Jelang Piala Dunia 2014 silam, timnas Belgia diprediksikan menjadi kuda hitam yang menyulitkan. Padahal, di dua gelaran sebelumnya, The Red Devils bahkan tak lolos ke babak utama Piala Dunia.
Salah satu alasannya adalah skuat yang disertakan memiliki kualitas yang sudah diketahui banyak orang. Di pos kiper ada Thibaut Courtois yang kala itu masih memperkuat Atletico Madrid dengan status pinjaman dari Chelsea.
Di lini pertahanan nama-nama seperti Toby Alderweireld, Thomas Vermaelen, Vincent Kompany, dan Jan Verthongen, adalah nama-nama yang punya kekuatan untuk menahan setiap serangan lawan. Di lini tengah, Belgia punya Kevin De Bruyne dan Eden Hazard sebagai gelandang kreatif dalam membangun serangan. Di lini serang, tidak ada yang meragukan kapasitas Romelu Lukaku sebagai penggedor utama serangan Belgia.
Hal yang membuat Belgia menarik adalah nama-nama di atas umumnya masih berusia muda. Bahkan, tidak ada pemain yang berusia lebih dari 29 tahun kecuali bek gaek Daniel van Buyten yang menjadi satu-satunya pemain berkepala tiga di dalam skuat. Para pemain yang berusia 20-an tahun ini mayoritas sudah memiliki nama karena menjadi bintang di klubnya masing-masing.
Uniknya, dari 23 pemain yang dibawa pelatih Marc Wilmots, hanya tiga yang berasal dari Liga Belgia. Itupun ketiganya merupakan pemain cadangan. Sisanya, 11 pemain berasal dari Inggris, dua dari Spanyol dan Jerman, dan masing-masing satu pemain dari Rusia, Italia, Portugal, dan Prancis.
Di Piala Dunia 2014, penampilan Belgia terbilang fantastis. Mereka menjadi juara grup dengan menyapu bersih kemenangan atas Aljazair, Rusia, dan Korea Selatan. Di babak 16 besar, Belgia kembali meraih kemenangan 2-1 menghadapi kesebelasan mengejutkan lainnya, Amerika Serikat. Sialnya, di babak perempat final, Belgia dikalahkan 0-1 dari Argentina yang berlanjut hingga babak final.
Uniknya, usai kekalahan tersebut, tidak ada komentar dari pihak Belgia yang menyalahkan para pemainnya bermain di luar negeri; yang membikin strategi mereka terbaca. Tidak ada yang mempertanyakan nasionalisme mereka yang berkarier di luar negeri yang digadaikan demi uang.
Portugal dan Brasil
Sementara itu, Brasil adalah negara dengan pemain terbanyak yang bermain di luar negeri. Berdasarkan data transfermarkt hingga 4 Januari 2018, terdapat 2298 pemain Brasil yang berkarier di luar negeri termasuk 20 pemain di Indonesia.
Mayoritas pemain Brasil atau sebanyak 462 pesepakbola bermain di Portugal. Hal ini sebenarnya tak lain karena Portugal merupakan pintu gerbang buat mereka untuk berkarier di kompetisi yang lebih elit. Selain itu, kesamaan bahasa juga menjadi alasan mengapa pemain Brasil lebih sering bermain di Portugal.
Sebanyak 1426 pemain Portugal sendiri memilih untuk berkarier di luar negaranya. Sebanyak 443 di antaranya berkarier di Swiss dan 3 orang bermain di Liga Indonesia.
Swiss sendiri memiliki hubungan bilateral yang saling menguntungkan dengan Portugal. Berdasarkan data Departemen Luar Negeri Swiss, Portugal adalah negara yang menjadi destinasi populer untuk warga Swiss. Sebanyak 270 ribu warga negara Portugal pun tinggal di Swiss yang menjadikan bahasa Portugis sebagai bahasa penutur ketiga terbesar.
Warga negara Portugal juga memberikan dampak ekonomi yang cukup besar buat Swiss. Sampai-sampai Presiden Swiss, Doris Leuthard, dilansir dari Swiss Info pada 30 November 2017 silam, meminta warga negara Portugal untuk tetap tinggal dan tak meninggalkan Swiss.
Apa yang dilakukan Presiden Doris tentu bukan sebagai upaya sabotase agar timnas Portugal lemah gara-gara banyaknya pemain Portugal di sana, permainan timnas mereka bisa terbaca. Apa buktinya? Portugal berhasil menjadi juara Piala Eropa 2016.
Pun dengan Brasil. Meskipun mayoritas pemainnya main di luar negeri, termasuk di China, tapi kualitas permainan mereka tetap stabil. Di turnamen utama, seperti Piala Dunia 2014, Brasil berhasil melaju hingga perempat final. Di kualifikasi Piala Dunia 2018, Brasil bahkan menjadi kesebelasan Amerika Selatan pertama yang lolos.
Sepakbola Sebagai Pengaruh
Sepakbola masa kini bukanlah sepakbola di zaman Herbert Chapman meminta stadion dilengkapi lampu penerangan. Sepakbola masa kini bukanlah sepakbola zaman Hindia Belanda yang dibantai di Piala Dunia 1938.
Sepakbola masa kini adalah soal bisnis dan politik yang berujung pada besarnya pengaruh seseorang. Para investor berduyun-duyun mendatangi Inggris demi menanamkan uangnya di sana. Apa tujuannya? Uang? Tak selamanya, tapi yang pasti mereka inginkan adalah pengaruh.
Sepp Blatter hampir tak tersentuh selama lebih dari 30 tahun kariernya di FIFA. Sampai-sampai harus FBI yang merangsek masuk demi membuatnya turun, secara tidak langsung, dari jabatan Presiden FIFA yang diembannya sejak 1998.
Pengaruh besar sebagai Presiden FIFA membuat Blatter saat ini hanya mendapatkan sanksi enam tahun tak boleh berkegiatan di FIFA. Padahal, banyak yang menuduh kalau Blatter terlibat dalam sejumlah skandal yang pernah menimpa FIFA seperti pemilihan tuan rumah Piala Dunia 2010, 2018 dan 2022.
Sepakbola yang membuat George Weah mendapatkan popularitas tinggi yang kini menjadi Presiden Liberita. Sepakbola pula yang membuat Samsung tak melanjutkan kerja sama dengan Chelsea karena kontra produktif dengan misi marketing mereka.
Di Indonesia, sepakbola juga membuat karier Erick Thohir di dunia olahraga menanjak. Momen saat ia mengakuisisi Inter Milan membuat namanya dikenal bukan cuma di pecinta basket, tapi juga di kalangan suporter sepakbola. Ditunjang dengan kapabilitasnya Thohir pun kini dipercaya untuk menjabat sebagai Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) hingga 2019 mendatang.
Ada kesamaan di antara mereka yang sukses melompat tinggi karena sepakbola. Mereka mampu melihat gambaran besar dari sepakbola itu sendiri. Sepakbola sudah bukan lagi sebagai permainan 11 lawan 11 dalam 90 menit. Lebih dari itu, sepakbola adalah kendaraan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Para pebisnis rela meminjam ratusan juta paun untuk mengakuisisi sebuah kesebelasan. Mereka tak membayar pinjaman itu dengan uang dari kantungnya, tapi dari kesebelasan yang telah mereka beli, termasuk bunganya. Para pesohor menjadikan sepakbola sebagai ajang pamer kekuatan negaranya, hingga melakukan sesuatu yang mustahil: menyelenggarakan Piala Dunia untuk pertama kalinya di gurun pasir!
Maka, menjadi mengherankan saat ada pihak atau negara yang mengisolasi diri dalam hal sepakbola. Globalisasi dalam sepakbola sudah tak mungkin terbendung lagi karena pengaruhnya sudah kelewat besar. Bahkan, Korea Utara sekalipun tak menyebut Han Kwang Song tidak nasionalis gara-gara main di Italia! Daripada melarang pemain bermain di luar negeri, lebih baik melarang pihak yang tak berkepentingan datang ke stadion.
Pemain hanyalah ujung tombak. Kalau mereka tidak diasah, tentu akan tumpul dan tak akan bisa melukai lawan. Kalau tim kalah, ya kalah saja, tak perlu menyalahkan nasionalisme yang tergadaikan. Mungkin memang betulan segitu kualitasnya.
Kalau selalu menyerang nasionalisme dan segala macam, apa kabar tim nasional Belanda yang tak pernah menang Piala Dunia?
***
Di masa kini, jarang ada negara yang tertutup tapi bisa sukses secara ekonomi. Pun dalam hal sepakbola. Portugal dan Brasil aman-aman saja kualitas sepakbolanya meski mengekspor para pemainnya ke negara lain. Belgia pun sama. Nama mereka bahkan kian disegani sebagai salah satu kekuatan sepakbola di dunia, tak lain karena kiprah apik para pemainnya di luar negeri.
Apa salahnya berkompetisi di kompetisi yang punya sistem yang lebih baik? Mengapa pemain harus dipaksa untuk bermain di kompetisi yang wasitnya seringkali membiarkan pelanggaran kasar yang bisa mengakhiri karier pemain? Mengapa pemain dipaksa bermain di kompetisi yang klubnya punya risiko tak bisa menggaji pemain?
Mengapa pemain dipaksa untuk melihat sepakbola dari sudut yang sempit, sementara yang memaksa sudah memahami kalau sepakbola hanyalah kendaraan. Atau jangan-jangan kita tengah didoktrin agar selalu tunduk dan terus mengangguk?