Bukan akal yang membedakan manusia dengan hewan, melainkan aturan. Aturan ditegakkan bukan cuma untuk menghadirkan ketertiban, tapi juga untuk menghindari hukuman. Apabila ada manusia yang mengajak berhubungan badan di luar aturan, lantas apa bedanya ia dengan binatang?
Hukuman Setimpal Chad Evans
Dua binatang yang terkenal di sepakbola adalah Chad Evans dan Adam Johnson. Keduanya pernah didakwa untuk kasus pemerkosaan. Pengecualian untuk Evans yang pada 2015 lalu didakwa tidak bersalah. Namun, hal tersebut tetap saja tidak menghapus fakta kalau ia pernah menyetubuhi perempuan, tanpa persetujuan bersama.
Sir Nicholas William Peter Clegg, yang saat itu menjadi Wakil Perdana Menteri Inggris, mendesak Sheffield United untuk mempertimbangkan kembali perekrutan Evans. Clegg mengingatkan kalau pesepakbola saat ini bukan sekadar profesi, tetapi juga panutan. Sebelumnya, sebanyak 170 ribu penggemar menandatangani petisi agar Sheffield tak merekrut Evans.
Tekanan ini bukan cuma menimpa Sheffield, tapi juga Oldham Athletic. Dua sponsor utama mereka berencana mengundurkan diri andai Oldham merekrut mantan terpidana pemerkosa. Hal serupa juga dilakukan Kementerian Olahraga Inggris yang mengancam tak akan mengesahkan registrasi Evans andai ia jadi direkrut Oldham.
Dalam hal ini, Evans memang sudah berkelit dari hukum positif negara Wales. Akan tetapi, ia tak bisa menghindar dari hukuman sosial masyarakat. Soalnya, meskipun divonis tak bersalah, tapi itu tak bisa menghapus statusnya sebagai pemerkosa. Meskipun hukum menganggap Evans mendapatkan “persetujuan” dari korban, tapi kalau korban merasa Evans melakukan pemaksaan, lantas mengapa ia dianggap tak bersalah? Kalau hukum positif sudah dianggap salah, giliran masyarakat yang akan memberikan hukuman setimpal buatnya.
Tentang Korban Adam Johnson dan Via Vallen yang Dilecehkan
Adam Johnson pernah bermain untuk Manchester City. Akan tetapi namanya melambung saat memperkuat Sunderland. Namanya kian melambung pada Maret 2015 saat ia didakwa melakukan pelecehan terhadap anak di bawah umur.
Awalnya, Johnson hanya mengaku mencium dua anak di bawah umur tersebut. Namun, pada 2016, di pengadilan, terbukti kalau ia melakukan hubungan seksual dengan sejumlah anak di bawah umur. Atas perbuatannya tersebut, ia pun didakwa enam tahun penjara.
Hakim Jonathan Rose, menyatakan bahwa perbuatan Johnson mengakibatkan trauma psikologis mendalam pada si korban. Selain itu, diketahui pula kalau Johnson mengoleksi video pornografi ekstrem yang dipercaya berisi video seks brutal di laptopnya.
Korban Johnson mengaku masih mengalami trauma mendalam akibat perbuatan pemain kelahiran 14 Juli 1987 ini. Meskipun Johnson dipenjara, hal tersebut tak akan membuat si korban lepas dari bullying terutama yang ia terima di sekolah.
“Aku merasa amat terintimidasi karenanya dan aku merasa amat kesepian saat orang-orang menentangku terkait Adam Johnson yang mengaku tak bersalah dan terus menempatkan dirinya di mata publik,” tutur salah satu korban.
Korban-korban dari pelecehan seksual utamanya mendapatkan tantangan berat saat menghadapi hari-harinya. Mereka yang melapor atau mengemukakan masalahnya kepada publik justru mendapatkan respons negatif dari sejumlah orang yang hilang rasa kemanusiaannya.
Hal ini juga terjadi pada Via Vallen yang mengaku mendapatkan tawaran tak senonoh dari salah seorang pesepakbola di Liga Indonesia. Berang, Via pun membuka kejadian tersebut kepada publik. Namun, respons publik justru terpecah. Tidak sedikit yang mendukung, tapi banyak pula yang justru menghujat Via karena profesinya sebagai artis dangdut.
Dan lihatlah komen dr komentator profesional sekaligus mantan bos dari wartawan yang dipecat tersebut. pic.twitter.com/N75y0IrNgx
— Andika (@Andikisme) June 5, 2018
Salah satunya akun @Andikisme di Twitter, yang dalam tangkapan layarnya, terlihat akun @yuke_topskor menuliskan, “perempuan, terbuka, bernyanyi, berlenggak-lenggok, kemudian digoda, jadi? Silakan simpulkan dengan nalar dan hati sehat.”
Akun tersebut merupakan akun Yusuf Kurniawan, Pemimpin Redaksi Top Skor juga komentator ternama di Indonesia. Namun, setelah saya telusuri, komentar tersebut sudah tak ada lagi. Entah komentar tersebut nyata atau hasil editan, yang jelas, kalau benar, ini menjadi preseden buruk bagi media di Indonesia. Dengan kapasitas sebagai pemimpin redaksi, logika Yusuf jelas amat bisa dipertanyakan.
Orang2 yg menyerang Via Valen sama saja melestarikan pelecehan. Kita seharusnya mendukung korban yg berani bicara, bukan justru membuat mereka lantas memilih diam! 👊👊👊👊👊
— Ernest Prakasa (@ernestprakasa) June 5, 2018
Hal berbeda justru dikemukakan dua stand up comedian yang sudah punya nama, Ernest Prakasa dan Arie Kriting. Di Twitter, Ernest mencuit, “Orang2 yg menyerang Via Valen sama saja melestarikan pelecehan. Kita seharusnya mendukung korban yg berani bicara, bukan justru membuat mereka lantas memilih diam!”
Saya support apa yang dilakukan Via Vallen. Yang menyedihkan justru banyak yang anggap itu lucu. Makin aneh lagi banyak perempuan yang justru memojokkan Via Valen. Fanatisme makin meninggi, tapi empati makin kehilangan tempat.
— ORANG TIMUR (@Arie_Kriting) June 5, 2018
Sementara itu, Arie mencuit, “Saya support apa yang dilakukan Via Vallen. Yang menyedihkan justru banyak yang anggap itu lucu. Makin aneh lagi banyak perempuan yang justru memojokkan Via Valen. Fanatisme makin meninggi, tapi empati makin kehilangan tempat.”
Bila Pelecehan Dianggap Normal
Wulan Danoekoesoemo dari Lentera Sintas Indonesia kepada BBC mengungkapkan bahwa banyak korban pemerkosaan yang enggan melapor. Mereka berlasan takut justru mereka yang balik dipersalahkan, bahkan dipermalukan.
Apabila cara pikir bangsa ini bisa terlihat dari komentar-komentar di media sosial, jelas sudah kalau masyarakatnya hampir mencapai titik kronis dalam memandang sesuatu. Misalnya saja komentar soal korban pemerkosaan. Selalu ada yang mempermasalahkan apa yang dikenakan si korban, atau profesi si korban seperti dalam kasus Via Vallen.
Semua hal atau kasus yang terjadi seperti harus dilihat siapa yang salah, atau apa yang salah. Pun dengan korban pelecehan seksual. Akan ada komentar, “suruh siapa bajunya terbuka”, atau “coba pasang jilbabnya benar”. Saya menduga orang-orang yang berpikir seperti ini akan menjadi pelaku pelecehan seksual di kemudian hari. Pasalnya, mereka tak lagi menolerir nafsu kebinatangan manusia, karena mereka punya pembenaran.
Orang-orang seperti ini tidak boleh dibiarkan berkembang biak kalau negara ini tak ingin misalnya seperti India. Pada 2014 silam, seorang perempuan berusia 20 tahun diperkosa 13 lelaki. Ironisnya, yang menyuruhnya adalah Kepala Desa sebagai hukuman karena berhubungan dengan lelaki dari kaum berbeda.
Dua tahun sebelumnya, seorang mahasiswi diperkosa beramai-ramai di sebuah bus. Yang mengerikan adalah bagaimana masyarakat yang ada di lokasi justru melakukan pembiaran bahkan ikut memerkosa.
Hal senada juga pernah terjadi di Tangerang pada 2017 silam. Sepasang sejoli diarak dengan ditelanjangi. Siapa yang menyuruh massa melakukan hal bengis ini? Ketua RT juga Ketua RW.
Komisioner Komnas Perempuan, Nina Nurmila, kepada Detik menyebut masyarakat di daerah tersebut mestinya lebih terdidik dan lebih beradab. “Itu tidak manusiawi kalau salah ya ditegur, tidak menghukum seenaknya sendiri tanpa aturan yang benar. Itu merupakan penyiksaan seksual yang trauma bisa panjang dan tidak bisa dibenarkan,” tutur Nina.
Tentu kita, yang normal, tak ingin ada kasus Tangerang yang lain, atau menjadi seperti India. Pembenaran terhadap pelecehan seksual bisa menjadi awal hidup kembalinya kebinatangan manusia. Apabila tidak ada masyarakat yang mencegah, mungkin pelecehan seksual, dalam bentuk apapun, akan menjamur dan jamak terjadi; termasuk oleh pesepakbola.