George Sephton masih berusia 25 tahun ketika suaranya pertama kali bergema di stadion Anfield. Di hari yang sama pula, pesepakbola Kevin Keegan memulai debutnya di klub Liverpool. George hinga kini masih merasa, pekerjaannya adalah salah satu yang paling menyenangkan dibandingkan orang lain.
“Memenangkan gelar telah menjadi rutin dalam 20 tahun pertama saya di pekerjaan ini. Saya ingat [ketika] pulang ke rumahku pada Agustus 1984 dan mengatakan kepada istri saya bahwa tempat itu [Anfield] setenang katedral. Orang-orang muncul hanya karena tahu bahwa kami akan memenangkan trofi di akhir musim,”
“Sekarang, saya akan sangat senang jika kami memenangkannya sekali lagi dalam hidup saya. Itu salah satu ambisi terbesar dalam hidup saya“, terang George, mengutip BBC.
Pekerjaan George tidak hanya terdiri dari menyediakan hiburan pra-pertandingan kepada kerumunan Anfield, mengumumkan gol-gol yang terjadi dan memberi tahu fans yang hadir ke stadion tentang peristiwa mutakhir di seputaran klub. George juga punya pengalaman yang mungkin tak akan dia lupakan sampai ia mati kelak. Ia bercerita bahwa pernah ditodong senjata yang pelatuknya ditarik dihadapan wajahnya pada di final Piala Eropa, diancam akan dibunuh, hingga terperangkap langsung dalam peristiwa mengerikan Heysel.
Tiga puluh tahun tanpa sekalipun mengumumkan klubnya menjadi juara Liga Inggris, tentu suatu hal yang berat bagi George yang bekerja sebagai stadium announcer. Bila dihitung dari debutnya di 1971, berarti ia sudah 11 kali mengumumkan Liverpool menjadi juara Inggris.
Beberapa kali Liverpool nyaris menjadi juara Inggris ke-19 kalinya, namun lagi-lagi gagal. Terakhir, peluang itu harus pupus lantaran insiden “Gerrard’s slip” yang mengharuskan Liverpool merelakan titel juara 2018/2019 kepada Manchester City dengan selisih 2 poin saja.
Padahal seandainya musim kemarin Liverpool tidak takluk dari The Citizens di awal Januari 2019, itu akan menjadi pesta yang meriah dengan secara hattrick mengawinkan gelar Liga Champions dan Liga Inggris untuk ketiga kalinya setelah pernah mereka lakukan musim 1976/1977, dan 1983/1984.
Kali ini, di tahun ini, keraguannya dan juga seluruh fans Liverpool itu pun luntur. George, juga pendukung Liverpool di seantero Inggris bahkan Eropa, sudah jauh-jauh hari menyiapkan pesta itu. Pesta yang mungkin digelar paling meriah. The Reds yang di musim kelimanya bersama manajer Jerman, Juergen Klopp, unggul 25 poin dari Manchester City. Di musim 2019/2020, Liverpool seakan tanpa cela. Dari 29 laga yang telah dijalani, Liverpool berhasil menang 27 kali, sebelum akhirnya dihentikan Watford dengan skor 0-3 di akhir Februari lalu.
Para fans Liverpool jelas sudah menyiapkan draft kicauan twitter-nya jauh-jauh hari. Memikirkan maksimal 280 karakter apakah yang siap diketikkan untuk mengungkapkan rasa gembiranya sekaligus (tentu saja) menyindir para rivalnya. Bagi penguna instagram, mungkin mereka sudah siap-siap mengupload foto pemain Livepool mengangkat trofi juara disertai caption: “We won it 19 times!”
Mungkin juga sebagian sudah menyiapkan ceklis tentang bar mana yang hendak dikunjungi pada hari parade perayaan juara Liverpool. Bahkan mungkin juga, mereka rela tidur di pinggiran jalan agar dapat melihat iring-iringan bis yang mengangkut para pemain Liverpool bersama trofi Premier League pertamanya sepanjang sejarah klub. Penantian 30 tahun harus dirayakan dengan hingar-bingar. Bisa jadi, perayaan itu akan lebih meriah dari perayaan ulang tahun Ratu Elizabeth II sekalipun.
Harusnya pula, musim ini Liverpool bisa menggelar pesta kecil-kecilan di ruang ganti tamu Etihad Stadium pada akhir Maret lalu. Namun rupanya, semesta menginginkan “kesunyian” itu hadir kembali dengan cara yang lain. Tiba-tiba pandemi COVID-19 menyebar ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Inggris. Padahal, bulan Februari lalu Liverpool sudah merencanakan akan melakukan parade kemenangan mereka di 18 Mei 2020, usai laga pamungkas melawan Newcastle United.
Tak sedikit pula para fans rival mereka yang terlihat putus asa (dan menyedihkan) untuk memastikan Liverpool tidak dinobatkan juara musim ini (terutama fans Manchester United). Beberapa pundit melihat peluang untuk mencantumkan nama mereka dengan jelas untuk mendapat spotlight media-media besar dan memunculkan teori-teori mengapa Premier League musim bisa saja dihentikan dan berakhir tanpa adanya juara seperti liga Eredivisie, misalnya.
Bahkan pendukung Liverpool yang paling setia pun, sekarang mulai cemas dan menebak-nebak. Tapi kabar terakhir menyebutkan kalau Premier League siap digelar kembali bulan depan (Juni), yang artinya: Pesta itu akan segera disiapkan!
***
Dengan kasus terkini di Britania Raya yang terkonfirmasi sebanyak 265 ribu lebih terkena virus dan 37 ribu diantaranya meninggal dunia (data WHO per 28 Mei 2020), akan sangat berbahaya jika Liverpool mengadakan parade perayaan juara.
Jika kompetisi akan dimulai kembali 17 Juni 2020 dan akan berjalan seperti rencana untuk mengakhirinya di akhir Juli nanti, maka kecil kemungkinan akan terjadi pesta pora pendukung Liverpool. Sulit untuk membayangkan pesta yang dinanti-nanti selama 3 dekade lamanya, akan dirayakan hening. Tanpa parade bis merah yang biasanya melewati Allerton Maze, Queens Drive, West Derby Road, Leeds Street, dan berakhir di Blundell Street. Tanpa pesta pora di jalanan-jalanan Liverpool. Tanpa dihadiri 750 ribu orang yang berkerumun meneriakkan chants yang mengagungkan kebesaran Liverpool di jalanan Merseyside.
Dan George Shepton, sang Suara Anfield akan kembali menemukan “keheningan” itu di setiap sudut kota Liverpool. Mungkin lebih hening daripada yang pernah ia rasakan 36 tahun silam.