Obituari untuk Vichai, Dari Masyakarat Leicester

Foto: Goal.com

Kabar resmi itu akhirnya datang. Vichai Srivaddhanaprabha, Pemilik Leicester City, meninggal dunia. Bersamaan dengan kepergiannya, banyak hal-hal tertinggal dan terkenang dalam sanubari beberapa pihak, terutama Leicester dan Thailand.

Pada Sabtu (27/10/2018) malam WIB, Vichai mengalami sebuah kejadian nahas. Helikopter pribadi yang dia tumpangi jatuh, tidak jauh dari King Power Stadium, markas Leicester City. Malam itu, di tempat yang sama, Leicester sendiri sedang bertarung melawan West Ham dalam ajang Premier League musim 2018/2019.

Sontak, peristiwa yang terjadi hanya dalam jarak 180 meter dari stadion itu membuat beberapa orang panik. Tidak cuma para suporter dan pemain saja, tapi juga dari semua pihak. Setelah pihak kepolisian setempat melakukan penyelidikan menyeluruh, juga melakukan analisis tentang siapa-siapa saja yang menjadi korban, titik terang mulai terlihat.

Bersama dengan para penumpang lain, Vichai dikabarkan meninggal dunia. Pihak kepolisian mengonfirmasi bahwa tidak ada korban selamat dari peristiwa tersebut, apalagi, setelah terjatuh, helikopter langsung terbakar. Awan hitam pun menggelayuti kota Leicester. Semua berduka. Sosok ramah itu kini tiada.

***

Pada 2010 silam, Anda mengambil sebuah langkah yang aneh. Sebagai pemilik dari perusahaan King Power dan juga konsorsium Asia Football Investments, Anda memutuskan untuk mengakuisisi Leicester City dengan mahar 39 juta poundsterling. Jujur, apa yang Anda lakukan ini sedikit aneh di mata kami, para pendukung Leicester.

Leicester City bukanlah klub yang besar-besar amat. Dibandingkan klub-klub lain macam Manchester United maupun Liverpool, torehan terbaik kami di Inggris hanyalah menjadi juara Piala Liga Inggris sebanyak tiga kali. Seharusnya, Anda meniru langkah-langkah seperti yang dilakukan Roman Abramovich: mengakuisisi Chelsea, menjadikannya klub besar, dan jadi miliarder terkenal.

Tapi, Anda tidak. Anda memilih untuk memulai dari bawah. Saat melakukan akuisisi, Leicester masih berada di Divisi Championship. Anda memulai langkah demi langkah untuk menjadikan Leicester City tim yang mapan, baik secara finansial maupun secara kekuatan skuat. Pertama-tama, yang Anda lakukan adalah Anda membayar lunas utang klub.

Hal itu menjadi tonggak awal dari kestabilan klub. Setapak demi setapak, efek dari perbaikan yang Anda lakukan mulai memperlihatkan hasil. Dari musim ke musim, posisi kami di klasemen Divisi Championship membaik. Puncaknya, pada musim 2013/2014. Leicester sukses menjuarai Divisi Championship dan berhak naik ke Premier League.

Betapa senangnya kami, pihak Leicester, saat itu. Impian untuk tampil di kompetisi tertinggi level Inggris itu menjadi nyata. Kami bisa bersua lagi dengan tim-tim macam United, Liverpool, Arsenal, dan yang lainnya. Pengalaman seperti ini tentu tak ternilai harganya, walau mungkin di musim perdana, kami akan sulit bersaing.

Prediksi itu benar. Musim perdana di Premier League musim 2014/2015 tidak berjalan mulus. Kami sulit bersaing dengan kekuatan skuat yang seadanya. Kami berjuang sebisa mungkin agar tidak kembali jatuh ke Divisi Championship, hingga akhirnya di saat-saat terakhir, kami berhasil selamat berkat hasil apik di empat laga akhir liga.

Akibat dari prestasi pas-pasan musim 2014/2015, ekspektasi tidak terlalu menyeruak di skuat kami memasuki musim 2015/2016. Sosok Anda yang sederhana dan penuh kekeluargaan mengajarkan kami bahwa kesatuan tim adalah hal utama. Gelar hanya sekadar pelengkap, karena kebersamaan di dalam tim jauh lebih penting.

Namun, justru dengan kekuatan kebersamaan itulah, kami bisa menghentak. Musim 2015/16 tidak akan kami lupakan. Kebersamaan serta hadirnya sosok-sosok yang mau bekerja keras macam Jamie Vardy, N’Golo Kante, serta Riyad Mahrez membuat kami percaya bahwa mimpi bisa diraih.

Perlahan-lahan, tim macam Manchester City, Liverpool, Chelsea, dan Manchester United kami tendang. Tottenham Hotspur yang mengejar tanpa lelah sampai akhir juga kami tinggalkan. Di akhir musim, kami menahbiskan diri menjadi juara. Langit Leicester begitu biru hari itu, kalau tidak salah Mei 2016. Kesabaran dan kebersamaan yang selalu Anda tanamkan kepada kami, berbuah gelar juara Premier League.

Sebagai juara, kami pun berkesempatan untuk tampil di Liga Champions, kompetisi para tim elit Eropa, pada musim selanjutnya. Di situ kami pun berbangga, karena meski akhirnya kami hanya sukses melaju sampai babak delapan besar, tim-tim macam Porto dan Sevilla bertekuk lutut di hadapan kami. Atletico Madrid juga kami beri waktu sulit.

Setelahnya, meski sulit lagi bagi kami untuk menjadi juara, Leicester tetap stabil di ajang Premier League. Mahrez dan Kante akhirnya memutuskan pergi, tapi kebersamaan dalam tim yang selalu Anda ajarkan, tetap berada di dalam sanubari kami. Di kota yang, katanya, semua penduduknya berdiri sama tinggi, duduk sama rendah.

***

Kami tahu, di samping kebahagiaan yang pernah Anda hadirkan di Leicester, ada sisi-sisi lain dari diri Anda yang juga tidak disukai publik, terutama masyarakat Thailand. Publik Thailand menganggap bahwa Anda adalah pribadi tertutup, dan tidak mau diwawancara oleh wartawan barang satu atau dua pertanyaan saja. Itu adalah hal aneh.

Di Leicester pun, sedikit omongan yang Anda berikan kepada wartawan. Bahkan, jarang nama Anda muncul di koran atau majalah, berbeda dengan Roman yang kerap menampakkan wajah di koran atau majalah. Anda lebih banyak diam dan menyerahkan semua urusan kepada orang yang Anda percaya.

Tapi, kami tahu bahwa di balik diam tersebut, Anda bekerja. Semangat kerja inilah yang sukses Anda tularkan, menjadikan kami pribadi yang tidak mudah menyerah dan terus mau berusaha. Dipadukan dengan kesederhanaan, itulah yang membentuk Leicester City sekarang.

Selamat jalan, Vichai, semoga arwahmu tenang di alam sana. Semangat dan kesederhanaan yang Anda ajarkan akan menjadi sesuatu yang akan terus kami bawa di jiwa ini, jiwa masyarakat Leicester, kini dan nanti.