Penampilan mengesankan Atalanta mengakhiri mereka di peringkat ketiga Serie-A musim lalu. Peringkat itu memberikan kesempatan bersejarah bagi Atalanta di Liga Champions 2019/2020. Skenario bersejarah kesebelasan dari Kota Bergamo itu seperti mustahil.
Awal pertandingan fase grup Liga Champions tidak mudah bagi Atalanta. Kekalahan pertama dengan empat kebobolan tanpa balas langsung didapatkan dari Dinamo Zagreb. Atalanta baru bisa mencetak gol perdana di Liga Champions pada laga berikutnya.
Meski demikian, tidak mampu menolong dari kekalahan 2-1 dari Shaktar Donetsk. Kekalahan tetap didapatkan setelah dicabik-cabik Manchester City dengan skor 5-1. Kurang pengalamanlah yang membuat Atalanta kehilangan poin di tiga pertandingan awal Liga Champions.
Kemenangan pertama Atalanta baru didapatkan ketika mengalahkan Zagreb pada putaran kedua dengan skor 2-0. Di sinilah keajaiban mulai terjadi. Selanjutnya, Atalanta terus mengalami pertumbuhan di setiap pertandingan fase grup Liga Champions musim ini.
Mereka tampak lebih percaya diri dan tenang dalam bermain sejak dikalahkan City. Kesebelasan berjuluk La Dea ini seolah mendapatkan pengalaman berharga atas kekalahan tersebut. Hal itu ditunjukan saat mengalahkan Zagreb pada putaran kedua.
Peluang emas yang didapatkan mereka adalah hasil perjuangan yang tidak sia-sia di Serie-A musim lalu. Kesebelasan besutan Gian Piero Gasperini ini tidak hanya mebuktikan bahwa mereka dapat bertahan di grup. Faktanya, Atalanta mencapai babak 16 besar.
Pencapaian mereka masih tidak bisa dipercaya sampai saat ini. Sebab tidak ada kesebelasan yang berhasil lolos setelah mendapatkan kekalahan beruntun di tiga pertandingan pertama. Namun Atalanta telah membuktikan kualitasnya di Liga Champions musim ini.
Eksposur Atalanta di Liga Champions juga penting untuk Serie-A. Rata-rata orang di luar Serie-A hanya mengenal Juventus dan beberapa kesebelasan besar lainnya. Atalanta sendiri tidak populer di luar Italia. Pembuktiannya di Eropa saat inilah yang berhasil meningkatkan citra Serie-A.
Terakhir kali AC Milan melangkah ke fase gugur, terjadi saat Liga Champions 2013/2014. Sementara Internasionale Milan pada musim 2011/2012. Sekarang, giliran Atalanta yang mendapatkan rasa hormat dari seluruh dunia. Gaya permainan yang menarik, investasi pemain muda dan infrastruktur stadion yang sedang dibangun, memunculkan Atalanta sebagai pemenang dari ragam petualangan di Liga Champions.
Padahal, Atalanta tidak bermain di Stadion Azzuri d’Italia yang sedang direnovasi karena tidak lolos verifikasi UEFA. Mereka harus rela pindah kandang ke Stadion San Siro sebagai kandang di Liga Champions. Kendati demikian, Atalanta cukup mahir di kandang kesebelasan asal Milan tersebut.
Stadion San Siro pun seakan menjadi rumah kedua bagi Atalanta di Liga Champions. Klub yang sudah berusia 112 tahun ini pantas melanjutkan perjalan di Liga Champions.
Di sisi lain, tidak ada yang menyangka bahwa Atalanta akan melaju sejauh ini. Nyatanya, di sanalah mereka berada.
Dorongan Besar Bagi Sepakbola Italia
Secara finansial, Liga Champions memberikan dampak besar kepada buku keuangan Atalanta. Ketika lolos dari kualifikasi, Atalanta mendapatkan sekitar 15 juta euro. Kemenangan pertama mereka juga memberikan biaya tambahan sekitar 2,7 juta euro.
Bahkan jika tidak lolos ke babak 16 besar pun Atalanta sudah bisa mengantongi total 20 juta euro. Memang uang itu bukanlah jumlah yang besar untuk kesebelasan sekaliber Juventus, tetapi merupakan kekayaan kecil bagi Atalanta.
Apalagi jika mengingat investasi yang dilakukan mereka dalam beberapa musim terakhir. Selama itu, Atalanta menghabiskan sebagian besar anggarannya untuk mengembangkan pemain akademi sendiri. Kemudian lebih sering dijual ke kesebelasan besar di Italia.
Selama bertahun-tahun, Atalanta kehilangan pemain seperti Andrea Conti, Alberto Grassi, Alessandro Bastoni, Davide Zappacosta, Franck Kessie, Giacomo Bonaventura, Gianluca Mancini, Manolo Gabbiadini, Roberto Gagliardini dan masih banyak lagi.
Terakhir, Dejan Kulusevski dijual ke Juventus seharga 35 juta ditambah bonus 9 juta euro. Membuktikan bahwa Atalanta menjadi salah satu perkembangan pemain terbaik di Eropa. Sebagai gantinya, Atalanta cuma melakukan perekrutan yang sangat efisien.
Kepercayaan pemain muda dikombinasikan dengan aktivitas transfer yang cerdas. Yaitu mengisi beberapa celah dengan pemain berpengalaman yang diremehkan dan dibuang dari kesebelasan lain seperti Luis Muriel, Mario Pasalic, Remo Freuler, Robin Gosens, Timothy Castagne dan membawa kembali Marten de Roon dari Middlesbrough.
Tapi nampaknya, Atalanta harus membuat langkah lebih cerdas lagi pada bursa transfer berikutnya. Hal itu agar memastikan Atalanta dapat lebih bersaing lagi di musim-musim yang akan datang. Kemudian menjadi dorongan besar bagi sepakbola Italia.
Keberhasilan Filosofi Gian Piero Gasperini
Atalanta punya kemungkinan menjadi Leicester City versi Italia. Suatu hari mereka bisa memenangkan Scudetto seperti Leicester yang mengangkat gelar Liga Primer Inggris 2015/2016. Di sisi lain, Atalanta sudah melakukan seperti Leicester dalam artian berbeda.
Meskipun Leicester melaju ke fase gugur setelah memuncaki klasemen grup Liga Champions, mereka mendekam di papan bawah Liga Primer Inggris 2016/2017. Berbeda dengan Atalanta yang saat ini masih berada di papan atas klasemen sementara Serie-A musim ini.
Pencapaian itu tidak lepas dari cara Gasperini yang melatih melalui taktik agersif nan brilian. Tentu masih ingat ketika Gasperini pernah dipecat oleh Inter dalam enam pertandingan. Alasan lainnya karena Presiden Inter saat itu, Massimo Moratti, menganggap pertahanan tiga bek bukanlah filosofi kesebelasan tersebut.
Sekarang, menyenangkan bagi Gasperini untuk menantang scudetto menggunakan tiga bek. Pelatih kelahiran 26 January 1958 itu pun semakin disukai seluruh skuat dan pendukung Atalanta. Sekarang Gasperini seperti Jurgen Klopp bersama Liverpool.
Atas keberhasilannya menghubungkan kota, pendukung dan klub sepakbola. Seluruh masyarakat di Bergamo percaya kepada Gasperini bahwa ia akan membawa arah yang lebih mengesankan. Pencapaiannya bersama Atalanta menujukan sinergi yang nyata antara manajemen klub dan pelatihnya.
Hanya saja terkadang Atalanta tidak peduli dengan pertahanannya. Mereka sudah kebobolan 30 gol yang lebih banyak dari Hellas Verona di peringkat sembilan. Kendati demikian, Atalanta telah mencetak gol terbanyak di Seie-A sejauh musim ini dengan total 59 gol dari 22 laga.
Padahal, Atalanta cukup lama ditinggal Duvan Zapata karena cedera. Tapi ketiadaannya memberikan dampak lain dalam kekuatan serangan Atalanta. Alejandro Gomez, Josip Ilicic dan Muriel sering melakukan kombinasi serangan yang membingungkan lawannya.
Buktinya, Atalanta mampu mencetak 2,7 gol per laga di Serie-A musim ini. Kemonceran mereka juga tidak lepas dari kemampuan dalam menguasai bola di lapangan. Atalanta merupakan kesebelasan dengan penguasaan bola tertinggi ketiga di Serie-A.
Rataan itu tidak lepas dari dukungan Pasalic dan Gosens di lini tengah. Hanya saja Atalanta kurang mahir dalam umpan panjang di lapangan. Tapi kecenderungan mereka menjaga penguasaan bola telah menjadi identitas permainan mereka.
Umpan-umpan pendek Atalanta terlihat lebih sukses ketimbang umpan panjang. Itulah mengapa Atalanta lebih sering mencetak gol dari permainan terbuka dari kesebelasan lain Serie-A. Meskipun Gomez dkk tidak terlalu bagus dalam mencetak gol dari penalti.
Itulah hasil kerja dari bangunan pondasi yang dibangun Atalanta selama bertahun-tahun. Sekarang, tidak ada yang akan menghina Atalanta atas pencapaian mereka. Sebab Atalanta adalah cahaya yang bersinar di Italia saat ini.