Mesut Ozil dan Batas Perilaku Rasis yang Samar

Apa yang terjadi pada Mesut Ozil belakangan ini merupakan sebuah cermin bahwa ketika mengejek atau mengkritik, manusia kadang melupakan batas-batas perilaku rasis. Kadang, ada warna kulit, asal keluarga, dan ras yang dibawa di dalam ejekan tersebut.

Mezut Ozil buka suara. Kekesalannya selama ini yang kerap menjadi kambing hitam kegagalan timnya, baik itu Arsenal maupun Timnas Jerman, ditumpahkan lewat sebuah tindakan yang tidak tanggung-tanggung. Ozil memutuskan pensiun dari Timnas Jerman, dan alasan di balik pensiunnya Ozil ini cukup menohok banyak kalangan.

“Perlakuan dari DFB (Federasi Sepak Bola Jerman) dan banyak pihak membuat saya tak lagi berselera untuk mengenakan jersi Timnas Jerman. Saya merasa segala hal yang sudah saya lakukan sejak 2009 sampai sekarang jadi sia-sia,” ujar Ozil dalam cuitan di akun Twitternya.

“Saya kesal dengan standar ganda dari media-media Jerman. Lothar Matthaus bertemu dengan pemimpin dunia (Putin), tetapi tak mendapatkan kritik. Meski dia sosok yang dihormati dalam sepak bola Jerman, orang-orang tak menuntutnya untuk menjelaskan pertemuan dengan Putin.”

Baca juga: Jerman Rasis, Mesut Ozil Pensiun dari Timnas

“Jika media-media Jerman merasa saya harus dikeluarkan dari skuat Timnas Jerman karena keputusan saya berfoto dengan Erdogan, bukankah status legenda Matthaus harusnya juga dicopot karena aksinya itu? Apakah saya dinyatakan bersalah cuma karena darah Turki saya?” kata Ozil menambahkan.

Dari cuitannya di akun Twitter pribadi jelang memutuskan diri pensiun dari Timnas Jerman tersebut, terlihat memang bahwa Ozil sudah sangat kesal. Perilaku-perilaku orang Jerman yang kerap mengaitkan asal leluhurnya tersebut membuatnya muak. Saat dia melihat sekitar, ketika orang-orang Jerman lain juga melakukan tindakan yang sama seperti Ozil, mereka tidak mendapatkan kecaman. Ozil merasa diperlakukan berbeda.

Hal inilah yang pada akhirnya membuat Ozil, yang masih berusia 29 tahun, tidak lagi berhasrat mengenakan jersi Timnas Jerman. Ozil merasa, mungkin juga karena dia mendengarkan saran ayahnya, inilah saatnya untuk berhenti, menepi dari caci yang menghinggapinya saat ini. Menggerogoti semua capaian dan sumbangsih yang sudah dia berikan untuk “Die Mannschaft”.

Caci yang, tanpa disadari, berubah menjadi sebuah perilaku rasis.

Imigran yang Jadi Sasaran Rasis

Karim Benzema dan Romelu Lukaku sempat mengucapkan rasa kesalnya kepada Prancis dan Belgia. Mereka menyebut bahwa jika mereka membawa Prancis dan Belgia berprestasi, mereka baru akan disebut sebagai orang Prancis dan Belgia. Namun, jika mereka gagal, mereka akan disebut orang Arab dan Kongo. Hal inilah yang mungkin dirasakan oleh Ozil.

Memang, tampaknya orang-orang hanya ingin mengkritisi penampilan dari Ozil. Komentar soal penampilan ini paling kencang disuarakan oleh Hoeness. Dia bahkan menyebut bahwa tekel sukses Ozil terakhir kali dilakukan sebelum Piala Dunia 2014. Hoeness menganggap Ozil sudah bermain buruk bahkan sejak 2014 silam.

“Perkembangannya (Ozil) di negara kami adalah bencana. Kita harus memecahnya kembali ke apa itu olahraga–dan pada level olahraga, Ozil belum menambahkan apa pun ke tim nasional selama bertahun-tahun. Kapan terakhir pertandingan internasionalnya berjalan baik?” ujar Hoeness.

Jika kritik yang diucapkan itu sebatas kritik terhadap penampilan Ozil, itu adalah hal yang sangat wajar. Ozil perlu dikritik, dan apa yang diucapkan Hoeness di atas memang benar. Ozil belum menyumbang apapun lagi sejak 2015 silam.

Namun, yang menjadi masalah adalah ketika kritik tersebut menjadi kelewat batas dan menjelma perilaku rasis. Kembali ke cuitan Ozil di akun Twitternya, dia menyebut bahwa seorang suporter Jerman sempat melontarkan kata-kata tidak pantas kepadanya, berhubungan dengan negara leluhurnya, Turki.

“Seorang suporter Jerman mengatakan padaku seusai pertandingan (melawan Swedia), ‘Ozil, mampus kau Turki keparat, pergi kau babi Turki.’ Ini belum termasuk surat bernada kebencian yang kuterima, telepon yang berisi ancaman, dan berbagai komentar di media sosial,” ujar Ozil.

Hal inilah yang menjadi sebuah kesalahan, dan jika ditelisik, menjadi fokus utama kenapa Ozil memutuskan berhenti. Dikritik karena penampilan jelek adalah satu hal, tapi jika kritik itu menjadi ucapan bernada rasis, itu adalah hal lain.

Rasisme Soal Mayoritas dan Minoritas

Dalam sebuah tulisan di laman “PBS.org” yang berjudul “Does Race Exist?”, memang tidak ada batasan yang jelas tentang sebuah perilaku rasis. Seperti halnya batas-batas ras antar negara yang samar, tak ada batasan jelas pula apakah sebuah tindakan dapat dikategorikan sebuah tindakan rasis atau tidak. Semua tergantung di mana Anda sedang berada, dan sedang berada dalam kondisi apa Anda di tempat tersebut.

Ambil contoh begini. Anda selaku orang Sunda sedang menonton pertandingan Persib melawan Perseru di Stadion Si Jalak Harupat, Soreang, Bandung. Di tengah pertandingan dan padatnya stadion yang juga diisi oleh orang Sunda, Anda mendengar seorang suporter berteriak “hitam” atau “batu bara” kepada para pemain Perseru di atas lapangan. Jika ditelisik, itu adalah tindakan rasis.

Sama juga seperti jika Anda selaku orang Sunda sedang berada di Jakarta, lalu Anda diteriaki “Sunda goblok” oleh orang Jakarta, itu juga merupakan tindakan rasis. Sebersit kekesalan yang Anda simpan kepada orang Jawa, dengan posisi Anda selaku orang yang beda suku dengan orang Jawa sebenarnya juga masuk perilaku rasis.

Banyak tindakan rasis yang terjadi di sekitar kita. Tidak hanya Ozil, tapi banyak orang lain yang mendapatkan perlakuan serupa. Tindakan yang diterima Benzema dan Lukaku kala mereka disebut sebagai orang Arab dan Kongo juga menunjukkan sebuah perilaku rasis.

Namun, batas yang membedakan perilaku rasis inilah yang tampak samar. Kadang, ketika Anda menjadi mayoritas, Anda tidak akan merasa melakukan tindakan rasis. Tapi, ketika Anda menjadi minoritas, justru Anda merasa bahwa Anda menjadi korban dari perilaku rasis yang paling parah. Perilaku rasis inilah yang menjadi dasar dan basis dari kekesalan Ozil.

Sesuatu yang luput dari mata para suporter Jerman, DFB, dan tentu saja media sayap kanan Jerman yang gencar menyuarakan nasionalisme Jerman.

***

Kejadian yang dialami Ozil ini memberikan kita pelajaran, bahwa kritik, pada akhirnya, dapat menjadi sebuah ucapan sakit hati paling dalam jika berkaitan dengan beberapa aspek, salah satunya adalah keluarga, leluhur, dan ras. Inilah yang dialami Ozil, dan mungkin juga dialami oleh banyak pesepakbola lain di dunia.

Pada dasarnya, kritik sah-sah saja diberikan, karena dengan kritik, kita akan tahu kekurangan diri, membenahinya, dan menjadi pribadi yang maju. Namun, jangan sampai memberikan kritik secara berlebih, karena, tanpa sadar, bisa saja Anda sudah melakukan tindakan rasis dan menabrak batas perilaku rasis yang begitu tipis dan samar.