Perempuan di Tribun Sepakbola

Piala Dunia 2018 Rusia bukan hanya menghadirkan pertandingan sarat kejutan, aksi-aksi kontroversi, rekor-rekor yang terpecahkan, serta kutukan-kutukan yang tidak sirna. Ada pula aturan yang disambut gembira dan juga kritikan, seperti penerapan Video Assistant Referee (VAR) dan aturan fair play untuk menentukan siapa yang lebih layak masuk ke fase gugur andai dua atau lebih tim mempunyai poin yang sama, selisih gol yang sama dan duel di antara mereka berakhir imbang.

Kritikan terhadap VAR sudah didengungkan sejak jauh-jauh hari, sebelum putaran final digelar. Begitu pun dengan kritikan terhadap aturan fair play oleh Senegal yang merasa kecewa dengan permainan Jepang yang mencari aman dengan berusaha agar tidak kebobolan lebih banyak kala melakoni laga terakhir fase grup versus Polandia.

Menghilangkan Kebiasaan

Foto: California.nris.com

Jelang partai puncak yang mempertemukan Perancis versus Kroasia, FIFA selaku penyelenggara meminta juru kamera dan stasiun televisi pemegang hak siar untuk tidak menayangkan perempuan-perempuan yang berada di dalam stadion, khususnya yang berpakaian seronok atau berparas cantik.

Penayangan suporter-suporter cantik di dalam stadion lumrah dilakukan dan bahkan seakan menjadi tradisi, entah pada Piala Dunia, Euro, Copa America, atau bahkan di Liga Indonesia. Aksi tersebut kerap dianggap sebagai penyegaran dan membuat para pemirsa televisi sedikit santai dari tegangnya sebuah laga, walau tayangnya hanya beberapa detik. Tidak jarang juga ada perempuan berparas cantik yang hanya mengenakan baju renang alias bikini.

Namun FIFA kini menganggap praktik tersebut harus dihentikan, baik saat ini dan di kemudian hari. Alasannya lebih kepada menghentikan aksi diskriminasi, bukan karena dapat menimbulkan syahwat.

“[FIFA akan] mengambil sikap terhadap apa-apa saja yang salah,” ucap Federico Addeichi, sebelum pertandingan semi-final antara Inggris versus Kroasia, seperti dinukil dari BBC Sport.

“Kami telah melakukannya dengan para pemegang hak siar individual dan juga penyiar tayangan [penyedia hak siar].”

“Ini adalah salah satu aktivitas yang pastinya akan kami terapkan di masa mendatang, sebuah evolusi normal.”

Padahal awalnya Piala Dunia 2018 Rusia dikhawatirkan menjadi ladang aksi kekerasan dan rasisme di dalam dan di luar stadion, tapi jelang partai final tidak ada insiden besar yang menarik perhatian masyarakat, tidak seperti di Euro 2016 Perancis.

Akan tetapi sebuah grup anti diskriminasi, Fare Network menyebut aksi seksime lah yang menjadi masalah besar di negara Tirai Besi itu. Menurut Piara Power selaku direktur eksekutif organisasi tersebut, seperti dikutip dari BBC, ada 30 kasus dilaporkan dan kebanyakan perempuan tuan rumah-lah yang menjadi korban. Beberapa ada yang dipaksa disentuh atau dicium oleh lelaki tanpa seizin yang sang perempuan.

Suporter Perempuan Iran

Foto: Washington Post.

Berkenaan dengan peremouan dan sepakbola, masyarakat dunia bersorak gembira setelah pemerintah Iran memperbolehkan kaum Hawa menonton secara langsung pertandingan sepakbola untuk pertama kalinya sejak tahun 1979. Seperti diketahui pemerintah Iran melarang para perempuan untuk memasuki stadion demi memberikan dukungan karena para pemain mengenakan celana pendek.

Pelarangan tersebut sempat diharapkan untuk dicabut jelang laga perdana Tim Meli melawan Maroko, tapi pada pertandingan melawan Spanyol-lah para perempuan dipersilakan memasuki stadion. Stadion Azadi Iran sebagai tempat acara nonton bareng pun tidak didominasi lagi oleh kaum Adam.

“Kemarin malam [kala melawan Spanyol] setelah beberapa konfirmasi, para fans [perempuan] bisa membeli tiket untuk menonton di Stadion Azadi. Mereka cukup bersemangat untuk memasuki gerbang Stadion Azadi untuk pertama kalinya, tapi beberapa berkata mereka tidak bisa mempercayainya sampai akhirnya masuk ke dalam,” kata OpenStadiums, sebuah grup yang mengkampanyekan akses bagi kaum Hawa untuk menyaksikan secara langsung kegiatan-kegiatan olahraga di Iran, seperti dikutip dari The Guardians.

Bek La Roja, Sergio Ramos, yang juga berperan sebagai duta Unicef, menanggapi positif pencabutan pelarangan tersebut. Walau timnya bisa menang tipis 1-0, tapi masyarakat Iran-lah yang menjadi pemenang karena bisa menumbangkan aturan seksisme.

Pencabutan pelarangan ini tidak hadir dengan mudah dan harus melalui kontroversi terlebih duhulu. Semua berawal dari protes dari papan iklan dukungan terhadap tim nasional dengan slogan “Bersama-sama kita juara; satu negara, satu denyut nadi”. Pasalnya papan iklan tersebut hanya menampilkan fans lelaki saja. Namun kemudian diubah dengan menampilkan para pemain bersama para fans lelaki dan perempuan.

Pada laga perdana fase grup versus Maroko pun ada bentangan spanduk bertuliskan “Biarkan perempuan-perempuan Iran memasuki stadion-stadion” oleh para suporter tim besutan Carlos Queiroz. Tapi FIFA dan pihak penyelenggara tidak mengambil tindakan apapun, sebab meyakini spanduk tersebut tidak bermuatan politis tapi lebih ke kritikan sosial.

Menyamar demi Kebebasan

Foto: Raaherooz.com

Pelarangan ini tidak hanya diberlakukan untuk pertandingan sepakbola saja, tapi untuk cabang olahraga lainnya. Pada 2014 silam, seorang aktivis perempuan, Ghoncheh Ghavami, ditangkap pihak berwajib karena mencoba menyaksikan pertandingan bola voli pria di Iran. Tapi penangkapan pada Maret 2018 silam-lah yang menarik perhatian masyarakat dengan penangkapan 35 perempuan yang mencoba menyaksikan pertandingan sepakbola.

Pemberian izin pernah diberikan, tapi khusus untuk pertandingan bola basket di kota Teheran, Februari silam, dengan pemisahan antara tribun perempuan dan pria. Namun pemberian izin itu seakan kurang cukup sehingga pernah ada yang menyamar menjadi seorang lelaki tulen, dengan menggunakan janggut palsu dan makeup serta kaus dan celana panjang.

“Saya meng-Google berbagai macam [tutorial] makeup dan mempelajari cara baru dan mengaplikasikannya untuk bisa masuk ke dalam stadion,” ucap perempuan tersebut, seperti dikutip dari BBC, 1 Mei silam.

“Kenapa saya harus takut [ditangkap]? Kami para perempuan tidak melakukan kejahatan apapun dengan masuk ke dalam stadion.”

“Hukum tidak menyebutkan kehadiran para perempuan di dalam stadion sebagai sebuah kejahatan. Tentu saja mereka [pihak berwajib] sudah menahan beberapa perempuan dan diberikan janji tertulis untuk tidak mengulangi lagi aksinya.”

“Kami memasuki gerbang pertama dan kedua dalam kumpulan, dan tidak ada yang menyadarinya. Namun kala kami duduk di tribun, semua orang [penonton lain] menyadarinya,” ucap temannya, seperti dikutip dari Khabar Varzeshi.

“Tujuan kami adalah terus datang ke stadion sampai pemerintah memperbolehkan perempuan untuk menyaksikan [pertandingan].”

“Kami akan melakukan ini sebagai bentuk penegasan kepada pihak berwajib bahwa jika mereka tidak membiarkan kami masuk, maka kami akan terus melakukannya, dengan atau tanpa janggut.”