Pelajaran dari Piala Dunia 2018: Kuasai Bola dengan Benar

Piala Dunia 2018 sekarang sudah memasuki babak perempat final. Satu demi satu, tim demi tim mulai berguguran. Yang kuat dan cerdas menang, sedangkan yang lemah dan tumpul berpulang.

Dalam perjalanannya memasuki babak perempat final, beberapa tim sudah berpulang terlebih dahulu. Tak peduli tim besar maupun tim kecil, mereka yang kalah dan tidak mampu bersaing harus angkat koper lebih cepat. Jerman, Argentina, Portugal, dan Spanyol, walau status mereka adalah tim besar, tidak berkutik di ajang Piala Dunia 2018 ini.

Membicarakan tentang kegagalan tim-tim menjejakkan kaki di babak perempat final, ada satu hal menarik yang menyeruak ke permukaan, yaitu tentang penguasaan bola. “Telegraph” melansir, bahwa persentase kemenangan tim yang menguasai bola sebanyak 65% dalam suatu laga cukup kecil, yakni hanya 35,7%.

Persentase ini dibuktikan pula dengan kekalahan tim-tim yang menguasai bola lebih banyak di babak 16 besar. Argentina, walau menguasai 60% penguasaan bola dalam laga lawan Prancis, akhirnya menjadi pesakitan usai kalah dengan skor 3-4. Di laga lain, Spanyol, yang menguasai laga melawan Rusia dengan persentase penguasaan bola sebesar 79%, juga menderita kekalahan.

Jerman juga sama menderitanya. Walau banyak menguasai bola, mereka gagal lolos ke fase gugur usai menderita dua kali kekalahan dan hanya sekali menang. Malah, di laga terakhir fase grup melawan Korea Selatan, Jerman harus menderita kekalahan dengan skor 2-0, meski menguasai laga dengan persentase penguasaan bola mencapai 74%.

Melihat tren negatif “possession football” di Piala Dunia 2018 ini, menarik untuk disimak, apakah memang sepak bola yang menitikberatkan pada penguasaan bola sudah usang? Atau, apakah tim-tim yang disebutkan di atas tidak memeragakan cara menguasai bola yang baik?

Dominasi Bola

Johan Cruyff, maestro sepakbola asal Belanda, pernah mengungkapkan pendapatnya soal “possession football” ini. Ketika baru saja menangani Barcelona untuk pertama kalinya pada 1988, dia melakukan revolusi total di tubuh Barcelona yang sedang carut marut. Sebuah filosofi dia bawah, dan filosofi itu menjadi fondasi dari permainan Barcelona sampai saat ini.

“Ini adalah konsep dasar: ketika Anda mendominasi bola, Anda bisa bergerak dengan baik. Anda memiliki apa yang tidak dimiliki lawan, dan karena itu mereka tidak bisa mencetak gol. Orang yang bergerak menentukan bola bergulir ke mana, dan jika Anda menggerakkannya dengan baik, Anda bisa mengubah tekanan lawan menjadi keuntungan. Bola pergi ke tempat Anda mau,” ujar Cruyff.

Pada akhirnya, revolusi yang dilakukan Cruyff berbuah hasil manis. Akademi “La Masia” sukses dia perbaiki, sehingga dapat menyumbangkan pemain-pemain hebat macam Xavi, Andres Iniesta, Lionel Messi, dan Pep Guardiola. Secara prestasi klub, Cruyff sukses mengangkat derajat Barcelona dari tim olok-olok menjadi tim bertabur gelar, dengan raihan 11 trofi dalam delapan tahun masa kepelatihannya di Barca.

Dasar permainan Cruyff pada saat itu, seperti yang dia ucapkan, adalah penguasaan bola. Ketika menguasai bola, sebuah tim tahu dan bisa melakukan apa yang mereka mau. Ketika menguasai bola, sebuah tim bisa mendikte lawan sedemikian rupa, dengan metode-metode dan cara tertentu. Hal inilah yang pada akhirnya mengilhami beberapa orang, seperti Pep, maupun Timnas Spanyol di era jaya 2008 sampai 2014-an.

Salah Kaprah Penguasaan Bola

Ketika pertama kali melatih Barcelona, Pep meneruskan gaya melatih dari Cruyff ini. Dia juga membawa gaya kepelatihan ini ke Jerman (Bayern Muenchen) dan Inggris (Manchester City), yang keduanya berakhir dengan sukses. Pep, pada suatu masa, pernah mengungkapkan bahwa ilmu dari Cruyff inilah yang membekas pada dirinya dan berpengaruh terhadap cara pandangnya akan sepak bola.

“Johan Cruyff yang mengecat kapelnya, dan pelatih-pelatih Barcelona setelahnya hanya membangkitkan atau mengembangkan kapel tersebut,” ujar Pep.

Dari perjalanan apik Pep dan Cruyff inilah, lahir istilah “possession football” atau sepak bola yang menekankan pada penguasaan bola. Namun, berbeda dengan Pep dan Cruyff, beberapa tim acap salah kaprah soal penerapan penguasaan bola ini, sehingga pada akhirnya mereka kalah oleh tim yang menerapkan sistem pertahanan garis rendah (“low block”). Itu terjadi karena mereka mengumpan ke sana ke mari tidak karuan.

Pep, ketika mengasuh Barca, Bayern, dan City, memang memegang teguh prinsip penguasaan bola. Namun, dia tetap terbuka akan perubahan taktik, dan paham bagaimana cara mengatasinya. Dalam sebuah sesi latihan, tak jarang dia marah-marah kepada para pemainnya dalam sebuah sesi latihan, ketika ada sedikit kesalahan yang dilakukan para pemainnya dalam menguasai bola.

Hal inilah yang membedakan Pep dengan manajer lain yang juga menganut cara main “possession football”. Pep sudah berpikir lebih jauh, dan dia paham bahwa akan banyak anti-tesis yang muncul yang dapat memghentikan “possession football” yang dia terapkan (seperti halnya Mourinho pada musim 2009/2010 dan Roberto Di Matteo pada musim 2011/2012).

Maka, dia terbuka terhadap perubahan. Dasar main tetap sama, yaitu umpan-umpan pendek, tapi umpan-umpan pendek ini tak sekadar menjadi umpan-umpan pendek tanpa arti. Lewat umpan ini timnya berprogresi, dan lewat umpan ini pula timnya melakukan seperti apa yang diungkapkan Cruyff: mendikte lawan sesuai dengan keinginan kita.

Penguasaan bola di Piala Dunia

Hal inilah yang gagal dilakukan oleh pelatih-pelatih lain di ajang Piala Dunia 2018 ini. Penguasaan bola menjadi hampa, karena hanya berkutat pada umpan-umpan pendek, yang ujung-ujungnya hanya berakhir menjadi umpan silang semata. Model penguasaan bola seperti ini tentu dengan mudah dapat dihentikan lawan, karena tak ada makna yang berusaha untuk dimunculkan di dalamnya.

Alhasil, keluarlajh statistik “Telegraph” tersebut, bahwa tim yang menguasai bola dengan persentase 65% di Pial;a Dunia hanya memenangi laga dengan persentase 35,7% saja. Umpan-umpan pendek yang ada seolah hanya menjadi umpan-umpan tanpa akhir yang tiada memiliki arti.

***

Penguasaan bola, seperti halnya bertahan dengan rapat, adalah sebuah cara. Dia menjadi cara dari sekian banyak cara yang ditempuh sebuah tim untuk meraih kemenangan. Maka, layaknya sebuah cara, jika tidak dikembangkan, sebuah tim sebenarnya bisa memilih cara lain.

Dengan banyaknya tim berbasiskan penguasaan bola apik yang kalah di ajang Piala Dunia 2018 ini, ada yang bilang bahwa era penguasaan bola apik telah berakhir. Namun, hal ini tak bisa dibenarkan begitu saja, karena jika masih ada sosok-sosok yang revolusioner macam Pep, atau sosok-sosok lain di masa depan yang entah kita tidak tahu, penguasaan bola akan tetap jadi cara yang ditempuh sebuah tim untuk meraih kemenangan. Hanya modifikasinya saja yang kelak mungkin akan dilakukan secara berbeda.