Pelatih Baru, Jaminan Serie-A 2019/2020 Lebih Dinamis

Foto: Twitter Inter Milan

Bila bertanya siapa orang yang merasa statusnya paling tidak aman di dalam sebuah kesebelasan sepakbola, pelatih adalah jawabannya. Berbeda dengan pemain yang lebih sering berganti ketika jendela transfer dibuka. Sementara seorang pelatih sepakbola bisa diberhentikan ketika musim sedang berjalan.

Hal itu juga terjadi di Serie-A tentunya. Pada musim 2018/2019, terjadi pemecatan 11 pelatih kesebelasan sepakbola. Termasuk nama-nama mentereng seperti Eusebio Di Francesco dari AS Roma dan Stefano Pioli yang dipecat Fiorentina.

Ketika musim lalu itu berakhir, langkah strategis juga dilakukan enam kesebelasan Serie-A. Claudio Ranieri yang menggantikan Di Francecsco, kontraknya tidak diperpanjang Roma. Bahkan yang mengejutkan adalah tidak diperpanjangnya kontrak Gennaro Gattuso di AC Milan dan Massimiliano Allegri bersama Juventus.

Nasib Luciano Spalletti yang berhasil membawa Internazionale Milan ke Liga Champions musim depan pun lebih ironis karena harus dipecat. Di sisi lain, perubahan di kursi kepelatihan kesebelasan-kesebelasan Serie-A itu menjadi menarik sekaligus dinamika baru untuk musim depan.

Beberapa kesebelasan yang melepas pelatihnya musim lalu itu sudah menemukan alenatore terbarunya. Hal yang membuat menarik adalah para pelatih baru itu siap membuat Serie-A musim depan lebih dinamis atas filosofi-filosofi taktiknya masing-masing.

Kembalinya Orang Lama akan Ciptakan Persaingan Baru

Kembalinya Antonio Conte dan Maurizio Sarri adalah yang paling menarik dalam bursa pelatih Serie-A musim mendatang. Kedua pelatih itu baru kembali setelah mengenyam sepakbola di Liga Primer Inggris. Baik Conte dan Sarri, terakhir kali melatih Chelsea.

Conte sempat menganggur ketika dipecat Chelsea sejak akhir musim 2017/2018. Sementara Sarri baru mengakhiri karirnya di kesebelasan berjuluk The Blues itu pada akhir musim lalu. Tapi yang jelas bahwa keduanya telah mengenyam pengalaman melatih kesebelasan di Liga Primer Inggris yang ketat dalam penempatan posisi di klasemen.

Pengalaman itu yang menarik dan membuat keduanya mendapatkan gaya baru dalam filosofi melatihnya. Conte dan Sarri pun menjadi tahu bagaimana mengatur rotasi pemain lebih seksama karena merasakan tiga kompetisi domestik dan padatnya boxing day.

Tapi dari filosofi permainan, kedua pelatih ini memiliki gaya berbeda. Sederhananya, melalui formasi saja Conte mengandalkan 3-4-3 dan Sarri konsisten kepada 4-3-3. Cara kedua pelatih itu membangun serangan dan benteng pertahanan pun berbeda tentunya.

Ketika menyerang, Conte kerap memulai dari lini belakang dengan umpan-umpan jauh yang ditujukan kepada pemain sayapnya. Dari sayap, bola diumpan kepada penyerang tengah untuk menjadi peluang bagi rekannya atau langsung menjadi gol.

Maka dari itu Conte amat menyukai penyerang berbadan tinggi besar dan tangguh dalam duel-duel udara. Sementara Sarri, ia membangun serangan-serangan melalui umpan-umpan pendek yang dibangun dari lini tengah. Sementara para pemain sayapnya bermain agresif menyerang untuk membuat ruang bagi dirinya maupun penyerang tengah.

Lalu bagaimana dengan area pertahanan? Conte lebih memilih agar para pemainnya sabar merebut bola dari lawan. Ia memperhatikan kerapatan tiga beknya dan menuntut bek sayapnya agar bisa tepat waktu kala melakukan transisi bertahan.

Sementara Sarri sudah menginstruksikan para pemainnya melancarkan tekanan sejak lini tengah. Maka dari itu ia menuntut tiga gelandangnya sudah mendapatkan bola lebih cepat untuk mengambil kembali penguasaan bola. Di sisi lain, cerita menarik dari kedua pria ini adalah Conte merupakan legenda sekaligus mantan pelatih Juventus.

Keputusannya melatih Inter, tentu menuai kecaman besar bagi para pendukung Juventus karena berada di kesebelasan rival besarnya. Sementara Sarri, ia menunggangi beban berat kesuksesan pelatih-pelatih Juventus sebelumnya, selain Allegri, tentu saja Conte.

Tapi setidaknya Sarri punya pembuktian diri karena berhasil mempersembahkan gelar Liga Eropa musim lalu bersama Chelsea. Hal inilah yang bisa membuat pendukung Juventus optimis dengan keberadaan Sarri. Lagipula, sinisme pun pernah dialami Allegri sebelum ia sukses bukan?

Marco Giampaolo Naik Level, AC Milan Tetap Medioker?

Kesabaran Milan kepada Gattuso akhirnya telah habis. Kesebelasan berjuluk I Rossoneri itu pun akhirnya menunjuk Marco Giampaolo untuk menjadi pelatih baru Milan. Padahal, sebelumnya lebih ramai nama-nama seperti Conte, Di Francesco, Spalletti untuk menggantikan posisi Gattuso.

Nama-nama itu tentu berpengalaman berkompetisi di papan atas Serie-A dibanding Giampaolo. Tapi Giampaolo pun punya ciri khas filosofi tersendiri. Bersama Sampdoria, ia membangun garis pertahanan tinggi dan mengutamakan penguasaan bola dalam formasi 4-3-1-2.

Filosofi permainan Giampaolo itu mirip dengan Sarri. Wajar karena Giampaolo sempat meneruskan tongkat estafet kepelatihan Sarri di Empoli. Filosofi permainan itu jelas berbeda dengan Milan di era Gattuso yang cenderung lebih bertahan dan mengandalkan serangan balik.

Artinya, perlu ada penyesuaian Giampaolo bersama skuat Milan saat ini. Meskipun Giampaolo membuat Sampdoria cukup disegani selama musim lalu meski berada di papan tengah pada akhir musim. Dengan melatih Milan, artinya karir Giampaolo berhasil naik level di setiap musimnya.

Tapi target Milan untuk masuk ke zona Liga Champions musim mendatang agak sulit bagi Giampaolo yang belum punya pengalaman ke papan atas. Ia masih butuh waktu setidaknya dalam musim pertama ini untuk beradaptasi. Waktu adaptasi itu harus diterima dengan sabar oleh pera pendukung Milan jika dicap sebagai kesebelasan medioker.

Menanti Filosofi Sepakbola Paulo Fonseca

Di antara kesebelasan besar Serie-A lainnya, bisa dibilang Roma paling kompleks. Setelah memecat Di Francesco di pertengahan musim, sosok Claudio Ranieri yang membawa Roma ke tren positif justru tidak diperpanjang.

Begitu pun dilepasnya Daniele De Rossi dan Kostas Manolas pada akhir musim. Hal yang melegakan para pendukung Roma adalah memutuskan untuk mengontrak Paulo Fonseca sebagai pengganti Ranieri. Fonseca adalah pelatih yang baru membawa Shaktar Donetsk juara Liga Primer Ukraina ketiga kali secara beruntun.

Donetsk pun selalu menjadi ancaman bagi kesebelasan-kesebelasan lain di Liga Champions. Hal yang dinantikan dari ramuan Fonseca adalah gaya permainan sepakbola menyerangnya yang kerap dipraktekan dengan Shaktar. Fonseca biasa menggunakan formasi 4-2-3-1 bersama Shaktar.

Tapi sepakbola menyerangnya kerap membuat formasi berubah menjadi 2-4-4. Ketika kehilangan bola, para pemainnya akan secepat mungkin mencoba merebut bola dengan garis pertahanan yang tinggi. Terutama poros ganda yang akan bekerja keras untuk mendapatkannya.

Kemudian bola akan diberikan kepada dua bek tengahnya yang memiliki keterampilan menguasai dan mengoper bola dengan akurat. Dialirkannya kepada sayap yang kemudian bola diarahkan ke dalam kotak penalti lawan untuk menjadi gol.

Gaya permainan Fonseca ini akan mengingatkan Roma di era Zdenek Zeman. Hanya saja Fonseca tidak sefrontal Zeman. Jika Zeman sejak awal pertandingan sudah menumpuk pemainnya di wilayah lawan, Fonseca melakukannya secara perlahan mengikuti jalannya laga.

Tapi perlu perlu diingat bahwa Serie-A bukanlah kompetisi yang mudah. Apalagi untuk pelatih dengan filosofi menyerang yang tinggi. Sebab tidak mudah untuk mencetak gol di kompetisi tertinggi di Italia tersebut. Roma pernah mendatangkan terobosan dengan mengontrak Rudi Garcia juara di Ligue 1 Prancis.

Meski memberikan dobrakan, tapi Garcia tidak mampu membawa Roma menyingkirkan dominasi Juventus. Apalagi Foncesa saat ini terancam kehilangan pemain-pemain penting Roma. Meskipun Foncesa sudah terbiasa mengalami hal tersebut selama di Shaktar.

Jangan Lupakan Wajah Lama

Jelas bahwa para pelatih baru di kesebelasan-kesebelasan itu akan memberikan dinamika baru. Membuat Serie-A lebih menarik dan kaya akan filosofi taktik. Tapi tentu saja kita tidak bisa mengabaikan wajah-wajah lama yang mumpunni dan akan menjadi pengganjal mereka.

Seperti pelatih jempolan Napoli, yaitu Carlo Ancelotti yang kian menemukan ritme bersama kesebelasannya. Diyakini ia akan semakin berbahaya pada musim depan dan masih dalam garda terdepan untuk menghancurkan dominasi Juventus.

Selain Ancelotti, ada juga Gian Piero Gasperini yang membut Atalanta menjadi raksasa musim lalu. Hanya saja musim depan adalah ujian bagi Gasperini yang harus membagi prioritasnya dengan kompetisi sepakbola Eropa. Jangan lupakan juga dengan Walter Mazzarri bersama Torino dan Simone Inzaghi di SS Lazio.

Wajah-wajah lama itu masih merupakan pelatih hebat di Serie-A. Meskipun pada intinya, pelatih-pelatih baru di Serie-A akan memberikan dinamika taktik sehingga menjadi daya tarik pada musim depan. Bergabungnya Di Francesco bersama Sampdoria juga akan menjadi menarik untuk diikuti.

Meskipun filosofi sepakbola mantan Pelatih Roma itu sudah sering disaksikan pada musim lalu sekali pun. Maka dari itu kehadiran mereka sungguh membuat semakin tidak sabar untuk menyaksikan Serie-A musim depan. Sebab keberadaan merekalah yang memungkinkan perebutan scudetto 2019/2020 tidak akan membosankan.