Piala Dunia, Tekanan Media, dan Pentingnya Italia Memecat Gian Piero Ventura

Italia

Kegagalan Italia melaju ke Piala Dunia 2018 adalah petaka besar buat skuat asuhan Gian Pierro Ventura. Apalagi ini adalah pertama kalinya bagi Gli Azzurri absen di turnamen sepakbola terbesar tersebut sejak 1958.

Kegagalan ini jelas menghadirkan pertanyaan besar soal kualitas sepakbola Italia yang dianggap menurun drastis. Pasalnya, 11 tahun silam, Italia adalah juara dunia usai mengalahkan Prancis di final Piala Dunia 2006. Selain itu, Italia juga berhasil mencapai final Piala Eropa 2012 saat tunduk atas Spanyol yang memang tampil tanpa cela.

Beban sepakbola Italia kian bertambah menyusul kritik keras dari penikmat sepakbola di dalam negeri. Tidak ketinggalan bagaimana media besar di Italia menjadikan kegagalan tersebut sebagai tajuk utama pemberitaan mereka. Dan tentu saja, tangan-tangan jahil di media sosial juga membuat kegagalan ini terasa begitu menyakitkan.

Di Indonesia, sejumlah akun sepakbola di Instagram menyanjung tinggi sepakbola Indonesia yang dianggap sudah “setara” dengan sepakbola Belanda dan Italia. Mengapa? Karena sama seperti dua kesebelasan negara tersebut, Indonesia juga gagal lolos ke Piala Dunia. Tentu ini adalah pernyataan sarkas, tapi justru di situlah yang membikin perihnya.

Homogennya Media di Italia

Dilansir dari The Guardian, mayoritas media di Italia menempatkan berita kegagalan Italia di halaman pertama. “Italia, ini adalah kiamat,” tulis La Gazzetta dello Sport.

Harian olahraga terbesar di Italia tersebut menyalahkan soal benyaknya kesempatan yang disia-siakan. Dalam editorialnya, La Gazzetta menulis, “Kami tak akan bersama Anda dan Anda tak akan bersama kami. Italia tak akan berpartisipasi di Piala Dunia. Akan ada konsekuensi yang tak bisa dihindarkan.”

Menurut The Guardian, konsekuensi ini merujuk pada satu orang yang paling layak disalahkan: Sang Pelatih, Gian Piero Ventura!

Kebetulan pelatih tersukses di Italia, Carlo Ancelotti, tengah menganggur. Banyak media yang juga merasa kalau Ancelotti adalah sosok yang layak untuk menangani tim nasional. Apalagi kejayaan telah bersinonim dengan namanya. Selain itu, ada pula nama Antonio Conte yang dikabarkan sudah “lelah” berkarier di Inggris. Baik Conte maupun Ancelotti diharapkan bisa membangun ulang Italia dan bersiap menuju Piala Eropa 2020.

“Alternatif yang sangat memungkinkan juga pada Roberto Mancini dan Massimiliano Allegri, kalau mereka mau meninggalkan posisi mereka di Zenit St. Petersburg dan Juventus,” tulis La Gazzetta.

Selain La Gazzetta, harian olahraga lainnya, Corriere dello Sport juga menuliskan dalam editorialnya soal bagaimana kegagalan ini amatlah menyakitkan.

“Dalam beberapa bulan ke depan, kita akan menyaksikan Piala Dunia untuk orang lain: untuk pertama kalinya sejak 60 tahun kita hanya akan menonton dari luar. Ini adalah kejadian memalukan yang tak bisa ditolerir, sebuah noda yang tak mungkin terhapuskan,” tulis Corriere.

Buffon yang Pensiun

Gianluigi Buffon

Salah satu hal yang paling menyakitkan, bukan cuma buat penggemar Italia tapi juga penggemar sepakbola, adalah menyaksikan pensiunnya Gianluigi Buffon dari sepakbola internasional. Sayangnya, momen pensiunnya Buffon tersebut justru diiringi dengan tangis duka.

 

Pemain berusia 39 tahun tersebut setidaknya sudah membela panji Azzurri selama 20 tahun. Sebanyak 175 pertandingan ia lakoni untuk skuat Italia.

“Sungguh menyebalkan bahwa di pertandingan terakhirku diputuskan bahwa kami tak lolos ke Piala Dunia. Aku minta maaf. Bukan buatku tapi buat Italia. Kami menghancurkan sesuatu yang begitu berarti. Satu-satunya penyesalan adalah mengapa ini berakhir seperti ini,” kata Buffon.

Awalnya, kiper Juventus tersebut akan pensiun dari timnas usai Piala Dunia 2018. Sayangnya, pensiun tersebut lebih cepat gara-gara Italia yang gagal ke Piala Dunia.

“Kesalahan ini dibagi secara rata pada kami semua. Tak boleh ada kambing hitam. Kami menang bersama-sama dan kalah bersama-sama,” tegas Buffon.

Selain kiper yang memulai debut timnasnya pada 1997 tersebut, Daniele De Rossi dan Andrea Barzagli juga mengumumkan pensiunnya dari timnas. Selain itu, awalnya Giorgio Chiellini juga akan ikut pensiun, tapi tak jadi karena melihat potensi timnas Italia yang cemerlang.

“Jelas akan ada masa depan, karena kami punya kebanggaan dan kekuatan. Kami bandel dan keras kepala. Setelah kejatuhan yang buruk, kami melihat jalan untuk bisa kembali bangkit. Banyak dari anak-anak muda yang bertalenta termasuk Gianluigi Donnarumma dan Mattia Perin. Aku berharap mereka diberi keberuntungan,” kata Chiellini.

Soal Teknis

Ada satu momen dalam pertandingan tersebut yang sempat menarik perhatian. Apalagi kalau bukan momen di mana De Rossi yang tak setuju dengan keputusan Ventura untuk memasukkannya.

Kejadian ini sebenarnya terjadi karena meskipun Italia mendominasi 75 persen penguasaan bola, tapi mereka tak bisa menembus pertahanan kuat Swedia. Alasannya, Italia kelewat miskin kreativitas dengan terus-terusan mengirim umpan silang. Padahal, kotak penalti sudah dipenuhi oleh pemain lawan.

Di pertengahan babak kedua, terlihat staf pelatih meminta De Rossi untuk melakukan pemanasan. Namun, terlihat dari raut wajah De Rossi yang seperti tak suka dan terlihat marah. Ia pun bilang, “Kenapa aku harus masuk? Kami tak perlu hasil seri. Kami harus menang.”

Ucapannya tersebut diiringi dengan gestur sembari menunjuk Lorenzo Insigne yang punya kecepatan dan kemampuan dribel sembari menyisir sayap. Apalagi, Insigne mampu mencetak 18 gol musim lalu meski hanya bermain di sayap bersama Napoli.

Menurut Paolo Bandini, jurnalis The Guardian, hal ini karena Ventura adalah sosok pelatih yang begitu rigid dalam penentuan formasi. Insigne adalah wide forward alias penyerang sayap. Di sisi lain, formasi yang diterapkan Ventura adalah 3-5-2 sehingga tak ada ruang bagi Insigne untuk masuk.

Menurut Bandini, sejatinya formasi yang sama juga digunakan oleh Antonio Conte pada Piala Eropa 2016. Namun, ini bukan soal penempatan posisi melainkan soal rencana dalam formasi tersebut. Pasalnya, Conte menerapkan strategi yang lebih cair sehingga jarak antarlini bisa menyesuaikan. Namun, di bawah Ventura, tiap lini seperti memiliki dunianya sendiri yang membuat tidak adanya koneksi antara lini pertahanan dengan lini tengah dan lini depan.

Hal ini yang menjadi kunci mengapa di era Ventura, permainan Italia menjadi lebih stagnan dan terkesan monoton. Ventura lebih memilih tak memasukkan Insigne daripada merusak formasinya sendiri.

***

Kegagalan Italia ini jelas tak bisa dengan mudah hanya menunjuk hidung Ventura untuk disalahkan. Ada banyak hal yang mesti diperhatikan terutama soal regenerasi. Pensiunnya pemain-pemain senior mestinya bisa disikapi secara positif karena hal tersebut membuka peluang pemain muda yang masih hijau di kompetisi internasional.

Meskipun demikian, tentu bukan hal yang bagus pula kalau Ventura masih berada dalam tim. Pembenahan tim mesti membutuhkan semangat baru yang ditularkan utamanya dari sang pelatih. Memasukkan Ancelotti atau Conte jelas merupakan hal yang positif melihat dari kejayaan yang bisa ditularkan keduanya.

Lantas, apakah Italia bisa berbenah menuju Piala Eropa 2020? Atau justru kembali gagal?