Dari 26 pemain timnas Maroko di Piala Dunia 2022, 14 di antaranya lahir di luar negeri. Slogan “bangga produk lokal” langsung patah setelah Maroko lolos sampai semifinal; prestasi tertinggi negara Afrika di Piala Dunia.
Maroko lalu dipuji karena berhasil memaksimalkan para perantau atau diaspora mereka yang tersebar di luar negeri. Salah satunya Achraf Hakimi. Oksigen yang ia hirup dalam embusan nafas pertamanya berasal dari udara Madrid, Spanyol. Ia memang terlahir dari orang tua berkebangsaan Maroko, tapi ia tak pernah hidup di sana.
Hal yang sama juga terjadi pada Noussair Mazraoui, Sofyan Amrabat, Romain Saiss, Hakim Ziyech, Anass Zaroury, Munir, Ilas Chair, Zakaria Aboukhlal, Selim Amallah, Sofiane Boufal, Bilal El Khannous, Walid Cheddira, dan Yassine Bounou.
Para pemain ini rata-rata merupakan generasi kedua Maroko. Ini yang membuat mereka masih merasakan budaya dan bahasa asal kedua orang tuanya. Meski, saat ini, mereka tinggal di “negara orang”.
Hal ini yang diungkapkan Mohamed yang tinggal di Prancis. Seperti dikutip Middle East Eye, Mohamed bilang kalau, “Maroko adalah darah yang mengalir di nadi kami, dan Prancis ada dalam hati kami.”
Diaspora Maroko di Prancis merupakan salah satu yang terbesar di Eropa dengan jumlah lebih dari satu juta orang. Itu baru di Prancis, belum di belahan dunia lain.
Potensi ini yang dilihat oleh Pemerintah Maroko. Perekrutan diaspora ini menjadi jalan pintas untuk meningkatkan kualitas sepakbola Maroko.
Namun, kenapa harus diaspora?
Teknik yang Lebih Baik
Industri sepakbola kini berpusat di Eropa. Sehingga, kualitas negara-negara Eropa, dari hulu ke hilir, akan lebih baik ketimbang di Indonesia, misalnya.
Para pemain muda di Belanda akan terbiasa dengan pemahaman taktik yang berkembang saat ini. Penguasaan teknik sepakbola juga menjadi lebih baik, karena mereka dididik dengan kurikulum yang jelas dan terukur.
Para pemain akademi secara natural akan menjadi pemain tim utama, atau pindah ke tim lain. Mungkin tidak semua akan sukses. Akan tetapi, mereka sudah punya dasar sepakbola yang lebih baik.
Tentu bukan tanpa alasan mengapa Maroko memanggil 14 pemain diaspora mereka. Apalagi, mayoritas di antaranya berasal dari Eropa. Ada perbedaan kualitas teknis antara bakat asli Maroko dengan mereka yang dari kecil dididik di sepakbola Eropa. Dan hasilnya terlihat di Piala Dunia 2022, di mana Maroko bisa bersaing, bahkan mengalahkan negara unggulan seperti Portugal.
Diaspora Indonesia
Direktur Eksekutif Indonesian Diaspora Network-United 2018-2019, Hamdan Hamedan, dalam postingan Instagramnya, menyuarakan soal pembentukan “Departemen Diaspora” di Badan Tim Nasional.
Dasar pemikirannya adalah adanya sekitar sembilan juta diaspora Indonesia di luar negeri yang tersebar di 90 negara di seluruh dunia. Berdasarkan data Hamdan, ada setidaknya 200 pesepakbola berdarah Indonesia yang berkarier di liga-liga top Eropa, Asia, dan Amerika, serta yang masih merintis di akademi.
“Saya percaya bahwa jumlah sejatinya jauh lebih besar dari jumlah di atas,” tulis Hamdan.
Kiprah Hamdan sendiri dikenal ketika ia menjadi utusan resmi PSSI untuk proses naturalisasi pemain timnas Indonesia. Ia diajak oleh Mochamad Iriawan ketika menjabat sebagai Ketua Umum PSSI.
PSSI sendiri menargetkan Indonesia lolos ke Piala Dunia 2042. Menurut Hamdan, untuk lebih meningkatkan kualitas timnas senior dan memperbesar peluang lolos ke Piala Dunia, dibutuhkan Departemen Diaspora di Badan Tim Nasional.
“Departemen tersebut memungkinkan kita untuk mendata potensi diaspora dengan cermat, memanfaatkan kolam besar talenta Indonesia di luar negeri, dan memberikan peluang bagi pemain terbaik berdarah Indonesia untuk mewakili negara kita—seperti program yang sukses diterapkan oleh Maroko,” tulis Hamdan.
Hamdan berargumen bahwa pembentukan Departemen Diaspora memungkinkan kombinasi talenta terbaik dari “dua dunia”.
“Selain itu, departemen ini dapat membantu membuka pintu peluang bagi pemain lokal kita untuk bermain di liga yang lebih kompetitif di luar negeri,” tulis Hamdan.
Menurut Hamdan, ada sejumlah hal yang bisa ditingkatkan dari sepakbola Indonesia seperti infrastruktur, kompetisi, pembinaan, sampai ekosistem secara keseluruhan. Hal ini bisa ditambah dengan pemanfaatan talenta diaspora yang bisa memberikan peluang bagi timnas untuk lolos ke Piala Dunia, lebih cepat dari yang ditargetkan.
Kenapa Harus Jalan Pintas?
Yang paling utama tentu karena pesepakbola Indonesia masih kurang secara teknik dengan pemain keturunan yang memang dididik sejak awal di Eropa. Ini bisa dibuktikan lewat Elkan Baggott misalnya.
Secara kualitas permainan, Baggott tampil jauh lebih baik ketimbang kompatriotnya–yang lahir di Indonesia–di lini pertahanan. Padahal usianya masih 20-an tahun, tapi permainannya jauh lebih matang ketimbang rekan seumurannya. Ini jelas ada pengaruh dari bagaimana ia dilatih dan dididik sejak kecil di Inggris.
Di sisi lain, pendidikan sepakbola di Indonesia belum pada tahap yang cukup untuk memproduksi pemain top. Sementara untuk mencapai tingkatan tersebut, dibutuhkan proses yang panjang dan waktu yang tak sebentar. Ini yang membuat proses mencari diaspora ini disebut sebagai “jalan pintas”.
Selain meningkatkan kualitas, kehadiran pemain diaspora juga diharapkan sebagai transfer ilmu untuk para pemain yang lahir di Indonesia. Misalnya, soal bagaimana cara mereka merespons wasit sampai menghadapi provokasi lawan.
Yang diperlukan saat ini adalah badan khusus untuk mendata para pemain ini. Daftar para pemain ini bisa diberikan kepada pelatih tim nasional untuk dipilih, atau sebaliknya, para pemain ini didekati untuk diajak membela timnas Indonesia.
Badan ini menjadi penting kalau melihat proses naturalisasi pemain seperti Jordi Amat, Sandy Walsh, sampai Shayne Pattynama. Soal Jordi misalnya. Kalau bakatnya sudah tercium sejak awal, Jordi harusnya bisa menjadi warga negara Indonesia sejak 2010 ketika ia membela Espanyol dan timnas Spanyol U-19. Pun dengan Sandy Walsh yang sejak 2012 sudah membela Genk dan Belanda U-17.
Kenapa harus sejak dini, karena mereka berpotensi membela negara tempat mereka lahir. Jordi untuk Spanyol sementara Sandy untuk Belanda. Dengan mereka membela timnas muda tempat mereka lahir, berarti kualitas mereka jelas di atas rata-rata. Bahkan, merupakan yang terbaik di negara tersebut.
Pada akhirnya, kenapa Jordi membela timnas Indonesia? Alasan logisnya karena ia tak dipanggil timnas Spanyol. Untungnya ia tak dipanggil, sehingga bisa membela timnas Indonesia.
Kalau ada badan khusus yang mengurusi ini, maka peluang serta potensi pemain diaspora menjadi bisa lebih dimaksimalkan.
Bukan Solusi Utama
Perekrutan diaspora Indonesia seharusnya bukan menjadi jalan terakhir untuk memajukan sepakbola Indonesia. Karena proses-proses mendasar harus tetap berjalan, seperti perbaikan infrastruktur, transfer ilmu, sampai pembenahan kompetisi. Ini tentu tidak akan bisa selesai dalam semalam, tapi harus melalui proses yang panjang.
Meski demikian, “jalan pintas” ini perlu dan mendesak untuk dilakukan, selagi PSSI dan Pemerintah Indonesia membenahi sepakbola di dalam negeri. Karena semakin mudah perekrutan diaspora ini, diharapkan semakin cepat pula pembenahan kualitas sepakbola di Indonesia.
Soalnya, ini akan berhubungan dengan transfer ilmu tadi. Saat kualitas timnas Indonesia meningkat, mau tidak mau pemain harus meningkatkan kualitas individu mereka. Kalau kalah bersaing, bukan tidak mungkin, ada 11 pemain keturunan yang main sebagai starting line-up.
Kehadiran pemain diaspora ini bisa menjadi pelecut juga untuk sepakbola di dalam negeri. Dan semakin keras lecutannya, diharapkan semakin cepat juga proses pembenahannya.
Nantinya, saat sepakbola Indonesia sudah maju, perekrutan diaspora masih bisa tetap dilakukan. Namun, tujuannya bukan sekadar meningkatkan kualitas atau sebagai jalan pintas, melainkan memberikan kesempatan bagi warga negara Indonesia atau keturunan, untuk membela negara nenek moyangnya.