Saling Curiga di Sepakbola Indonesia

Foto: Liga-Indonesia.id

Musim 2017 lalu, Bhayangkara FC dianggap sudah diatur akan menjadi juara Liga 1. Hal ini dikarenakan insiden dalam pertandingan melawan Mitra Kukar yang berakhir dengan kemenangan 3-0 meski laga sebenarnya berakhir imbang 1-1. Hal itu dikarenakan Mitra Kukar dinyatakan bersalah dengan memainkan Mohamed Sissoko yang seharusnya menjalani hukuman tambahan yang berbuah kemenangan gratis bagi The Guardian.

Musim ini, kejadian serupa kembali terjadi. Kali ini, tuduhan diarahkan kepada Persija Jakarta. Dalam pertandingan melawan Bali United (2/12), wasit Jumadi Efendi tidak memberikan tambahan waktu sama sekali dalam pertandingan yang berulang kali dihentikan karena flare. Banyak yang menyebut kalau ini adalah cara untuk memuluskan langkah Macan Kemayoran menjadi juara.

Tudingan itu semakin menguat ketika sehari berselang, pertandingan Bhayangkara FC melawan PSM Makassar berakhir imbang tanpa gol. Para pemain PSM menganggap tambahan waktu dua menit tidak cukup dalam laga yang sempat terhenti beberapa kali karena banyaknya pelanggaran. Protes para pemain kemudian diiringi dengan teriakan “Mafia..Mafia..Mafia” yang dikumandangkan para pendukung Juku Eja.

Sekilas, apa yang terjadi dalam dua hari terakhir ini membuktikan kalau Liga 1 merupakan kompetisi yang sangat kompetitif. Tidak ada kesebelasan yang diprediksi mudah untuk mencuri poin. Kesan beberapa kesebelasan yang hanya jago kandang membuat selisih poin antara satu tim dengan yang lain begitu dekat.

Akan tetapi, kesan kompetitif tersebut bergerak seiringan dengan rasa curiga. Prasangka buruk ini keluar dari mereka yang merasa dirugikan. Ini semua muncul karena kontroversi yang menjadi bumbu dalam kompetisi tertinggi di negeri ini. Hal ini yang membuat sepakbola Indonesia nampak tidak enak untuk dinikmati.

Laga Bali United melawan Persija berlangsung dua hari setelah pelatih Bali United (BU), Widodo Cahyono Putro, mengundurkan diri. Sekilas, pengunduran diri seorang pelatih adalah hal lumrah yang terjadi di setiap kesebelasan, tetapi mengingat laga terakhir BU melawan Persija, maka pengunduran diri coach Widodo menimbulkan banyak spekulasi.

Tidak hanya itu, banner bertuliskan “Jadi Ini Alasannya” juga menjadi misteri. Apa maksud di balik judul tersebut? Tidak hanya itu, proses dua gol Persija juga banyak yang mempertanyakan. Mengapa clearance pemain Bali begitu pelan dalam proses gol pertama? Atau apa yang menjadi alasan Saiful Indra Cahya tidak membuang bola sehingga menyebabkan penalti dalam proses gol kedua?

Belum jelas apa yang membuat wasit Hadiyana hanya memberikan tambahan waktu dua menit di laga BFC melawan PSM. Atau mengapa Wahyu Subo Seto tidak diganjar kartu merah? Segala pertanyaan ini kemudian membuat kita curiga kalau beberapa laga ini sudah diatur.

Bagi yang merasa disudutkan, dalam hal ini adalah Persija Jakarta, mereka jelas mendapatkan keuntungan. The Jak Mania mungkin bersikap bodo amat dengan segala tudingan tersebut. Bagi mereka adalah bagaimana caranya untuk mempersiapkan pesta meriah setelah menghadapi Mitra Kukar. Sementara bagi mereka yang merasa dirugikan, tudingan Persija sebagai anak papah, anak emas, atau juara yang sudah diatur akan terus dikumandangkan sampai kapanpun.

***

Sepakbola Indonesia sedang menjadi sorotan akhir-akhir ini. Semua diawali dari penalti absurd di Liga 2 antara Mojokerto Putra melawan Aceh United yang diikuti dengan gagalnya timnas di Piala AFF, buka-bukaan pengaturan skor di Mata Najwa, blak-blakannya Rochi Putiray di salah satu channel Youtube, hingga insiden di Gianyar dan PTIK menambah pekat bau yang sudah anyir dalam sepakbola Indonesia.

Sayangnya, rasa curiga ini seolah menjadi bahan bakar untuk terus melanggengkan kompetisi sepakbola Indonesia. Kejadian-kejadian seperti ini membuat sepakbola Indonesia seolah sulit dinikmati. Dikit-dikit alam bawah sadar kita akan menganggap adanya pengaturan skor, dikit-dikit kita akan berkata kalau ada mafia, dikit-dikit kita berasumsi kalau adanya penjualan pertandingan, entah sampai kapan hal tersebut terus-terusan muncul dalam sepakbola kita? Sulit tampaknya untuk tidak pasang raut wajah curiga.

Rasa curiga adalah perasaan manusiawi yang diberikan oleh yang maha kuasa untuk mengajak kita selalu berhati-hati dalam memandang sebuah realita. Sayangnya dalam sepakbola Indonesia, bentuk rasa curiga kerap datang dengan tuduhan-tuduhan yang menyudutkan salah satu pihak. Menariknya, tuduhan-tuduhan serupa tidak akan muncul jika kita menyaksikan sepakbola Eropa.

Kita lebih memilih mengucapkan hormat dan salut kepada prestasi Leicester City saat menjuarai Liga Inggris 2015/2016. Akan tetapi, tidak ada yang menganggap kalau Manchester City, Arsenal, Chelsea, dan Manchester United, tim-tim yang secara kualitas pemain lebih layak dibanding Si Rubah, sedang terlibat pengaturan pertandingan.

Saat dua kali Loris Karius menjadi biang kekalahan Liverpool pada final Liga Champions musim lalu, para pendukung justru ramai-ramai menyalahkan performa kiper asal Jerman tersebut tanpa membuat prasangka kalau dia terlibat dalam match fixing.

Lantas, bisakah kita menikmati sepakbola Indonesia tanpa adanya prasangka? Jawabannya bisa saja, asalkan para pengurus sepakbola di negeri ini mau ikut berbenah dan memperbaiki mutu kompetisi mereka.

Jangan lagi ada yang namanya pengunduran jadwal. Dengan pengunduran jadwal yang terus menerus dilakukan akan membuat kita curiga kalau salah satu klub memang mendapat perhatian lebih dibanding yang lain. Pengunduran jadwal ini masih sering terjadi dan terkadang baru diumumkan sehari sebelum pertandingan berlangsung.

Komisi disiplin juga harus adil dalam memberi hukuman jika ada salah satu kesebelasan yang melanggar regulasi. Jangan ada hukuman yang berbeda-beda meski pelanggaran yang dilakukan sama antara satu tim dengan yang lainnya.

Federasi juga harus ikut berperang dalam mengatasi masalah pengaturan skor. Hal ini harus dilakukan apabila ingin mendapatkan kompetisi yang bermartabat. Beberapa waktu lalu, anggota Exco mereka, Hidayat, resmi mengundurkan diri dari jabatannya karena dugaan pengaturan skor di Liga 2.

Mundurnya Hidayat adalah langkah awal apabila PSSI memang ingin mengusut tuntas kasus pengaturan pertandingan. Jangan sampai masalah ini hanya selesai dengan mundurnya Hidayat saja tanpa memperhatikan Hidayat-Hidayat lain yang mungkin terlibat dalam kasus serupa.

Memilih klub yang layak untuk berkompetisi juga harus diawasi dengan baik oleh federasi dan PT Liga selaku pengawas kompetisi. Klub juga harus punya jaminan apakah mereka sanggup menjalani kompetisi selama semusim penuh dan memiliki anggaran yang jelas. Langkah ini harus dilakukan agar kesebelasan tidak tergopoh-gopoh di pertengahan musim akibat kehabisan dana sehingga membuka kesempatan bagi para mafia untuk melakukan pengaturan pertandingan.

Selain itu, peran wasit dan asistennya tetap harus ditingkatkan. Jangan lagi timbul kesalahan yang menyebabkan pengambilan keputusan yang absurd seperti apa yang terjadi di laga PSS Sleman melawan Madura FC.

Akan tetapi, itu semua harus diawali dengan kesadaran diri dari semua pihak termasuk para suporter. Seandainya langkah-langkah tersebut bisa dilakukan, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan mendapatkan kompetisi sepakbola yang baik. Kompetisi yang benar-benar berlandaskan asas Fair Play. Kompetisi yang membuat para penikmatnya bisa berhenti menaruh rasa curiga