Pemberontak, Persamaan Lionel Messi dan Diego Maradona

Foto: Fourfourtwo.com

Saat Pele menyebut bahwa Lionel Messi bukan pemain yang lebih baik dari dirinya dan Diego Armando Maradona, ia mungkin lupa bahwa Messi dan Maradona memiliki kesamaan. Mereka berdua sama-sama pemberontak.

Beberapa waktu lalu, Pele mengeluarkan pernyataan yang cukup kontroversial. Ia mengatakan bahwa Messi bukanlah pemain terbaik di dunia. Ia bahkan mengatakan bahwa Messi tidak lebih baik dari seniornya di Timnas Argentina, yaitu Maradona. Alasannya, Messi tidak memiliki kemampuan yang lengkap macam Maradona.

“Bagaimana mungkin Anda membandingkan seseorang yang baik dalam menyundul bola, piawai menendang menggunakan kaki kiri dan kanan, dengan pemaun yang hanya bisa menendang satu kaki dan tak bagus dalam menyundul bola? Bagaimana bisa Anda membandingkannya?” ujar Pele.

“Untuk dibandingkan dengan Pele, seseoroang harus bisa menendang sama baiknya, kaki kiri dan kanan, serta lihai juga mencetak gol menggunakan kepala. Sejauh yang saya tahu, Maradona merupakan salah satu pemain terbaik di dunia. Apakah ia lebih baik dari Messi? Ya, memang jauh lebih baik,” tambahnya.

Pele sah-sah saja berkata seperti itu. Tiga gelar Piala Dunia yang ia dapat (1958, 1962, dan 1970), serta total 619 gol dari 638 penampilan bersama Santos di level klub, membuatnya punya hak untuk membicarakan Messi seperti itu. Memang, dewasa ini semua orang juga punya hak untuk menyuarakan pendapat mereka dewasa ini.

Namun, Pele juga tidak boleh lupa, sebelum mengungkapkan pendapatnya tentang seorang pemain, ia memiliki data dan juga tahu bagaimana karier sang pemain. Terkhusus Maradona dan Messi, ia tak boleh lupa bahwa keduanya pernah berkelindan dalam jalan karier yang sama: bergabung bersama pemberontak.

Kisah Maradona dan Italia Selatan

Sekitar 1980-an, kondisi Italia memanas. Negeri di semenanjung Eropa tersebut terbagi menjadi dua kubu, yakni Italia Utara dan Selatan. Pada masa tersebut, Italia Utara dengan kota Turin dan Milan sebagai pusatnya, sudah menguasai berbagai hal terlebih dahulu, salah satunya adalah sepakbola.

Di sisi lain, Italia Selatan masih dalam kondisi buruk. Segala hal negatif macam mafia dan kejahatan-kejahatan bawah tanah, selalu dikaitkan dengan mereka. Pulau Sisilia dengan Catania dan Palermo, serta kota Naples tempat Napoli berada, acap dikaitkan dengan praktik mafia. Di sepakbola, tak ada juga tempat bagi klub-klub Italia Selatan di masa itu.

Inter dan AC Milan, ditambah Juventus, bergantian menguasai Italia di era tersebut. Sulit bagi klub-klub Italia Selatan menggeser dominasi mereka, sampai akhirnya Maradona datang ke Napoli pada 1984. Disambut oleh sekira 75.000 orang di Stadion San Paolo, pendukung Napoli menganggap malaikat telah datang ketika Maradona hadir. Malaikat yang akan membantu mengangkat derajat Italia Selatan jadi lebih baik di sepak bola.

Harapan itu menjadi nyata. Sejak Maradona datang, diiringi juga dengan kemunculan talenta-talenta lain macam Ciro Ferrara, Salvatore Bagni, Fernando De Napoli, Bruno Giordano, dan Careca, Napoli mencuat. Mereka mulai menjejakkan kaki mereka di antara para penguasa Serie A dari utara, dengan Maradona yang menjadi pemimpin di dalam skuat.

“Saya tidak suka fakta bahwa sekarang (saat itu 1990), orang-orang Napoli dipaksa untuk menjadi pendukung Timnas Italia. Naples selalu termarjinalkan dari Italia. Naples selalu menjadi korban perilaku rasial yang tidak adil dari seantero Italia,” ungkap Maradona.

Bisa dibilang, selama membela Napoli sejak 1984 sampai 1991, dengan 2 gelar Serie A, dua kali jadi runner-up Serie A, 1 gelar Coppa Italia, 1 gelar Piala UEFA, serta 1 gelar Piala Super Italia, jiwa pemberontak a la Boca milik Maradona dengan jiwa pemberontak Naples atas ketidakadilan di Italia saling bersilang sengkarut. Tak heran, Maradona dan Napoli bergabung menjadi entitas yang sanggup mengangkat derajat Italia Selatan di kancah sepakbola Italia.

Maradona menjadi ritus, meski ia pada akhirnya harus minggat dari sana pada 1991, para pendukung Napoli sudah menganggapnya sebagai dewa. Mural Maradona di Naples bisa Anda temukan di mana-mana, menjadi pengingat bahwa dahulu kala, ada seorang pemberontak yang memimpin Italia Selatan mengangkangi Italia Utara dan Italia secara keseluruhan.

Sama Seperti Maradona, Messi Juga Pemberontak

Sebenarnya kisah Messi dengan Barcelona lebih serupa ucapan terima kasih. Terancam dengan penyakit hormon pertumbuhan pada usia 10 tahun, Messi ditolong oleh Barcelona yang merawatnya dengan suntikan hormon pertumbuhan sampai usia 14 tahun. Ibaratnya, jika tak ada Barcelona, Messi yang sekarang kita kenal tidak akan ada.

Namun, dalam perjalanannya sebagai pemain Barcelona, Messi juga menjelma menjadi ritus. Posisi Barcelona sebagai klub pemberontak di Spanyol–efek dari Perang Sipil Spanyol dan juga efek represi dari Jenderal Francisco Franco–membuat sosok Messi dianggap sebagai pemimpin para pemberontak. Apalagi, kemampuannya juga serupa nabi. Ia sulit dihentikan, dan selalu menunjukkan magis di kala genting.

Selama Messi berada di Barcelona, klub asal Catalunya itu mampu meraih berbagai prestasi apik. Sampai sekarang, Barcelona sudah meraih 9 trofi La Liga, 6 trofi Copa del Rey, 8 trofi Piala Super Spanyol, 4 trofi Liga Champions, 3 trofi Piala Super Eropa, dan 3 trofi Piala Dunia Antarklub. Dalam beberapa laga El Clasico melawan Madrid, mereka sanggup mengangkangi tim asal ibukota Spanyol tersebut.

Pelan-pelan, Messi yang memang sudah datang di klub sejak belia, mulai memahami akan hal ini. Jiwa pemberontaknya muncul, berkelindan dengan jiwa pemberontak para suporter Barcelona yang sudah tertanam di klub dan di Camp Nou sejak lama. Saat krisis di Catalunya terjadi pada Oktober 2017 silam, sebuah video di Instagram menangkap anak Messi, Mateo, menyanyikan lagu kebangsaan Catalunya.

Di jalanan Barcelona, seperti halnya Maradona di Naples, sosok Messi sudah jadi mural-mural di tembok bangunan. Mural yang mengingatkan, apalagi Messi sekarang memasuki usia senja, bahwa pernah ada pemimpin pemberontak yang mampu mengantar Catalan berprestasi di Spanyol dan Eropa, meski ia bukan asli dari Catalan.

Ya, ia adalah Lionel Messi. Sosok kelahiran Rosario, mencintai Argentina, tapi hidup sebagai pemberontak di Barcelona. Meski sempat menyatakan akan keluar dari Barcelona jika Catalunya memisahkan diri dari Spanyol, hal itu tampaknya akan sulit terjadi.

***

Maradona dan Messi sama-sama dari Argentina. Mereka juga sama-sama menjalani hidup bersama sepakbola. Keduanya sudah menjadi legenda hidup negara Argentina. Hal ini juga dirasakan Pele yang sekarang sudah menjadi legenda hidup di Brasil berkat torehan yang ia raih di Piala Dunia.

Namun, perlu Pele ketahui bahwa Maradona dan Messi, meski ia sebut bahwa Maradona lebih baik, pernah atau sedang menjalani hidup yang sama. Keduanya sama-sama hidup sebagai pemberontak, membela klub yang, berada sebagai oposisi di negara tempat klub tersebut bernaung. Itu tentu hal yang mengasyikkan, karena saat pemberontakan itu berhasil, akan ada kepuasan tambahan yang didapat.

Nah, pertanyaannya, apa Pele pernah merasakan itu? Ia yang sepanjang hidupnya selalu berada di Santos, pernahkah merasakan membela pemberontak layaknya Messi dan Maradona? Atau, mari kita kecilkan skalanya. Pernahkan Pele berani mengambil langkah layaknya Socrates yang memberontak pemerintahan korup Brasil bersama Corinthians?