Bagaimana sosok besar Diego Armando Maradona selalu menjadi beban dalam karier para wonderkid Argentina.
Musim panas 1994. Siang itu suasana riuh rendah di stadion Foxboro, Massachusetts, Amerika Serikat. Seorang pemuda 20 tahun, berdiri di tepi lapangan dan bersiap untuk masuk ke dalam lapangan. Laga tingal berjalan tujuh menit hingga waktu normal berakhir. Dihadapannya, terbentang papan skor digital yang menunjukkan keungggulan 3-0 Argentina atas Yunani.
Sambil melompat-lompat kecil, ia menatap dari kejauhan pemain yang akan digantikannya. Sang pria yang hendak digantikannya, berlari sembari menyerahkan ban kapten kepada rekannya. Tak lama kemudian, pria tersebut menghampiri, mengusap rambut panjang sang pemuda kemudian mencium keningnya.
Tak ada yang menganggap bahwa kejadian tersebut istimewa. Hingga beberapa hari setelahnya, pada momen itulah seorang Ariel Ortega mendapat beban untuk memikul tugas “kewahyuan” dari seorang Diego Armando Maradona.
Bukan sekali itu saja Argentina punya pemain sepakbola hebat. Salah satu di antara mereka ialah Mario Kempes, pahlawan yang menyumbangkan trofi Piala Dunia 1978. Namun, perhelatan Piala Dunia selanjutnya menjadi jawaban konkret bagi publik Argentina.
Maradona yang masih berusia 21 tahun, terlihat hebat dari siapapun yang ada di planet bumi, termasuk Kempes dan rekan-rekannya. Skuat Argentina yang memiliki peraturan pembagian nomor punggung berdasarkan urutan nama belakang pemain, memberikan pengecualian bagi Maradona. Jika 10 adalah angka tertinggi pada saat ujian sekolah, maka itulah penggambaran bagi pria yang mendapat julukan “D10S” (Bentuk modifikasi dari kata “Dios” yang dalam bahasa Spanyol berarti Tuhan dan nomor identik Maradona yaitu 10).
Sejak saat itu, Maradona bukanlah seorang pemain, melainkan sosok pengemban, penyelamat, sekaligus simbol bagi sepakbola Argentina. Anda tak bisa membandingkan arti Next Maradona sama seperti “Next Cruyff” di Belanda, “Next Beckenbauer” di Jerman, atau bahkan “Next Pele” di Brasil. Tak heran, julukan “El Pibe de Oro“ (Si Anak Emas) di Argentina bisa dibaca sebagai: The Next Maradona. Ariel Arnaldo Ortega, pemuda yang dicium Maradona di Piala Dunia 1994, adalah salah satu dari pemuda beruntung tersbeut.
Usai berhentinya karier Maradona di timnas Tango pada 1994, Ortega-lah yang mendapat sorotan. Penampilan Ortega di Piala Dunia tersebut memang mengundang decak kagum. Bersinarnya Si Keledai Kecil, julukan Ortega, sekaligus menghapuskan label penerus Maradona yang melekat pada Diego Latorre beberapa tahun sebelumnya. Meskipun namanya diorbitkan River Plate, tapi kelihaiannya mengolah bola, serta perangai bengalnya semakin mempertegas kalau dirinya punya kesamaan dengan sang legenda hidup.
Kepindahan Ortega ke Valencia pada musim panas 1997, merupakan awal kemerosotan performa Ortega. Pun demikian, ia masih mendapatkan privilege mengemban nomor punggung 10 di timnas. Kartu merah yang ia dapatkan secara konyol akibat menanduk kiper timnas Belanda, Edwin van der Sar, di laga perempat final Piala Dunia 1998 mungkin adalah hal yang paling monumental yang pernah ia sumbangkan bagi fans Argentina.
Entah apa yang sebenarnya terjadi kepada Ortega. Bisa jadi ulahnya di dalam dan luar lapangan yang tak terkendali adalah bentuk ketidakmampuannya untuk menanggung beban dari seorang “Tuhan” seperti Diego Maradona di Piala Dunia 1994. Kemampuan potensial yang dimiliki Ortega seakan tenggelam oleh pemberitaannya yang kerap indisipliner, kecanduan alkohol, hingga pernah terkena sanksi bermain lantaran lari dari kontrak di Fenerbahçe.
Menyoal predikat “Next Maradona”, tentu tak hanya Ortega yang menyandangnya. Beberapa pemain lain di periode setelahnya, bahkan mendapat semacam pengakuan langsung dari Diego Maradona. Sekali waktu, Javier Saviola pernah dinobatkan sebagai penerusnya. Pablo Aimar juga sempat mendapat predikat tersebut. Jangan lupakan pula Juan Roman Riquelme, engance terakhir yang dimiliki Argentina dan sepakbola modern. Riquelme bahkan sempat bersitegang dan menolak bermain untuk timnas yang dilatih Maradona.
Begitupun dengan Andres D’Alessandro, gelandang kecil lincah yang Maradona sebut sebagai pemain yang membuatnya paling menghibur dan berpotensi meneruskan jejaknya. Pemain yang dulunya bekerja sebagai petugas pengantar pizza, kala itu tengah menjadi perbincangan.
Bagaimana tidak, karena torehan 20 gol dari 70 laga bersama River ia disebut sebagai salah satu tumpuan timnas Tango. Beda lagi yang Maradona lakukan kepada bintang muda Boca Juniors, Carlos Tevez. Suatu ketika, Tevez pernah Maradona sebut sebagai: “Nabi Argentina di Abad ke-21.”
Carlos Tevez, kelak tak menjadi nabi atau mesiah bagi Argentina, namun dirinya membuktikan bisa lari dari bayang-bayang “Next Maradona”. Ia kemudian berkembang dengan caranya sendiri: Tanpa bergabung dengan Barcelona, atau berkiprah di Italia seperti Maradona. Tevez akhirnya bisa menciptakan legacy sendiri dan tetap menjadi legenda bagi Boca Juniors.
Di luar Argentina, Maradona punya arti sendiri: Gelandang paling teknikal dan paling jago pada generasinya. Ada julukan Maradona of the Carpathians yang disandang pemain timnas Rumania kala itu, Gheorghe Hagi. Dari Georgia, Georgi Kinkladze dijuluki Maradona of the Caucasus, atau Tugiyo, pahlawan PSIS kala menjuarai Liga Indonesia 1999/2000 yang dijuluki Maradona Indonesia. Untuk yang terakhir ini, kadang pandit sepakbola Indonesia kelewat mengggelikan.
Semua nama-nama “Penerus Maradona” ini memang tak berakhir sebagaimana harapan publik sepakbola Argentina. Tapi satu hal yang pasti, ternyata fenomena ini sudah tak tampak lebih dari satu dekade lamanya.
Kemunculan Lionel Messi yang mengguncang sepakbola Eropa pada pertengahan 2005 sempat memunculkan sedikit pelabelan ini. Meskipun pada akhirnya, Messi bisa memberikan tren baru yakni “Next Messi”. Kegemilangan La Pulga -julukan Messi– di kancah Eropa ternyata tak memberikan efek kepada timnas Argentina. Ia hanya mampu memberikan 1 medali emas Olimpiade 2008 serta Piala Dunia U20.
Messi juga tak pernah menjadi pahlawan bagi publik Argentina. Hijrah ke Barcelona saat usianya masih 14 tahun, membuat tak ada keterikatan yang pekat antara masyarakat Argentina kepadanya, pun sebaliknya. Inilah yang membuat Messi tak “se-Maradona” itu.
Mungkin persamaan dirinya dan Maradona hanyalah pemain kidal dari Argentina, pernah bermain di Newell’s, dan sama-sama jago mengolah bola sebagai No. 10. Berbeda dengan Ortega atau Tevez, misalnya, yang sama-sama berkelakuan bengal, tempramental, dan menjadi pahlawan lokal di El Monumental atau La Bombonera. Label yang terpasang pada kerah baju mereka kemudian berganti menjadi “Next Tevez”, atau “Next Messi”.
Dari Latorre hingga Messi, pada akhirnya “Next Maradona” hanya akan menjadi label yang berfungsi sebagai pemenuh ekspektasi publik sepakbola Argentina. Selebihnya, tergantung bagaimana sang pemain bisa memindahkan beban berat yang mereka pikul di bahu mereka. Karena bagaimanapun, bayangan tak akan bisa melampaui sosok asli, juga tak akan berlari melampaui. Karena Diego Armando Maradona, terlalu sulit untuk dilampaui oleh “bayangan-bayangannyanya” di kemudian hari.