Setiap harinya, sepakbola perempuan seperti semakin diterima oleh publik. Lihat saja laga antara Atletico Madrid lawan Barcelona di Liga Femenina Iberdrola. Laga itu memecahkan rekor dunia terkait jumlah penonton sepakbola perempuan dengan menarik minat 60.739 pasang mata.
Seminggu kemudian, giliran Juventus melawan Fiorentina memecahkan rekor penonton sepakbola perempuan di Italia. Mencatat 39.027 pengunjung, pertandingan yang berakhir dengan kemenangan 1-0 untuk Juventus tersebut menarik massa lebih banyak ketimbang tiga edisi terakhir Derby della Mole [Juventus vs Torino].
Melihat hal ini, tentu tidak ada alasan lagi untuk tidak menganggap sepakbola perempuan sebagai sesuatu yang serius. Alasan bahwa sepakbola perempuan tidak memiliki pasar tak lagi relevan. Namun, jauh sebelum pemecahan rekor penonton di Spanyol dan Italia, partai sepakbola perempuan memang sudah seharusnya dianggap serius.
Pasalnya, sepakbola perempuan juga tidak pernah lepas dari masalah-masalah klasik yang menghantui klub pria. Masalah-masalah yang datang dari tribun seperti tindakan rasisme, kerusuhan, dan kekerasan juga terjadi di pertandingan sepakbola perempuan.
https://www.instagram.com/p/BvaMvifl_MI/
Jangan Bawa Ebola
Pada 2015, dunia disibukkan oleh penyakit Ebola. Penyakit yang menjamur di Benua Afrika ini bahkan sempat memaksa Africa Cup Of Nations (AFCON) beberapa kali mengubah tuan rumah turnamen. Ebola membuat publik merasa takut pada orang-orang Afrika dan entah sadar atau tidak menyerang mereka dengan hal rasis.
Eni Aluko yang tengah membela tim nasional Inggris bahkan tidak lepas dari prasangka buruk itu. Lebih parah lagi, serangan rasisme diterimanya dari nakhoda Lionesses ketika itu, Mark Sampson.
“Semua pemain merasa semangat dan siap untuk bertanding. Apalagi keluarga kami juga datang berkunjung. Sampson kemudian bertanya dari mana keluarga saya datang. Saya jawab, ‘Nigeria’. Lalu ia membalas, ‘Pastikan mereka tidak membawa Ebola’,” jelas Eluko.
Semenjak saat itu, hubungan Aluko dan Mark Sampson mulai renggang. Aluko sampai merasa harus pensiun dari tim nasional karena perilaku Sampson.
Mark Sampson akhirnya didepak dari tim nasional perempuan Inggris. Namun isu rasisme tidak selesai begitu saja. Terakhir, Sheffield United memecat penyerang mereka, Sophie Jones, karena memperagakan gerakan seekor monyet untuk menghina lawannya. Tindakan itu membuatnya mendapatkan larangan bermain selama lima pertandingan dan denda 200 ribu paun.
https://www.instagram.com/p/BpD7otGB8ED/?utm_source=ig_embed&utm_campaign=embed_loading_state_control
Contoh di atas mungkin berasal dari tindakan-tindakan para profesional. Sesuatu yang bisa disebut mudah untuk diatasi oleh pihak asosiasi karena mereka terikat dengan hukum yang diberlakukan. Ketika suporter yang melakukan hal serupa, masalahnya menjadi lebih rumit.
Saat gelandang Chelsea, Karen Carney mendapat ancaman pembunuhan dan pemerkosaan di partai Liga Champions melawan Fiorentina, tak ada tindakan hukum yang dilakukan agar pelaku merasa jera. Asosiasi Sepakbola Inggris (FA) sudah meminta kepolisian bertindak. Namun karena tidak ada laporan resmi, polisi tidak bisa berbuat banyak.
Ancaman Kekerasan
Foto: Coeursdefoot
Bukan hanya perilaku berbau rasisme dan seksis saja yang melanda sepakbola perempuan. Kekerasan juga ada di sepakbola perempuan. Pada pertandingan Liga Champions antara Chelsea lawan Paris Saint-Germain (PSG), beberapa orang dilarang masuk stadion karena tertangkap tangan membawa senjata dan obat-obatan terlarang.
Lewat situs resmi mereka, PSG kemudian memprotes pihak keamanan di London. “Kami tak melihat pihak berwajib memberikan bukti bahwa para suporter melakukan kesalahan. Dengan begitu, tidak ada alasan untuk melarang mereka datang ke stadion,” tulis PSG.
Pertemuan kedua antara PSG dan Chelsea di Paris sempat diisukan akan berlangsung tanpa suporter. Namun setelah protes dari tim tuan rumah, Asosiasi Sepakbola Eropa (UEFA) tak melarang pertandingan digelar secara terbuka.
“Belum ada tindakan yang akan kami lakukan terkait partai Liga Champions antara PSG kontra Chelsea. Namun setelah pertemuan kedua mereka di Paris, kami akan mencoba untuk menelusuri kembali kasus yang dilaporkan,” kata UEFA.
Ya, ketika Montenegro dengan cepat mendapatkan hukuman karena suporter mereka menyerang Raheem Sterling dengan teriakan-teriakan yang menyerang ras, ancaman senjata tajam dan obat terlarang di partai Liga Champions tidak mendapatkan respon serupa.
Sepakbola perempuan sudah memiliki berbagai masalah di dalam ruang ganti. Mulai dari menjadi anak tiri asosiasi hingga kekerasan seksual seperti yang diterima pemain-pemain Afghanistan. Masalah yang sejatinya juga terjadi di level akademi sepakbola pria.
Kini, mereka juga harus berhadapan dengan kekerasan dari tribun. Rekor penonton boleh saja dipecahkan. Tapi bukan berarti semuanya damai-damai saja di tribun. Bukan berarti sepakbola perempuan memberikan kenyamanan untuk semua kalangan.
Apabila FIFA dan UEFA begitu gencar mengatasi masalah-masalah ini di sepakbola pria. Mengapa mereka tidak bisa melakukan hal serupa di sepakbola perempuan? Apa mungkin kultur kekerasan dari tribun memang tak bisa dihapuskan? Atau sepakbola akan kehilangan daya tariknya jika semua ini dianggap salah seperti seharusnya?