Persija Jakarta berhasil meraih gelar juara Piala Presiden 2018 usai mengalahkan Bali United dengan skor 3-0. Kemenangan ini pun seolah menjadi momentum kebangkitan untuk Macan Kemayoran dan Jak Mania yang sudah lama tak mengangkat trofi untuk kompetisi tingkat nasional.
Sayangnya keberhasilan Persija tersebut diselingi insiden yang gaungnya justru lebih nyaring. Jelang penganugerahan medali dan pemberian trofi, Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, tertangkap kamera dihalangi untuk ikut turun bersama rombongan presiden dan pejabat lainnya. Ia pun tertahan di royal box Stadion Gelora Bung Karno.
Insiden kecil ini kemudian merambah dan skalanya kian besar karena dihubung-hubungkan dengan situasi politik saat ini. Beritanya bahkan berusaha menyaingi gegap gempita gelar juara yang diraih Persija itu sendiri.
Agar kabar tak semakin liar, Gubernur Anies maupun Maruarar Sirait selaku SC Piala Presiden, telah mengonfirmasi alasan dari kejadian tersebut. Semuanya sudah jelas dan terang benderang. Anies mengaku tak masalah, karena yang terpenting adalah Persija juara. Di sisi lain, panitia penyelenggara juga sudah meminta maaf dan mengakui kesalahan ada di pihak mereka.
Tetapi hal ini tidak berlaku di media sosial. Akun-akun yang kontra dengan pemerintah mulai menjadikan kejadian ini sebagai umpan yang mustahil untuk dilewatkan. Berita juaranya Persija pun bersahut-sahutan dengan celaan para penyusup politik. Ironisnya, ini terjadi saat beberapa akun pendukung Persib Bandung, di Instagram, justru memberi selamat untuk Persija Jakarta.
Anies Bukan Figur Penting di Sepakbola Masa Kini
Salah satu alasan kenapa kompetisi sepakbola di Indonesia bisa dibilang profesional adalah saat pemasukan klub tak lagi bersumber pada kenikmatan bernama APBD. Tiap kesebelasan pun membentuk badan hukum sendiri mulai dari PT hingga yayasan. Selain itu, pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 22 Tahun 2011 pun sudah melarang adanya hibah dari pemerintah daerah untuk kesebelasan.
Ini yang membuat figur kepala daerah saat ini tak melulu punya peran krusial. Beda dengan sebelum era Liga Super di mana kepala daerah merupakan kunci kesebelasan. Kepedulian kepala daerah umumnya berpengaruh pada prestasi kesebelasan.
Meskipun, tentu saja, saat ini kepala daerah juga tak lepas tangan begitu saja. Gubernur, Bupati, atau Walikota, kerap memberi kemudahan akses buat klub, seperti mengenalkan pada sponsor, mempermudah perizinan kepolisian dan penggunaan stadion, hingga menyatukan kelompok suporter.
Secara langsung di atas lapangan, kepala daerah yang tak menjabat di posisi struktrual di klub, tak punya pengaruh apa-apa. Yang berpengaruh adalah jajaran dewan direksi atau manajemen, karena merekalah yang menggerakan roda kehidupan klub.
Inilah yang membuat mengapa orang-orang yang tak berkepentingan tak perlu diberi panggung. Tak perlu lagi ada momen para tahu kehormatan diajak berkenalan dan bersalaman saat kick-off. Kenapa memangnya harus dikenalkan dengan para pemain? Apa peduli mereka?
Di turnamen sekelas Piala Dunia saja, tidak ada misalnya Presiden Brasil, Presiden FIFA, atau Sekjen PBB, berkenalan dengan pemain sebelum kick-off! Mereka yang harusnya diapresiasi justru adalah manajemen dan suporter yang membuat kelangsungan hidup kesebelasan bisa terus berjalan.
Melarang Gubernur Anies untuk mendampingi penyerahan trofi pun bukanlah hal yang tepat. Karena unsur kedaerahan yang masih kuat, amat wajar kalau Gubernur Anies mendampingi tim atau turut menyaksikan dari dekat. Sialnya, hal ini diseret ke ranah politik yang rentan memecah belah masyarakat. Lain halnya kalau yang dilarang adalah Pelatih Persija atau Kapten Persija, misalnya. Itu baru masalah besar.
GBK Rusak Apa Artinya?
Dilansir Kompas, Direktur Utama Pusat Pengelola Kompleks Gelora Bung Karno, Winarto, menyatakan bahwa ada sejumlah fasilitas yang rusak, mulai dari taman, pintu masuk, kursi, hingga pagar pembatas tribun.
Ramai-ramai banyak pihak menghujat oknum suporter karena itu adalah fasilitas negara. Benar, itu adalah fasilitas negara dan pengerusakan ini merupakan hal yang salah dilihat dari sisi manapun.
Setelah renovasi, pengelola GBK menaikkan harga sewa ditambah deposit 1,5 miliar rupiah sebagai uang jaminan. Untuk apa? Bisa jadi salah satunya untuk mengantisipasi hal seperti ini.
Pengelola jelas sadar kalau tak semua penonton yang datang itu dewasa dan bisa menjaga perilakunya. Hal ini yang terjadi di pertandingan final kemarin. Secara teknis, pengelola mestinya tidak rugi karena ada uang pengganti untuk membetulkan kerusakan. Setiap kerusakan yang akan terjadi sudah diantisipasi dan pasti diperbaiki. Namun, yang membuat masalah ini besar adalah karena GBK adalah stadion kebanggaan Indonesia. Apalagi baru direnovasi.
Hal yang penting sesungguhnya adalah menciptakan kesadaran di tubuh suporter. Mengapa masih ada suporter yang berdiri di atas kursi? Apakah mereka tidak tahu kalau fungsi kursi itu buat duduk? Atau karena orang di depannya juga berdiri? Atau karena mereka memang tidak peduli?
Apabila budaya dibentuk dari kebiasaan, maka salah satu solusi yang layak dicoba adalah dengan memiliki stadion sendiri. Selain sebagai investasi jangka panjang, kehadiran stadion milik klub setidaknya akan membuat suporter lebih menghargai fasilitas yang ada. Apalagi kalau dana pembangunan stadion sebagiannya berasal dari urunan suporter.
Kalau kebiasaan buruk ini masih terjadi, mungkin saja ada yang salah pada sistemnya. Mungkin masalah internal di organisasi suporter, atau klub yang tidak becus menjalin komunikasi, atau tak punya prestasi.
Kompetisi Dimulai Lagi
Liga sepakbola di Indonesia seringkali menghadirkan euforia, bukan cuma buat suporter tapi juga buat para pencari rezeki di luaran sana. Saat pertandingan berlangsung, ratusan hingga ribuan pedagang tumpah ruah menjajakan barang dagangannya di area stadion. Industri konveksi rumahan kembali menggeliat. Masyarakat mendapatkan hiburan, meski hanya 90 menit, lewat sepakbola.
Ini adalah musim kedua Liga Indonesia digelar usai FIFA mencabut sanksi pembekuan terhadap PSSI. Meski penyelenggaraannya tidak melulu berlangsung mulus, tapi banyak manfaat yang dirasakan baik itu di lingkungan sepakbola maupun di luarnya.
Kompetisi adalah wadah utama pembibitan pesepakbola masa depan. Prestasi sepakbola Indonesia mustahil bisa berkembang tanpa adanya kompetisi, kecuali pemainnya naturalisasi semua.
Piala Presiden mestinya menjadi jembatan sekaligus ajang pemanasan sebelum kompetisi yang sebenarnya dimulai. Hiruk pikuk penyelenggaraan Piala Presiden yang berakhir dengan Persija Jakarta yang mengangkat trofi, mestinya disambut dengan meriah, karena kompetisi yang sebenarnya akan dimulai.
Rasanya melihat rivalitas dan adu kreativitas suporter antarkesebelasan jauh lebih menarik, karena mereka mendukung timnya dengan tulus; bukan cuma memperhitungkan untung-rugi, seperti para politisi; bukan cuma mendukung untuk sementara, seperti mereka yang gila berkuasa.