Piala Dunia 2018, VAR, dan Menerka Niat Pemain

Piala Dunia 2018 sudah usai. Timnas Prancis memastikan diri keluar sebagai juara usai mengalahkan Timnas Kroasia di partai final. Prancis berpesta. Kroasia berduka. Namun, Piala Dunia 2018 tidak akan sambil lalu begitu saja.

Ajang Piala Dunia 2018 yang dihelat di Rusia ini, terlepas dari segala keseruan yang terjadi di lapangan, juga diwarnai oleh keseruan-keseruan yang ada di luar lapangan. Soal suporter, soal hadirnya presiden-presiden dunia ke Rusia, dan tentunya soal teknologi yang mulai diterapkan dalam setiap pertandingan di ajang Piala Dunia 2018.

Dalam 64 pertandingan yang dilangsungkan sejak pertengahan Juni sampai pertengahan Juli 2018, FIFA menerapkan sebuah teknologi baru bernama Video Assistant Referee atau yang lazim disebut VAR. Presiden FIFA, Gianni Infantino, meresmikan penggunaan VAR di Piala Dunia ini usai mendengarkan hasil analisis independen yang dilakukan oleh Universitas KU Leuven, Belgia.

Diharapkan, dengan penggunaan VAR ini, wasit akan mendapatkan sebuah kemewahan berupa tayangan ulang. Selama ini, tayangan ulang hanya menjadi kemewahan bagi penonton, sehingga penonton menjadi pihak yang lebih pintar daripada wasit. Mereka seenak jidat menghakimi wasit, tanpa paham bahwa wasit hanya punya waktu sepersekian detik untuk menilai sebuah kejadian dengan tepat.

Memang, penggunaan VAR diakui mempermudah kinerja wasit di atas lapangan. Pierluigi Collina, Ketua Divisi Wasit FIFA, bahkan menyebut persentase akurasi keputusan wasit meningkat pesat dari 93% menjadi 99% dengan hadirnya VAR. Namun, di ajang Piala Dunia 2018 ini, VAR bukannya menghilangkan kontroversi, malah menambah kontroversi yang ada.

Salah satunya terjadi pada laga final kemarin. Prancis mendapatkan gol kedua lewat sepakan penalti Antoine Griezmann jelang akhir babak pertama. Penalti diberikan karena wasit Nestor Pitana menganggap, setelah berkonsultasi dengan VAR, bahwa Perisic sengaja menjulurkan tangannya untuk menghentikan laju bola. Maka, Pitana memberikan hukuman penalti untuk Kroasia.

Sontak Kroasia meradang. Zlatko Dalic, dalam jumpa pers seusai laga mengungkapkan bahwa timnya kehilangan keberuntungan. Dua gol awal Prancis, terutama gol penalti Griezmann, mengubah segalanya dan membuat mental para pemainnya jatuh.

“Gol yang pertama adalah gol bunuh diri, meski kami tampil dominan dan tidak ada ancaman ke gawang kami. Kami menyamakan skor, dan para pemain tidak menyerah, lalu penalti itu (datang) melawan kami,” ujar Dalic.

“Saya menghargai wasit dan apa yang dia lihat. Aku tak pernah berpikir untuk negatif. VAR itu bagus buat sepak bola, tapi buruk saat dia menjadi lawanmu,” tambahnya.

VAR, bahkan sampai partai final Piala Dunia, rupanya masih menghadirkan kontroversi. Namun, apa memang VAR patut dipersalahkan atas segala kontroversi yang terjadi selama ajang Piala Dunia 2018?

VAR dan Segala Kontroversi yang Dihadirkannya

Pada ajang Piala Dunia 2018, VAR sudah beberapa kali digunakan oleh wasit untuk membantu membuat keputusan yang lebih baik. Tanda layar yang dibuat oleh wasit, wasit yang berkomunikasi lewat “earphone” yang dia kenakan, serta wasit yang tiba-tiba berlari ke pinggir lapangan, adalah pemandangan yang jamak ditemui sepanjang penyelenggaraan Piala Dunia 2018 ini.

Namun, dalam beberapa kejadian, VAR malah menimbulkan kontroversi baru. Sifatnya selaku alat bantu kadang dilupakan wasit, dan wasit kerap terlalu bergantung pada VAR. Hal ini menimbulkan kekesalan beberapa pihak, seperti Nordin Amrabat, pemain Maroko, pelatih Denmark, Age Hareide, pelatih Peru, Ricardo Gareca, serta Carlos Queiroz, pelatih Iran.

Meski menggunakan kata-kata yang berbeda, pada intinya mereka semua berusaha mengatakan hal yang sama: VAR buat keadaan makin rumit. Laga antara Portugal melawan Iran menjadi contoh bagaimana VAR menjadi alat bantu yang kelewat diandalkan oleh wasit. Dua kali wasit harus berkonsultasi lewat VAR dalam dua peristiwa berbeda. Keduanya menghasilkan keputusan dua penalti, satu gagal dieksekusi Cristiano Ronaldo, satu lagi sukses dieksekusi oleh Karim Ansarifard, pemain Iran.

Dengan segala kontroversi yang ada ini, tak heran VAR sejauh ini malah mengundang kritik. VAR belum bisa melakukan sesuatu yang mungkin diharapkan oleh banyak orang bisa dilakukan selayak Goal Line Technology memastikan masuknya bola ke gawang atau tidak: menjawab isi hati dan niatan manusia.

Ketegasan Wasit adalah Hal Mutlak

Massimo Bussaca, Kepala Wasit FIFA, pernah menekankan bahwa VAR pada dasarnya hanya teknologi bantu buat wasit. Layaknya teknologi lain, VAR juga bisa mengalami kerusakan. Jika itu terjadi, sudah sewajarnya Rencana B disiapkan, agar kerusakan VAR atau kontroversi yang ditimbulkan VAR bisa ditanggulangi.

Salah satu rencana B yang bisa diterapkan, merujuk saran dari Massimo Bussaca di atas, adalah dengan meningkatkan kualitas dari wasit. Teknologi sebagus apapun yang diterapkan dalam sepak bola, akan menjadi sia-sia jika pada akhirnya wasit tidak mampu memimpin laga dengan baik.

Salah satu kualitas yang bisa ditingkatkan wasit secara terus menerus adalah menyoal ketegasan. Ketika sudah mengambil keputusan, meski dilanda keraguan, dia harus tetap jalan terus. Tapi, bukan berarti ketegasan ini harus dilakukan dengan cara membabi buta. Jika memang merasa ragu dan merasa melakukan kesalahan, wasit bisa mempelajari kembali keputusan yang sudah dia buat dalam tayangan seusai laga.

Hal ini sering dilakukan oleh Mulyana Sobandi, mantan wasit FIFA yang sekarang kerap menjadi instruktur wasit PSSI. Dalam beberapa kesempatan, ketika merasa bahwa dirinya salah dalam mengambil keputusan, seusai laga Mulyana selalu menonton lagi rekaman laga, menelaah keputusan yang dia buat, lalu membaca lagi buku “Laws of the Game” FIFA yang dia punya. Hal itu membuatnya belajar terus menerus.

“Dari kesalahan, banyak orang akan jadi pintar, karena mereka berdiskusi dan berdebat soal kejadian tersebut. Itulah seninya. Jadi pembelajaran karena orang-orang akan berkembang dari kesalahan. Menurut saya, jangan sampailah terlalu sempurna. Dengan segala hal kontroversi yang terjadi di lapangan, kita juga akan berkembang sebagai wasit,” ujarnya.

Ketegasan inilah yang akan menangkal satu hal yang kerap menjadi kesulitan wasit: soal menebak niatan dari seorang pemain. Wasit tak akan tahu, apakah seorang pemain berniat melakukan pelanggaran, “handball”, atau melakukan “diving” secara sengaja atau tidak sengaja. Ketegasan ini akan membuat pemain jera, sehingga dia tidak akan lagi melakukan niat-niat kotor yang bisa mencederai jalannya laga,

Toh, soal ini, FIFA sudah mengetahuinya dan membantu wasit dengan menciptakan “Laws of the Game”. Menyoal “handball” Perisic pun, sebenarnya FIFA sudah mencantumkan dalam “Laws of the Game”, tepatnya pasal 12. Gerakan tangan, jarak dengan bola, posisi tangan, serta sentuhan bola dengan objek lain, bisa menjadi penilaian wasit soal apakah sang pemain berniat menyentuh bola dengan tangan atau tidak.

Pun juga soal pemberian kartu, “Laws of the Game” sudah mengatur hal tersebut. Hal ini dapat membantu wasit menentukan, apakah sebuah kejadian yang berpotensi pelanggaran atau kartu dapat diganjarkan kepada seorang pemain atau tidak. Intinya, adalah menyoal ketegasan itu sendiri.

Jika wasit tidak tegas dan berani melakukan kesalahan (dengan catatan memperbaiki kesalahan tersebut di laga lain), maka bisa dipastikan dia akan semakin jadi objek kekesalan suporter. Bekerja dengan baik saja sudah dihina, apalagi bekerja dengan buruk?

Teknologi semacam video tayangan ulang atau teknologi garis gawang memang sudah membantu, tapi, pada intinya, kualitas diri harus tetap ditingkatkan, karena kuasa laga tetap berada pada bendera asisten wasit dan peluit di tangan wasit utama.