Argentina menjuarai Piala Dunia 2022 di Qatar. Lionel Messi dan kolega berhasil mengatasi sang juara bertahan, Prancis, lewat adu tendangan penalti. Pertarungan seru, mendebarkan, terjadi selama 120 menit dan sarat aksi-aksi mendebarkan dan menguras emosi. Banyak yang berpendapat bahwa laga ini adalah laga final terbaik yang pernah mereka saksikan seumur hidup.
Keberhasilan Argentina tentu tak lepas dari rentetan proses panjang yang menyertai mereka hingga ke titik ini. Mulai penunjukan Scaloni sebagai pelatih Argentina, kekalahan melawan Arab Saudi pada laga perdana, hingga berbagai perubahan yang terjadi di skuat Argentina hingga berhasil membawa trofi Piala Dunia kembali ke Argentina.
Penunjukan Lionel Scaloni
Pemutusan kontrak Jorge Sampaoli oleh Asosiasi Sepak Bola Argentina (AFA) membuat Scaloni yang merupakan asisten Sampaoli, ditunjuk sebagai caretaker bersama Pablo Aimar di penghujung 2019.
Kemudian performa pelatih yang pernah memperkuat Deportivo La Coruna ini mulai menarik perhatian publik setelah ia berhasil membawa Argentina mengangkat kembali trofi Copa America setelah 28 tahun. Di tahun itu pula, Scaloni mencatatkan rekor tak terkalahkan beruntun 27 kali.
Menilik penunjukannya, nama Lionel Scaloni memang tidak sementereng kawan-kawan satu generasinya di timnas Albiceleste. Nama-nama seperti Pablo Aimar dan Walter Samuel adalah rekannya sejak memperkuat Argentina di Piala Dunia U-20 yang digelar di Malaysia kala itu. Tetapi kemudian, dua nama itulah yang kini dipilih Scaloni menjadi asistennya di timnas Argentina.
Karier Scaloni sempat sangat menanjak kala memperkuat Deportivo La Coruna, satu generasi dengan Diego Tristan dll. Di Deportivo, ia mencatatkan 200 penampilan.
Ia sempat mencicipi tanah Inggris di West Ham United dan hampir menjuarai Piala FA 2006. Setelahnya, ia bermain di Lazio dan merintis karier kepelatihan dengan menjadi asisten bagi Jorge Sampaoli di kesebelasan LaLiga, Sevilla. Selanjutnya, pria keturunan Italia ini ditunjuk sebagai pelatih Argentina U-20.
Asal Julukan “La Scaloneta”
Keberhasilannya memutus puasa gelar Copa America membuat media Argentina menjuluki timnas sebagai “La Scaloneta,” sebuah nama slang gabungan dari Scaloni dan camioneta (Spanyol: bis) yang bila diartikan secara literal menjadi Bis Scaloni.
Sebagian juga berpendapat julukan ini timbul karena meme di sosial media yang menggambarkan karikatur sebuah bis bertuliskan “La Scaloneta” yang berpenumpang Scaloni dan pemain timnas Argentina. Semacam istilah “Ole’s (Solskjaer) At the Wheel” tapi lebih keren dan juara dunia kali, ya.
Julukan ini sebenarnya memilki dua makna: Untuk menandakan Argentina era baru yang banyak diisi oleh pemain-pemain rookie, pola permainan Argentina era Scaloni juga identik dengan gaya bermain yang cenderung pragmatis ala Menottismo. Selama helatan Copa America, Argentina hanya kebobolan 3 gol hingga akhirnya berhasil menumbangkan Brasil di partai puncak.
Namun, di gelaran Piala Dunia 2022, Argentina yang sempat minim kebobolan di penyisihan grup, harus menerima angka kebobolan yang cukup banyak: 2 gol kontra Belanda juga 3 gol kontra Prancis di laga final.
Faktor Messi Sebagai Kunci
Delapan tahun silam, Messi hampir saja menjawab perdebatan “Siapa yang terbaik diantara dirinya atau Cristiano Ronaldo?”. Akan tetapi ketika itu, Jerman mampu mengambil kesempatan lebih baik. Pupus sudah harapan Argentina untuk menutup puasa trofi sejak 1993.
Dengan usia yang menginjak 35 tahun, tak ada kesempatan selain sekarang. Win now or never.
Sepakbola memang olahraga tim. Menariknya, banyak faktor yang menentukan kesuksesan, salah satunya adalah soal suntikan moral. Dengan nama besar dan berlabel pemain terbaik Argentina, rasa-rasanya aneh jika seluruh anggota tim Argentina dari kitman, pemain, hingga staf pelatih tidak mengerahkan segenap kemampuan untuk “membantu” Messi kali ini. Membantu mewujudkan kepingan puzzle dalam pencapaian karier seorang Lionel Messi, yakni: trofi Piala Dunia.
Rodrigo De Paul, salah satu aktor kesuksesan Argentina di Qatar membuat pengakuan tentang apa yang terjadi dengan dirinya dan Messi sebelum memulai turnamen. De Paul bercerita ketika dirinya melihat Messi duduk di sebuah ruangan sambil meminum mate (sejenis teh khas Amerika Latin). De Paul lantas menuliskan sebuah pesan di secarik kertas kepada sang kapten yang berisi:
“Hari ini, 20 November, saya berjanji kepadamu bahwa kita akan menjadi juara.”
Lionel Scaloni mengaku bahwa tak pernah ada seorang pemain sepakbola yang mempunyai pengaruh kepada pemain lainnya, sebesar Messi. Scaloni sadar, salah satu tugas terbesarnya adalah menjaga tekanan yang diterima kepada para pemainnya.
Ia selalu berkata: “Matahari akan terbit besok,” yang berarti segala keadaan akan terus berubah esok hari. Baik usai menerima kekalahan maupun kemenangan. Scaloni khawatir tekanan dari publik akan memengaruhi psikis para pemainnya di lapangan.
Messi lalu menjawab: “Apa bedanya? Semuanya akan baik-baik saja,” ucap Messi kepada Scaloni. Ucapan Messi memberi sedikit kelegaan kedalam diri Scaloni.
Messi terbukti tampil layaknya pemain yang kesetanan. Dirinya mampu menjadi pemain yang produktif dalam urusan mencetak gol, hingga memberikan asis bagi rekan-rekannya.
La Pulga mencetak 7 gol dari 15 gol yang berhasil dicatatkan Argentina di Qatar. Total 3 asis, 3 operan kunci, serta rataan 4.6 tembakan per laga.
Dengan perannya sebagai pemain paling penting untuk kesuksesan Argentina di Piala Dunia Qatar, tak ada yang menggugat dirinya sebagai Pemain Terbaik pada turnamen ini.
Dua hari setelah Rodrigo De Paul memberikan secarik kertas kepada Messi, Argentina menelan kekalahan memalukan dari Arab Saudi. Tekanan publik kepada Argentina mulai terasa ke dalam tim. Apalagi, Argentina kali ini banyak diisi para pemain debutan yang minim pengalaman.
“Setelah kekalahan Saudi, kami berbicara cukup lama dan memahami bahwa jalan masih panjang (untuk menjadi juara),” ujar De Paul.
Tak lama, setelah pertandingan usai, Messi meminta pendukung Argentina: “Percayakan kepada kami!”
Pun demikian, pelatih Arab Saudi, Herve Renard masih menjagokan Argentina sebagai juara Piala Dunia kali ini. Benar saja, keraguan publik dibayar tuntas lewat penampilan meyakinkan Messi dkk. kontra Meksiko, Polandia, Australia, Belanda, Kroasia, dan terakhir melawan Prancis. Untuk itu, ucapan Messi benar adanya.
Pertaruhan Scaloni Sepanjang Turnamen yang Membuahkan Hasil
Sejak laga pertama kontra Arab Saudi ke laga kedua kontra Meksiko, Scaloni melakukan 5 pergantian posisi starter. Mereka diantaranya: Papu Gomez digantikan Alexis Mac Allister di sisi kiri, Leandro Paredes digantikan Guido Rodroguez di posisi gelandang bertahan, Nahuel Molina digantikan oleh Gonzalo Montiel di bek kanan, Nicolas Otamendi yang sebelumnya ditaruh di sisi kiri menggeser Cristian Romero yang berada di sisi kanan pertahanan. Lisandro Martinez dipasang menjadi bek tengah sisi kiri, dan Marcos Acuna menggeser posisi Nicolas Tagliafico di posisi bek kiri.
Masalah cedera yang dialami Gio Lo Celso sempat membuat Scaloni berkpikir keras untuk menggantikan kombinasi De Paul- Paredes-Lo Celso yang selama 2 tahun terakhir diubahnya menjadi pemain yang memiliki peran berbeda namun saling melengkapi satu sama lain. Tapi akhirnya, Scaloni menemukan sendiri kombinasi baru nagi lini tengah Argentina di Qatar.
Pada laga-laga selanjurnya, Scaloni terus memberikan suntikan energi dan kesegaran di tiap pertandingan. Enzo Fernandez dipasang menjadi starter pada laga kontra Polandia.
Selanjutnya, Julian Alvarez dicoba untuk dimainkan Scaloni. Benar saja, sejak saat itu kombinasi De Paul-Fernandez- Mac Allister menjadi formula mematikan bagi Argentina. Yang perlu dicatat, usia Fernandez adalah 21, Mac Allister yaitu 23, dan Alvarez 22 tahun.
Di atas kertas, Lionel Scaloni bermain pada skema dasar 4-4-2. Scaloni sadar bahwa keras kepala pada satu sistem hanya akan mendatangkan kematian. Maka, Scaloni terlihat mengkombinasikan beragam formasi seperti 4-3-3 dan 5-3-2.
Yang paling mencolok adalah ketika Argentina berhadapan dengan Kroasia. Argentina kemudian bermain dengan formasi 4-2-2-2 dan kembali memainkan Leandro Paredes untuk menyiasati penguasaan bola yang baik dari para pemain Kroasia. Terakhir adalah bagaimana kejelian Scaloni menaruh Angel Di Maria di sisi kiri (bukan kanan seperti biasa ia ditaruh) pada laga final dan mengobrak-abrik pertahanan Prancis lewat sisi tersebut.
Seperti yang Scaloni katakan: Matahari akan kembali terbit esok hari. Bagi Argentina, matahari esok akan terbit lebih cerah sambil berpawai di atas “bis La Scaloneta” dengan suasana hati gembira, euforia kemenangan, rasa haru dan bangga dengan tambahan satu bintang di kaus kebanggaan biru-putih mereka.