontak berwarna-warni.
Pertandingan semalam memang jauh dari harapan. Kita juga sadar kalau masih banyak yang harus kembali dikembangkan. Persib ripuh; Persib rapuh.
Namun, pertandingan di Gelora Bung Karno semalam bukanlah soal adu taktik pelatih Eropa Timur berlisensi Pro Eropa. Bukan adu kokoh Vladimir dan Goran; bukan pula adu ganteng antara Kim Kurniawan dan Hamka Hamzah. Semalam adalah sebuah pertunjukan; pertunjukan dari tumbuh kembangnya sebuah kedewasaan. Bukan para pemain, manajemen, penyelenggara liga, polisi, apalagi wasit. Tapi ini menyangkut kedewasaan kita, Bobotoh sa alam dunya.
Tak selamanya kekalahan membuat malam menjadi kelam. Kekalahan membuat kita kembali merasakan apa yang dirasakan 150 ribu Bobotoh dalam final yang melegenda pada 1985. Saat itu, Persib kalah dua kali di final dalam tiga musim terakhir.
Kekalahan ini membuat kita memandang langit dengan perasaan yang sama seperti 31 tahun lalu di SUGBK. Kekalahan ini membuat kita sadar betapa pentingnya sebuah arti kemenangan. Jauh lebih hebat daripada itu, kekalahan ini membuat kita sadar kalau dengan bersikap dewasa, mereka-mereka itu bukanlah siapa-siapa.
PS: Bobotoh mendapatkan penghargaan “Suporter Terbaik” di Piala Bhayangkara.
***
Dulu, Jakarta tak bisa dicapai dalam sepandangan mata. Jakarta adalah tempat nun jauh di sana. Berangkat Lohor, saat Magrib baru sampai Bogor.
Kini, Jakarta benarlah disebut tetangga. Waktu tempuhnya terkadang tak lebih lama dari Soreang-Sulanjana. Jakarta kian mendekat, kian teringat lalu melekat.
Jakarta selalu istimewa, meski tahun lalu kita pernah ada di sana. Tahun ini, kita kembali, meski tak lagi ber-haha-hihi. Di Jakarta, Persib pernah juara, dan akan kembali ke sana. Segera!