Sisi Psikologis Membuat Juventus Semakin Kritis

Ada sesuatu pemandangan yang tidak lumrah setelah paruh musim Serie-A pada biasanya. Sesuatu anomali ketika Juventus FC berada di papan bawah klasemen seperti yang sedang terjadi di Serie-A 2022/23. Kini, Juventus berada di peringkat ke-10 klasemen sementara  Serie-A musim ini dengan raihan 26 poin. 

Tentu posisi itu sangat jauh dari target Juventus yang ingin kembali membawa gelar juara ke Kota Turin. Musim ini pun dirasa menjadi yang paling berat bagi Juventus pasca degradasi karena Skandal Calciopoli pada 2006 silam. Target Juventus pun mendadak berubah dengan situasi seperti demikian. 

“Kami harus mendapatkan 40 poin untuk menghindari degradasi dan itu membuat saya tertawa. Tapi memang seperti itu keadaannya. Tidak masalah jika kami tak mencetak banyak gol, tapi yang penting menang dan tetap menjaga konsentrasi tinggi,” imbuh Massimiliano Allegri seperti dikutip dari Goal

Artinya, setiap kemenangan Juventus akan sangat disyukuri para pendukungnya meski cuma dengan keunggulan satu gol saja. Meski mereka sempat dikejutkan dengan kemenangan 3-0 atas tuan rumah Salernitana di Stadion Arechi, Rabu (8/2). Sebab sebelumnya, Juventus harus melewatkan tiga pertandingan tanpa kemenangan. 

Klub berjuluk Si Nyonya Tua ini harus dua kali dikalahkan SSC Napoli dengan skor 5-1 dan AC Monza atas dwigol tanpa balas. Sementara satu sisanya harus puas ditahan imbang kala menjamu Atalanta. Padahal Juventus baru saja bangkit setelah awal musim yang buruk sejak pekan ke-10 karena mendapatkan delapan kemenangan beruntun. 

Usai dipermalukan Napoli dengan skor 5-1 pada 13 Januari lalu, tidak lama kemudian Juventus harus mendapatkan hukuman pengurangan 15 poin. Inilah yang paling mempengaruhi mengapa klub raksasa Italia ini berada di papan tengah. Sekaligus menjadi malapetaka besar selain taktik Allegri yang sulit diadaptasi para pemainnya.

Skandal Baru Juventus

Rupanya Juventus tidak bisa selamanya bernapas lega karena lolos saat pembukaan kasus di musim lalu. Rupanya, tidak dinyatakannya bersalah Juventus pada waktu itu belum membuat jaksa puas. Giuseppe Chine selaku jaksa, meminta Pengadilan Banding FIGC (Federasi Sepak Bola Italia) agar membuka lagi penyelidikan kepada Juventus. 

Permintaan itu tidak lepas dari penemuan bukti-bukti baru hasil tim investigasi di Kejaksaan Umum Turin. Bukti-bukti itu mengarahkan Juventus telah merekayasa nilai transfer di pembukuan finansialnya. Hal itu diduga dilakukan untuk mengakali aturan FFP (Financial Fair Play) dengan cara merekayasa selisih antara harga jual tinggi dengan pembiayaan aset lebih rendah. 

Tentunya harga jual yang tinggi, tercatat membuat pemasukan bursa transfer lebih tinggi pula. Catatan itu tentu membuat Juventus masih memiliki ruang untuk melakukan pembelian pemain lain. Jenis transaksi seperti ini dinamakan plusvalenza yang merupakan Bahasa Italia. 

Salah satu contoh plusvalenza yang dilakukan Juventus adalah saat proses penjualan Miralem Pjanic ke Barcelona. Gelandang yang kini  bermain untuk Sharjah FC ini diumumkan dijual seharga 60 juta euro pada bursa transfer musim panas 2020. Penjualan Pjanic disebutkan menjadi tambahan dana untuk mendapatkan Arthur Melo dengan nominal 72 juta euro. 

Proses plusvanlenza Juventus yang kotor ini membuat para pejabat di klub tersebut terkena hukuman. Andrea Agnelli selaku presiden dan Maurizio Arrivabene selaku CEO, diskorsing selama dua tahun dari aktivitas sepakbola Italia. Pavel Nedved yang merupakan wakil presiden mendapatkan hukuman larangan di sepakbola Italia selama delapan bulan. 

Tidak luput pula Fabio Paratici yang sekarang menjabat Direktur Olahraga Tottenham Hotspur, mendapatkan hukuman larangan selama 30 bulan. Kala plusvalenza Juventus, Paratici menjabat jabatan yang sama seperti di Tottenham sekarang. Hukuman pun rupanya tidak mengihwali para dewan saja, melainkan kepada hasil di lapangan. 

Hal paling kentara adalah sanksi pengurangan 15 poin untuk Juventus sehingga terjebak di papan tengah klasemen sementara Serie-A musim ini.

“Kami mesti memperbaiki peringkat. Terlepas dari situasi anomali ini, kami harus selalu merasa baik-baik saja secara psikologis. Mereka mengambil 15 poin dari kami dan harus melanjutkannya tanpa alasan apapun,” tegas Allegri.

Bahkan Leonardo Bonucci dkk., masih dibayang-bayangi ancaman hukuman tambahan berjenis pengurangan 20 poin. Hal ini menyusul persoalan gaji pemain selama pandemi COVID-19, tepatnya sejak Maret 2020. Saat itu, dikabarkan bahwa pelatih dan pemain Juventus sepakat untuk tidak digaji selama empat bulan. 

Namun penyelidikan disinyalir mereka hanya tidak digaji satu bulan saja untuk menstabilkan keuangan klub. Dugaan ini dikabarkan didapatkan dari penyadapan terhadap WhatsApp pemain dalam penyelidikan yang masih berlangsung. Jika penyelidikan itu terbukti, maka bukan tidak mungkin Juventus akan kembali degradasi seperti 2006 lalu. 

Kali ini bukan bernama Skandal Calciopoli, melainkan Skandal Plusvalenza. Dan kemudian kembali mencoreng sepakbola Italia sehingga semakin menurunkan minat dan ratingnya. Di sisi lain, Allegri benar bahwa ia harus menang sesering mungkin agar bisa bertahan di Serie-A.

Lambatnya Adaptasi Taktik Massimiliano Allegri

Kembali ditunjuknya Allegri setelah dua tahun mengundurkan diri dari kursi pelatih Juventus, sempat menjadi kabar segar bagi para penggemarnya. Bukan tanpa alasan, ialah yang meneruskan kesuksesan tongkat estafet Antonio Conte setelah mengembalikan kejayaan Juventus. 

Bersama Allegri, Juventus memenangkan lima gelar Serie-A dan empat Coppa Italia secara beruntun. Gelar itu dilengkapi dengan dua kali juara Supercoppa Italiana, dan dua kali menjadi runner-up Liga Champions.  

Mantan pelatih AC Milan itu pun dianggap sebagai salah satu pelatih yang jenius akan varietas taktiknya. Ia mampu mengombinasikan formasi 4-2-3-1, 4-4-2, 4-3-3, dan bahkan sampai 3-5-2, selama ia melatih di klub asal Turin ini! 

Semua formasi itu didukung dengan serangan balik cepat yang dimulai dengan build-up serangan sangat rapi sejak lini belakang. Tidak lupa juga salah satu kejeniusannya adalah mengubah fungsi Mario Mandzukic dari seorang striker menjadi wide target man dengan berada di sayap kiri dalam formasi 4-2-3-1.

Namun kembalinya Allegri belum mampu mengembalikan kejayaan Juventus secara cepat. Sebab berbeda dengan waktu pertama kali ia menangani Juventus yang dimana ia mendapatkan skuad terusan dari Antonio Conte. Sebelumnya, Conte berhasil membangun skuad selama tiga musim. 

Komposisi pemain Juventus yang sudah siap saat itu tinggal ditambah sesuai keinginan Allegri sehingga cukup untuk merajai sepakbola Italia. Namun kedatangan keduanya merupakan skuad yang tumbang dalam kurun waktu dua musim sepeninggalannya. 

Komposisi pemainnya saat itu pun nampak belum bisa dengan cepat mengikuti variasi taktik Allegri. Lini tengah adalah hal yang dirasa paling sulit karena wajah-wajah andalannya sudah tidak ada di sana. Sudah tidak ada lagi Blaise Matuidi, Emre Can, Pjanic, Sami Khedira, dan lainnya yang menjadi andalan Allegri kala musim terakhir melatih Juventus. 

Di periode kedua Allegri bersama Juventus, formasi 4-4-2 lebih sering diterapkan. Kemudian ia beberapa kali mencoba formasi 3-5-2 atau 4-3-3 ketika melawan beberapa tim tertentu. Di Liga Champions misalnya, menggunakan 3-5-2 lebih sering dan 4-3-3 melawan tim-tim papan atas Serie-A. 

Namun eksperimen Allegri untuk mengulangi kejayaan periode pertama gagal. Nyatanya para pemain nampak sulit beradaptasi ketika berganti formasi sehingga kemenangan pun gagal didapatkan. Percobaan variasi taktik semakin kentara ketika beberapa pertandingan akhir musim lalu. 

Kemudian Allegri mencobanya pada awal musim ini. Mulai dari formasi 4-4-2, 4-3-3, 4-2-3-2, dan 3-5-2, namun inkonsistensi justru didapatkan skuadnya. Lihat saja, dalam 10 pertandingan pertama Juventus di Serie-A musim ini, mereka cuma sanggup menang empat kali. 

Dari 10 pertandingan awal Serie-A itu, pertahanan Juventus begitu berantakan. Para pemain seperti kebingungan kapan harus sabar menunggu lawan atau agresif merebut bola. Tidak jarang Si Nyonya Tua kalah dalam rataan penguasaan bola dari lawan-lawannya. 

Barulah pada pekan ke-10 Allegri mulai menetapkan paten formasinya dengan lebih banyak menggunakan 3-5-2. Juventus nampak stabil atas tujuh kemenangan beruntun di Serie-A 2022/2023. Namun langsung dibantai 5-1 oleh Napoli ketika mulai mencuat adanya kabar akan dikurangi 15 poin. 

Dalam hal ini, berbicara soal mental berpengaruh kepada performa Si Nyonya Tua. Perjalanan terjal permainan Juventus juga semakin berat ketika banyak pemain cedera silih berganti masuk dan keluar ruang perawatan. Sejauh ini, Juventus masih harus tampil tanpa Arkadiusz Milik, Fabio Miretti, Leandro Paredes, Kaio Jorge, Bonucci, dan Paul Pogba.

Krisis kondisi para pemainnya itu pun diperparah dengan bursa transfer Januari 2023 yang mandek. Ini dampak dari plusvalenza yang sedang menyoroti Juventus. Artinya, Juventus harus mengandalkan kedalaman skuad mudanya dengan pemain-pemain seperti Nicolo Fagioli, Mohamed Ihattaren, Samuel Iling Junior, Matias Soule, sampai akhir musim ini. 

Bahkan bukan tidak mungkin sampai musim depan dan seterusnya. Sebab Juventus harus menghemat dana sekitar 70 juta euro pada musim depan. Pahitnya, salah satu caranya adalah melepaskan beberapa pemain-pemain andalan mereka. Nama-nama yang sudah santer terdengar akan dilepas adalah Angel di Maria, Alex Sandro, Adrien Rabiot, Leandro Paredes, Juan Cuadrado, Pogba. 

Rasanya agak aneh melihat situasi Juventus saat ini. Namun bisa dibilang tidak aneh juga karena toh Serie-A bersama Juventus pernah mengalami situasi serupa. Lagipula, siapa yang masih ingin menjadi seorang munafik dengan merayakan kemenangan di atas kecurangan? 

Meski skandal adalah aib, semoga tidak semakin membuat Serie-A semakin tenggelam oleh kesalahan yang nyaris sama. Kali ini dengan nama Skandal Plusvalenza.