Polandia tidak punya sejarah sebagai negara yang mengembangkan paham rasisme; sebaliknya, Polandia adalah korban diskriminasi, bahkan sebelum Jerman dikuasai Nazi. Kini, luka mendalam itu diturunkan pada sekelompok orang, yang ironisnya punya cara pikir gila yang tak jauh berbeda dengan Adolf Hitler. Egy
***
Sabtu malam pada pertengahan November 2017, sebanyak 60 ribu orang memenuhi jalan-jalan di kota Warsaw, untuk memeringati hari kemerdekaan Polandia pada 1918. Namun, di tengah lautan manusia tersebut, terselip banner bertuliskan, “Pray for Islamic Holocaust”; sementara yang lainnya menginginkan persaudaraan kulit putih di Eropa.
Seperti digambarkan Irish Times, lautan manusia tersebut adalah demonstran pendukung gerakan kanan-jauh. Mereka ingin agar ideologi tersebut dianggap normal sebagai pilihan politik warga Polandia. Hal ini pun disambut baik oleh Menteri Dalam Negeri dan Menteri Luar Negeri Polandia yang menganggapnya sebagai festival keberagaman. Di sisi lain, Presiden Polandia, Andrzej Duda, menyatakan bahwa xenophobia dan anti-semit tak diterima di Polandia.
Catatan redaksi: xenophobia secara sederhana berarti ketakutan akan orang asing atau yang berasal dari negara lain.
“Retorika Pemerintah Polandia cenderung bertujuan untuk mencampurkan pengungsi dan Islam sebagai sesuatu yang mengancam nilai-nilai yang dianut Polandia. Ini adalah tema yang sama yang terdengar di Hungaria, Austria, dan Republik Ceska,” tulis Irish Times.
Masih menurut sumber yang sama, tujuan politis dari gerakan sayap kanan tersebut jelas: sebagai lawan dari Uni Eropa, NATO, homoseksual, feminisme, Muslim, dan Islam. Ini juga yang digaungkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, di Warsaw, yang mempertanyakan apakah Barat punya kemauan untuk bertahan melawan Islam. Irish Times sendiri menyebutnya sebagai rasisme gaya baru yang bisa menjadi ancaman nyata buat tatanan liberal Eropa.
Rasisme di Polandia
Berdasarkan Judy Batt dan Kataryna Wolczuk dalam Region, State, and Identity, in Central and Eastern Europe, Polandia sempat berada dalam kuasa Kekaisaran Jerman hingga berakhir pada 1918. Akan tetapi, pada Perang Dunia II, Polandia dikuasai Jerman, dan kembali mendapatkan diskriminasi.
Jerman menganggap bahwa rakyat Polandia bukan manusia (human) tapi sub-human, sehingga yang cocok mereka lakukan adalah dengan menjadi budak atau dimusnahkan sekalian. Polandia bahkan disebut-sebut sebagai korban holocaust terbesar setelah kaum Yahudi dengan korban mencapai 1,9 juta jiwa; sementara korban tewas akibat pendudukan Jerman diprediksi mencapai tiga juta jiwa.
Entah terinspirasi atau ingin membalaskan dendam, sekelompok orang di Polandia kini merasa kalau berlaku sebagai seorang fasis adalah jalan yang tepat untuk masa depan negara mereka. Berdasarkan data Deutsche Welle pada 2016, rasisme di Polandia secara jelas meningkat.
Ada sejumlah kasus yang digambarkan DW, seperti tiga siswa dari Turki dan Bulgaria yang dikutuk sejumlah remaja di tram untuk segera pergi dari Polandia. Ada pula siswa Turki yang dipaksa berlutut sembari meminta maaf karena dirinya Muslim.
Ada banyak kasus yang terjadi dan menimpa siswa luar negeri. Hal ini seperti terus terjadi salah satunya karena tidak adanya aksi tegas dari pihak berwajib. Penyerang yang ditangkap, dilepas setelah tiga bulan.
DW melansir data dari Never Again, sebuah yayasan yang memantau serangan rasial di Polandia, bahwa pada 2009-2010, setidaknya tedapat 400 kasus yang meningkat dua kali lipat pada 2013 dngan 850 kasus. Dua tahun kemudian, angka ini kembali meningkat dua kali lipat.
Kasus penyerangan rasial ini tak lepas dari hangatnya perbincangan soal pengungsi yang kala itu berbondong-bondong memasuki Eropa, tak terkecuali Polandia. Bahkan, isu pengungsi ini menjadi bahan kampanye Pemilu pada musim gugur 2015. Padahal, Polandia sendiri tidak ikut bagian dalam menampung pengungsi.
Kalau dulu serangan rasial terfokus pada Yahudi dan Etnis Romani, kini bertambah dengan warga Muslim dan Afrika. Menurut Never Again, pada 2015 terdapat 70 kasus yang tidak ditindaklanjuti karena dianggap tidak membahayakan masyarakat.
DW memantau bahwa Pemerintah Polandia kerap diam soal serangan rasial. Ini yang membuat DW merasa kalau Polandia tak punya strategi apapun untuk menghancurkan xenophobia.
Ancaman Serangan Rasial untuk Egy Maulana Vikri
Direkrutnya Egy Maulana Vikri oleh Lechia Gdansk menjadi tajuk utama di mana-mana, termasuk di media Polandia. Besarnya perhatian masyarakat Indonesia pada berita ini membuat gema Egy juga terdengar sampai ke Polandia.
Yang terbaru, suporter Lech Poznan membentangkan spanduk berbahasa Indonesia yang bertuliskan “Lechia Gdansk Sial Pelacur”. Jelas ini berhubungan dengan kedatangan Egy karena mereka menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa hinaan. Akun Lech Poznan pun empat hari sebelumnya mengunggah foto dan caption dalam bahasa Indonesia bertuliskan “Pertandingan dalam Dua Hari”, dengan me-mention akun Lechia.
Hal ini tentu menggemparkan. Warganet Indonesia yang tersulut, langsung menyerang kolom komentar instagram Lech Poznan dengan balasan kata-kata kasar. Tidak tanggung-tanggung, baru sehari, satu ungguhan Lech Poznan sudah dikomentari hingga 150 ribu lebih yang mayoritas berisi hujatan.
Apa yang dilakukan suporter Lech Poznan, tentu baru sebatas ucapan selamat datang. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi saat Egy benar-benar merumput di Liga Polandia musim depan. Apalagi kelompok suporter di Polandia terkenal amat militan dalam memberi dukungan buat klub pujaannya. Psywar demi psywar jelas akan dihadapi Egy di setiap pekannya.
Serangan yang paling tajam jelas berasal dari dalam klub itu sendiri. Mantan Pelatih Lechia, Boguslaw Kaczmarek, merasa kalau perekrutan Egy tak lain sebagai kedok pemasaran. Meski banyak yang menganggap Egy bertalenta, Kaczmarek tak begitu yakin.
Egy sendiri kepada Merdeka, tak menampik kalau ada suporter Lechia yang meragukannya. Untuk membuktikan anggapan itu salah, Egy bertekad untuk menggali pelajaran sebagai pembuktian di musim depan.
Tinggal di Polandia akan amat berbeda buat Egy. Musuhnya bukan cuma cuaca dingin, tapi perilaku masyarakatnya. Di Indonesia, Egy hidup sebagai mayoritas yang segalanya serba mudah dan dimudahkan. Ini tentu berbeda dengan di Polandia di mana justru gerakan sayap kanan mulai meluas, pun dengan serangan-serangan rasial yang meningkat. Lingkungan macam ini bukan tidak mungkin membuatnya, sebagai minoritas, tak betah dan berpengaruh pada permainannya.
Egy adalah harapan sepakbola Indonesia. Beban di pundaknya amatlah berat karena ia harus membuktikan bukan cuma sebagai dirinya secara pribadi, tapi pembuktian Indonesia di mata sepakbola Eropa.
Tentu kita berharap Egy bisa mendapatkan hasil positif di Polandia. Syukur-syukur kalau dilirik kesebelasan liga top Eropa. Namun, yang paling penting saat ini adalah menyiapkan mental Egy untuk selalu kuat apabila dilecehkan atau direndahkan secara verbal utamanya saat bertanding.
Karena buat pesepakbola, di manapun, ejekan dan hinaan akan selalu diterima, termasuk di Indonesia. Untungnya, Egy main di Polandia, sehingga umpatan-umpatan kotor, untuk sementara, tak akan terlalu dimengertinya; kecuali mereka memaksa pakai Google Translate, seperti tulisan di spanduk untuk Gdansk.