Papua dan Sepakbola Indonesia

Foto: PSSI.org

Beberapa hari terakhir, nama Papua mencuat dalam pemberitaan di berbagai media. Mungkin para pembaca semua sudah tahu berita apa yang sedang beredar sekarang terkait provinsi di Timur Indonesia itu. Saya memilih untuk diam dan tidak mau terbawa arus terkait pemberitaan tersebut.

Bagi saya, Papua adalah sepakbola. Papua kerap dikenal sebagai surganya pesepakbola hebat. Tempaan alam yang indah serta bakat alami yang mereka miliki, sukses membuat para pesepakbola Papua dikenal sebagai pemain yang memiliki fisik dan kecepatan yang mumpuni. Tak ayal, mereka kerap menjadi langganan di beberapa kesebelasan serta tim nasional.

Saya adalah termasuk orang yang kaget ketika pada Piala AFF 2018 lalu, pelatih Bima Sakti tidak membawa satu pun pemain Papua dalam skuadnya. Inilah untuk pertama kalinya tim nasional Indonesia tidak membawa salah satu mutiara hitam untuk bermain dan berjuang demi nama garuda di dada. Padahal, ada beberapa pemain yang saat itu layak untuk dipanggil coach Bima. Satu-satunya perwakilan Indonesia Timur hanyalah sosok Rizky Pora yang berasal dari Ternate, Maluku Utara.

“Saya mohon maaf kali ini tidak ada pemain yang berasal dari Papua. Namun, tidak ada tujuan lain. Semua demi tim dan saya menilai Papua punya banyak pemain bagus. Mungkin dalam ajang selanjutnya, mereka yang berasal dari Papua bisa diikutsertakan,” ujar Bima Sakti pada saat itu.

Relasi antara Papua dan sepakbola Indonesia memang sudah terjalin cukup panjang. Dimulai dari Dominggus Waweyai, berlanjut di era Rully Nere, Boaz Solossa, hingga yang teranyar generasi Todd Rivaldo Ferre. Mereka semua adalah representasi Papua di tim nasional Indonesia.

Tidak hanya sebagai penghias, para pemain Papua dalam sepakbola Indonesia juga dikenal sebagai tulang punggung. Rully Nere, Aples Tecuari, Chris Yarangga, Eduard Ivakdalam, Boaz Solossa, Yanto Basna, dan Ruben Sanadi, adalah beberapa nama yang kerap nangkring dalam susunan starting Xi.

Menjelang kualifikasi Piala Dunia 2022, pelatih Simon McMenemy kembali memanggil dua pemain Papua. Mereka adalah Rudolof Yanto Basna dan Yustinus Pae. Tentu ini menjadi sebuah angin segar bagi mereka yang sudah rindu akan hadirnya pemain-pemain Papua dalam tubuh tim nasional. Sebelumnya, Simon juga sempat memanggi Ruben Sanadi.

Pemain Papua rata-rata memiliki semangat dan determinasi yang tinggi. Mereka punya rasa lapar untuk mencari kemenangan. Tidak hanya itu, keberadaan di atas lapangan bisa mengubah jalannya pertandingan. Apa yang terjadi pada babak penyisihan grup Piala Asia U-19 mungkin bisa menjadi bukti. Tertinggal 6-1 dari Qatar, timnas bangkit dan mengamuk dengan empat gol setelah Todd Ferre masuk ke dalam lapangan. Meski kalah, namun penampilan tersebut mendapatkan apresiasi yang sangat tinggi di mata para pendukungnya.

Kita juga belum lupa bagaimana pentingnya dua Solossa yaitu Boaz dan Ortisan dalam perjalanan Indonesia pada Piala Tiger 2004. Kakak beradik ini menjadi pembeda baik di lini belakang maupun di lini depan. Bukti vitalnya mereka berdua terlihat saat kedua nama ini tidak ada dalam laga final melawan Singapura.

Simbol Kesuksesan Indonesia di Asia

Kehebatan Papua dalam sepakbola Indonesia bisa dilihat dari penampilan klub-klub mereka ketika bermain di liga. Rata-rata dari mereka sangat sulit dikalahkan. Masih ingat dengan Persiwa Wamena? Tim ini memiliki stadion yang cukup angker bernama Stadion Pendidikan. Saya ingat pada musim kompetisi Liga Super 2010, Arema Indonesia menjadi salah satu tim yang bisa mengalahkan mereka di kandangnya.

Persiwa juga pernah finis pada urutan dua Liga Super Indonesia 2009. Mereka sukses finis di atas tim-tim tradisional seperti Persib, Persija, dan PSM. Saat itu, Papua mendominasi kompetisi Indonesia karena Persipura Jayapura menjadi juara ISL untuk pertama kalinya.

Berbicara soal Persipura maka kita akan membicarakan sebuah kesebelasan tersukses di tanah air. Mutiara Hitam adalah pengoleksi gelar liga terbanyak sejak format Liga Indonesia diputar pada 1994. Mereka empat kali menjadi yang terbaik dengan rincian satu kali menjadi juara Liga Indonesia (2005) dan tiga kali menjadi juara Liga Super Indonesia (2008/09. 2010/11, 2013).

Sepanjang 2008/09 hingga 2014, Persipura tidak pernah keluar dari posisi dua besar. Selain itu, mereka juga menjadi simbol kesuksesan wakil Indonesia di level Asia. Pada 2014, Titus Bonai dkk melangkah ke semifinal AFC Cup sebelum dikalahkan Al Qadsia yang kemudian menjadi juara turnamen tersebut. Inilah prestasi tertinggi yang bisa diraih wakil Indonesia di kompetis Asia.

Dominasi Persipura saat itu sempat membawa mereka berada pada urutan ke-28 dalam koefisien klub Asia. Namun per 2018 lalu, posisi mereka sudah terjun bebas ke urutan 107. Meski begitu, Persipura masih menjadi klub dengan posisi paling baik dibanding klub-klub lainnya. Hanya Persib Bandung yang lebih bagus dari mereka (106).

Tidak hanya Persipura dan Persiwa, dulu Papua juga punya Persidafon Dafonsoro, Persiram Raja Ampat, hingga Perseru Serui yang dalam dua musim terakhir bisa menghindari degradasi dengan cara yang memukau. Aspek finansial kemudian membuat satu per satu klub ini menghilang dari peredaran dan hanya menyisakan Persipura saja yang berada di kompetisi tertinggi.

Cerita Unik Papua di Sepakbola Indonesia

Pulau paling timur di Indonesia ini juga kerap menyajikan kisah-kisah unik di dunia si kulit bundar Indonesia. Jelang pertandingan Divisi Satu 1984 melawan Perseden Denpasar, pelatih Paul Cumming pusing bukan main ketika pilar utama mereka, Adolof Kabo sedang dipapah dua ofisial mereka. Adolof dipapah bukan karena mengalami cedera melainkan ia habis mabuk setelah minum sepuluh botol besar pada malam sebelumnya. Saat itu, baik Cumming dan Kabo bertekad membawa Perseman Manokwari ke empat besar divisi satu.

Cumming masih cemas ketika melihat Adolof terjatuh saat melakukan pemanasan. Beberapa kali gerakannya oleng dan berlari agak miring. Namun siapa yang menyangka kalau mabuknya Adolof bisa membuat dia mencetak gol jarak jauh 30 meter dan membawa Perseman menang 1-0 sekaligus lolos ke empat besar.

Pada babak empat besar Cumming menjanjikan bonus kepada pemainnya berupa kebebasan untuk meminum minuman keras berapa pun jumlahnya. Namun dengan catatan Perseman bisa mengalahkan PS Bengkulu pada pertandingan final. Janji itu sukses dipenuhi dan para Perseman bisa berpesta pora. Adolf sendiri mengaku bahwa minum-minum adalah tradisi yang bisa dilakukan rekan-rekannya saat itu. Hal ini juga ditegaskan oleh Ricardo Salampessy saat diwawancarai salah satu penulis kami, Aun Rahman, pada 2016 lalu.

“Kalau boleh jujur, urusan minum ini juga menjadi alasan kenapa banyak bakat Papua yang meredup. Namun itu terjadi dulu sekali dan sekarang sudah jarang bahkan hampir tidak ada. Saya juga minum jika ada kegiatan tapi yang jadi masalah ketika pemain itu mabuk. Itu yang tidak baik,” tutur Ricardo.

Cerita unik tidak berhenti sampai disitu. Pada final sepakbola PON 1993, Papua (saat itu Irian Jaya) berhasil meraih medali emas setelah mengalahkan Daerah Istimewa Aceh dengan skor 6-3. Satu gol David Saidui saat itu dikenang oleh sejarah karena cara mencetak golnya yang begitu eksentrik.

Kesalahan penjaga gawang Zulfan dan bek Tarmizi membuat David Saidui berhadapan dengan gawang kosong. Alih-alih menendangnya dengan keras, David memilih menghentikan bola tepat di garis gawang. Sambil duduk, ia kemudian mencetak gol melalui bokongnya. Berkat gol aneh tersebut, David keluar sebagai top skor dengan torehan sembilan gol.